Komunitas Belajar dan Budaya Belajar Sepanjang Hayat
Oleh: Vedia
Komunitas belajar (kombel) dalam sekolah adalah sekelompok pendidik dan tenaga kependidikan dalam satu sekolah yang belajar bersama-sama dan berkolaborasi secara rutin dengan tujuan yang jelas dan terukur untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga berdampak pada hasil belajar peserta didik. Komunitas belajar di sekolah sejatinya menjadi wadah bagi guru untuk melakukan kegiatan berbagi praktik baik. Namun ternyata di lapangan kondisinya tidak berjalan sebagai mana yang diharapkan. Masih ada beberapa sekolah yang tidak memahami manfaat dari kombel. Ini bisa menjadi bertanda tidak berjalannya budaya belajar sepanjang hayat di sekolah. Masih ditemukan miskonsepsi terhadap keberadaan kombel. Seolah pada kombel harus ada pemateri dari luar atau harus ada sertifikat. Padahal kombel adalah organisasi dari guru untuk guru.
Kombel merupakan organisani yang dibentuk kepengurusannya bukan berdasarkan ditunjuk seketika langsung dari SK. Kepengurusan kombel harus berdasarkan musyawarah anggota baru kemudian dibuatkan SK oleh kepala sekolah selaku pimpinan. Jadi kepengurusan kombel harus bottom up dipilih dan dimusyawarahkan bukan ditunjuk.
Kombel bisa menjadi wadah ketika ada guru punya pengetahuan yang baru dan ingin berbagi atau mengimbaskan dengan teman-temannya maka kombel bisa menjadi wadahnya. Namun karena mispersepsi dan miskonsepsi sehingga kegiatan berbagi/pengimbasan terkesan hanya berkaitan dengan tugas seseorang. Pengimbasan merupakan Upaya seseorang berbagi praktik baik dari apa yang ia pelajari. Apa yang dimbaskan atau apa yang dibagikan oleh salah seorang atau beberapa guru merupakan bahan pembelajaran bagi guru lainnya. Dengan memahami makna pengimbasan maka seharusnya kombel bisa menjadi wadah bagi guru untuk melakukan pengimbasan. Komunitas sekolah adalah wadah untuk sama-sama belajar karena sejatinya guru harus mau terus belajar atau menjadi pembelajar sejati.
Sangat disayangkan jika ternyata masih ada guru yang malas ikut kegiatan berbagi praktik baik atau pengimbasan karena adanya mispersepsi/miskonsepsi:
- kombel bukan program sekolah
- kombel tidak ada sertifikat
- materi kombel tidak butuhkan
- saat ini sertifikat mudah didapat tanpa harus ikut kegiatan luring.
- Tidak ikut kombel karena ingin menjadi guru biasa saja
Kombel sebenarnya merupakan program sekolah, bukan program kurikulum. Pada pada kegiatan kombel materi bisa didiskusikan sesuai kebutuhan yang ingin dicapai oleh anggota. Untuk keperluan ini bisa saja Anggota nantinya meminta saran kepada waka kurikulum. Â Kombel yang baik kelak akan menjadikan guru menjadi insan yang menumbuhkan budaya belajar sepanjang hayat. Bukankah guru juga harus menanamkan budaya sepanjang hayat bagi siswanya? Kalua gurunya saja malas untuk belajar bagaimana dengan siswanya?
Kegiatan kombel jika disepakati bisa mendapat sertifikat baik itu bagi pembicara (guru yang berbagi) praktik baik maupun bagi anggota. Sertifikat dapat diberikan baik berupa kegiatan satu hari ataupun kegiatan pelatihan yang ada jamnya. Namun, hendaknya sertifikat bukan menjadi tujuan karena sejatinya belajar itu suatu kewajiban. Apalagi profesi guru yang berhadapan dengan siswa yang dari waktu ke waktu selalu berubah mengikuti zamannya.
Kegiatan kombel seharusnya menjadi kebutuhan apapun ilmu yang disampaikan teman, maka akan selalu ada manfaatnya. Jadi Ketika tidak ikut kombel karena tidak butuh ini sangat menyedihkan. Padahal ilmu pengetahuan terus berkembang. Guru bisa belajar dari praktik baik yang temannya lakukan. Dengan berbagi praktik baik guru bisa saling memotivasi untuk berinovasi.
Pendapat bahwa saat ini sertifikat mudah didapatkan bahkan tanpa harus benar-benar belajar adalah benar. Namun apakah tidak malu sebagai guru yang seharusnya dapat menjadi contoh yang baik nyatanya hanya menjadi pemburu sertifikat? Seperti dikemukakan di atas bahwa seharusnya sertifikat bukanlah tujuan. Belajar sepanjang hayat haruslah menjadi kebutuhan. Adalah benar saat ini banyak webinar atau pelatihan gratis yang diselenggarakan berbagai pihak secara daring. Guru yang hanya menjadi pemburu sertifikat akan dengan mudah tergoda mengikutinya tanpa ada niat sungguh-sungguh belajar. Mereka tidak peduli materi seperti apa yang penting dapat sertifikat karena sejatinya niatnya bukan mau belajar tetapi hanya cari sertifikat.
Berpikir bahwa saya hanya ingin jadi guru biasa saja dan dengan demikian tidak mau belajar adalah pemikiran yang memprihatinkan. Mau jadi guru biasa saja itu boleh saja, tetapi berhenti belajar itu suatu pemikiran sesat dan tanpa disadari telah mendzolimi siswa. Guru yang tidak mau belajar akan sama dengan anekdot yang mengatakan apapun makanannya maka minumnya teh botol Sostro. Dengan kata lain apapun kurikulumnya, apapun situasinya mengajarnya ya begitu-gitu saja. Kalau seperti ini program pemerintah mengganti kurikulum untuk meningkatkan pendidikan tidak akan terwujud.