Aku adalah api yang mencoba membakar daun-daun kering yang dulu belum sempat disapu di pagi hari. Membuatnya jadi abu jadi arang yang hanya dapat dikenang.Â
Api itu nyala dan bara di sekujur badanku. Memeluk hangat dan menyelimutiku saat aku bahkan tidak tahu bagaimana cara memeluk diriku sendiri. Api menjadi kekasih tidur malamku yang membuatku berkeringat bergelinjang di atas ranjang. Api menggerayangi tubuhku selayak aku tumpukan kayu yang lezat untuk disantap.
Aku mempersilahkan api membakar diriku sendiri hingga  lupa diri. Dan aku tak lagi ingat kapan terakhir kali aku mati. Atau mengapa aku mesti belajar melukai. Melukai hati dengan penuh hati-hati.
Aku jadi panggung yang dengan senang hati mementaskan apiku sendiri. Membiarkannya menyulut apa saja dan menghanguskan bagian mana saja tanpa coba memadamkannya. Melihatnya menari di atas kepedihanku. Mendengarkannya bernyanyi di dalam kesedihanku. Lalu aku akan berdiri dan bertepuk tangan atas keterampilannya membunuhku.
Aku mencintai api selayak aku mencintai diriku sendiri. Dan api mencintaiku dengan tidak lupa menyakiti. Menusuk-nusuk ulu hati, menyayat jari jemari, menjadikan kertak gigi, dan deras darah di pipi.
Api itu abadi membatu waktu. Dan aku habis dilumat rindu. Jadi abu.
Ciracas, 2020
-hurumihara-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H