Suara mu tertahan. Hening. Deru nafas terdengar perlahan. Aku diam, dan menunggu yang akan kau katakan.
"Semua hanya angan !" Kata mu dalam nafas tersengal.
"Bukan kah dulu kau yang membuatku berani bermimpi?" Tanyaku lirih.
Tak ada jawaban. Hanya hembusan yang ku dengar bagai badai.
"Kau jahat!" Lanjut ku.
"Kau meracuni ku dengan berbagai hayalan tentang angan! Kau mengajak ku menaruhnya di angkasa! Bahkan kau selalu mencambuk ku dengan optimismu!" Suara ku meninggi. Nafas tak beraturan.
"Sudahlah kita menyerah saja!" Jawab mu yang membuat dada ku terasa terhimpit.
"Kau benar-benar keparat!"
"Tak seharusnya dulu ku percaya pada mu! Kau hanya mempermainkan rasa bocah ku! Kau yang membuat ku berani menantang mereka. Dan berteriak bahwa aku ada! Dan sekarang kau menyuruh ku untuk mengakhiri, saat aku perlahan - lahan mencoba kembali meniti setelah jatuh ke lembah? Bah! Rugi aku percaya bualan mu!"
Kau diam! Lagi-lagi hanya diam!!! Tinggal aku dengan nafas yang memburu...
Ku lempar setumpuk kertas merah marun berukir nama kita dengan tinta emas. Tanpa marga...!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H