CATATAN: VECGA SEPTIAN PRAVANGASTA
Follow @vecga75
Sore itu, perlahan mendung gelap mulai menyelimuti Stadion Gelora 10 November tempat saya meliput. Saya datang untuk meliput sebuah pertandingan sepakbola besar. Sebuah pertandingan yang mempertaruhkan lebih dari sekedar prestise – walaupun dengan tensi yang berbeda. Pertandingan yang menarik dan seru untuk dilihat. Persebaya Surabaya menghadapi Persija Jakarta, sore itu bertanding di tengah gemuruh semangat sekitar 20 ribu supporter Persebaya yang memadati stadion tersebut.
Saya dapat dengan mudah menemui ibu-ibu, wanita berusia belasan hingga puluhan tahun yang datang dengan kekasihnya, hingga anak-anak balita – terutama di tribun VIP, menunjukkan bahwa sepakbola adalah aman. Aman dalam artian sepakbola sudah menjadi sebuah entertain yang menyenangkan, yang mampu untuk mengisi waktu weekend bersama keluarga, yang mampu mempersatukan seluruh rakyat, baik tukang becak hingga calon dokter. Baik direktur utama hingga kuli rendahan, semua berbaur dalam semangat mendukung tim Persebaya yang sempat ketinggalan di 2-0 oleh Persija Jakarta.
Namun apa yang saya temui kemarin seakan menyayat hati saya. Dimulai karena tindakan provokatif polisi terhadap salah seorang supporter yang akan melepas spanduk, keadaan pun dalam seketika berubah menjadi chaos. Terjadi keadaan yang mungkin hanya bisa diliput oleh wartawan yang terjun di medan perang, bukan wartawan sepakbola. Keadaan benar-benar menjadi brutal!
Bayangkan, apa yang Anda pikirkan jika beberapa polisi berhelm, bertameng, dan bersenjata lengkap, secara tiba-tiba menyerang penonton di tribun BB, SA-SB, dan Utama dengan beberapa tembakan gas air mata, setelah sebelumnya terjadi lemparan botol air mineral ke arah polisi sesaat setelah tindakan provokatif terhadap supporter yang melepas spanduk. Apa yang Anda pikirkan jika beberapa polisi secara brutal menembakkan gas air mata di tengah padat stadion yang banyak ditempati wanita dan anak-anak. Dan apa yang Anda pikirkan ketika mendengar tangis dan jerit pilu dari sisi stadion yang terkena gas air mata…
Saya melihat sendiri bagaimana parahnya – kalau tidak mau dikatakan brutal – sikap polisi terhadap supporter. Saya ada di tengah-tengah mereka dalam himpitan, tangis anak-anak kecil, serta jeritan mereka akibat tak kuasa menahan pedih di mata, benar-benar memilukan. Dan saya tak bisa membayangkan, apa yang terjadi di tribun ekonomi di mana pintu keluar begitu sempit untuk dilewati supporter yang panik, ditambah dengan efek gas yang mulai masuk ke lorong pintu keluar tersebut. Tak bisa dibayangkan bagaimana mereka harus berdesakan menahan pedih, termasuk di dalamnya wanita dan anak-anak!
Dan tak hanya berhenti sampai di situ. Ketika mobil polisi dijadikan target kemarahan massa yang kecewa terhadap sikap ‘aneh’ polisi, kebrutalan kembali terjadi. Semua yang memakai baju hijau menjadi target kebrutalan polisi. Semua berlarian, lagi-lagi anak-anak dan wanita juga menjadi korban. Jerit kesakitan dan jerit-jerit pilu membahana di depan stadion, di tengah puluhan polisi bersenjata rotan yang membabi-buta.
Saya sejenak berpikir, apakah tindakan ini layak dilakukan oleh polisi yang memiliki motto “Pengayom Masyarakat”? Mengingat tindakan ini jauh dari kesan keamanan atau safety, namun lebih mengarah ke brutal. Saya masih ingat bagaimana anak kecil harus dibopong bapaknya, bertanya ke saya, di mana letak tim medis. Saya masih ingat bagaimana para wanita terbatuk-batuk di tengah kepulan asap gas air mata. Dan saya juga masih ingat sosok anak kecil, terpaksa dipasang tabung oksigen di hidungnya sambil sang bapak terus-terusan memanggil nama anaknya.
Apakah ini harus dilakukan? Apakah tidak ada pendekatan lain? Mungkin memang motif polisi berlaku represif adalah karena pelemparan yang dilakukan supporter. Tapi bukankah di seluruh stadion di Indonesia juga berpotensi terhadap pelemparan yang serupa? Toh juga pelemparan tidak akan terus-menerus selama lebih dari 10 menit. Pelemparan hanyalah wujud kekecewaan supporter terhadap tindakan lebay polisi, dan itu lumrah.
Dan di stadion manapun, baik itu pertandingan liga prototype atau liga yang diakui FIFA, pelemparan tetap ada…
Seharusnya, tak perlu ada insiden seperti ini, yang bahkan harus merenggut korban jiwa akibat sesak napas (ini karena efek gas air mata yang juga membuat seseorang sulit bernapas). Mungkinkah ada konspirasi? Mungkin saja selama kita dapat menemukan benang merah yang tersembunyi di balik seluruh kejadian baru-baru ini. Apalagi semakin dekat ke tanggal 15 Juni, yaitu deadline FIFA untuk penyelesaian dualisme kompetisi di Indonesia.
Artinya, konspirasi sangat mungkin terjadi. Masih ingat insiden GBK beberapa waktu lalu? Namun, ah untuk apa berpikiran negatif. Yang jelas, tragedy meninggalnya 3 orang di GBK jelas lebih seram dan lebih berat daripada insiden Gelora 10 November yang jelas-jelas merupakan tindakan polisi yang bertindak terlalu berlebihan, dan ini pun masih dalam situasi yang logis.
Mengapa logis? Logikanya, ketika Mabes Polri atau Polda Metro Jaya menganggap insiden GBK karena kelalaian polisi, pengamanan untuk sepakbola bakal diperketat. Ini wajar.
Namun apa yang saya lihat sendiri di Tambaksari kemarin, tampaknya semua pihak harus berpikir ulang tentang hal ini: Benarkah polisi sebagai Pelindung dan Pengayom Masyarakat? (prv)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H