Mohon tunggu...
Ve Rhayesha
Ve Rhayesha Mohon Tunggu... -

................ NGARANG!!!\r\nI Love Vienna.........kecanduan sotobeli....sotobeli ituuuu......mmmh nyummi.....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Seri Curcol: Saya Emosi

24 Desember 2013   17:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:32 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejadian nya sih kurang lebih udah 2 mingguan lah ya. Cuma dikarenakan saya seorang yang sangat bangga dengan kemalsan nya, jadi baru sekarang deh saya coba bagikan omelan saya yang amat maha super penting (menurut versi saya).

Saya adalah penikmat moda transportasi umum yang dinamakan elp. Itu tuuh sejenis mini bus gitulah yang memang beroperasi dengan trayek Ciledug-Cirebon. Iya, bener. Tempat tinggal saya memang jauuh di ujung timur kabupaten Cirebon. Yang ga ada kalau di peta. Bahkan peta  kabupaten Cirebon sekalipun! *uups ini lebay. Ya ada laah, kan Ciledug pusat wilayah timur. Nah, balik lagi ke elp. Karena angkutan ini hanya satu-satunya moda transportasi yang ada dan waktu operasi terbatas pula. Hanya melayani pada pukul 3 dini hari sampai pukul 6 sore alias Maghrib. Alasannya, medan yang di lalui masih rawan my sist. Memang ada yang sering “ngalong” itupun dengan tarif ongkos yang 3 kali lipat dan perasaan was – was jika kendaraan berada di tengah perkebunan tebu yang jauh dari mana – mana. Nah, karena itulah para pekerja, mahasiswa, dan kuli macam saya ini yang nasibnya emang pulang selalu sore, semacam saling berlomba dapet kendaraan jadi bisa cepat sampai di rumah. Karena ga sedikit juga, yang harus melanjutkan ke daerah pelosok lagi yang uwwouuuw jauh dari  keramaian.

Ok, jadi ceritanya, suatu sore yang lumayan cerah dan gerah seperti udara Cirebon biasanya. Alhamdulillah ya, saya dapat kendaraan yang masih kosong. Pas lihat jam, oh pantes karena hari masih agak siang, jam 16.30an. Dan saya bebas memilih bangku kosong. Setelah bergelut dan berdiskusi dengan batin, maka saya mantapkan untuk duduk di bangku ke 2 dari belakang dekat jendela. Aaah..nyaman pasti. Tak lama mobil mulai penuh dengan para penumpang. Para Eneng – eneng cantik mahasiswi yang amat modis ga kalah keren sama mahasiswi Bandung atau Jakarta. Suer deh! Mereka tuh gaul dan modis abis. Baju distro, sepatu kece, smartphone, hijabbers, kumplit! Serasa di Jakarata pokoknya. Cuma satu, kalo mereka udah mulai bicara, saya kembali tersadar bahwa saya ada di mana. *emang di mana?

Laah, mulai ngaco. Singkatnya, mobil sudah penuh penumpang dan pak supir pun tancap gas. Wuusss elp kami mulai menuju timur . Tapi tiba-tiba. Cekiiiitt, mobil berhenti dan naiklah seorang ibu dan anaknya yang menurut perkiraan saya, usinya sekitar 7 tahun. Seusia si bungsu di rumah. Sebelum naik, si ibu harus diyakinkan terlebih dahulu oleh sang kernek bahwa masih ada lahan kosong untuk si ibu duduki. Memang sih, menurut saya juga. Itu, yang bapak-bapak  kan bisa gelantungan. Udah biasa kan? Tapi oh emak ku sayang! Ga ada satupun bapak-bapak yang mau merelakan kursinya untuk si Ibu.  Sementara saya, udah dijepit sama mbak hijjabers plus mbak seksi.  Si ibu akhirnya duduk nyempil di kursi dingklik deket pintu dan si adek kecil berdiri bersandar ke ibunya. Dan Oh emakku lagi! Si dedek tidur walaupun dalam keadaan berdiri dan beberapa kali hampir terjatuh.  Itu, di bagian bangku paling belakang mestinya masih cukup untuk satu orang ukuran anak kecil. Parahnya lagi, setiap supir harus ngerem mendadak atau ada jalan yang berlubang  si adek tadi mau jatuh. Bapak! Itu si adek mau jatuh , mana dekat pintu. Geser ngapa?! Begitu kata saya dalam hati. Iya, dalam hati karena saya juga ga berani. Si ibu beberapa kali minta geser agar anaknya bisa duduk. Tak ada tanggapan. Para bapak di bangku belakang ga kasih respon apapun, bahkan dengan santai ngobrol sambil sesekali cekikikan.  Sekali lagi emakku sayang! Ga ada yang berinisiatif. Hey, pada punya anak ga sih di rumah? Lagi-lagi ini hanya dalam hati. Akhirnya, karena kesal dan kasian liat si dedek, saya pun meminta si ibu untuk merelakan putrinya dipangku oleh saya. Si ibu begitu terlihat senang. Huuffp…saya kesal bukan main. Bukan Karena harus memangku si dedek yang berbobot lumayan amat berat, tapi kepada mereka yang ga mau sedikit berempati .

Kalau ini terjadi di sebuah kota besar, saya masih maklum. Konon, mereka sudah ada di tahap individualis. Lah ini, kampung oooy. Maaf ya, saya bilang kita ini di kampung yang mestinya rasa menghormati, berbagi itu masih kuat sekali. Mau bilang saya sok baik? Sok pahlawan? Bodo amat! Amat aja naik kelas terus, berarti kan ga bodo. Saya hanya teringat saat kecil saya yang amat mobile sekali. Berkendaraan umum ke sana ke mari. Selalu ditolong oleh penumpang yang lain. Jika kami tidak mendapatkan tempat duduk, selalu ada yang mempersilahkan. Minimal saya dipangku atau duduk bertiga dengan mereka. Selain itu, saya ga sanggup bayangin jika si bungsu atau kelak anak saya diperlakukan seperti itu. Sepanjang jalan akhirnya saya berdoa terus menerus. Semoga calon ayah anak-anak saya, anak laki-laki saya kelak, cucu laki-laki saya kelak tidak berperilaku seperti bapak-bapak di elp tadi. Aaamiiin.

Udah sih, gitu aja ngomelnya. Makasih.

Salam narsis dari yang lagi ga pengen narsis *ga pake tanda kedip, lagi ngambek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun