Mohon tunggu...
Ve Rhayesha
Ve Rhayesha Mohon Tunggu... -

................ NGARANG!!!\r\nI Love Vienna.........kecanduan sotobeli....sotobeli ituuuu......mmmh nyummi.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hanya Sepotong Kisah

31 Desember 2011   14:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:31 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Tuhan, aku mau pulang saja!” suaraku menggantung di udara. Tak da jawaban. Aku tak membutuhkan sebuah jawaban dan memang tak akan pernah ada jawaban. Aku sedang sendiri menatap jauh hamparan putih seluas mata memandang. Dunia berubah warna di akhir tahun. Aku selalu merasa bahwa masa itu adalah saat awan memenuhi bumi bukan langit.

==============================================================================



Musim dingin ditambah dengan segala rutinitas perkuliahan selalu membawa rindu yang sesak pada ku.. Sudah 2 kali aku merasakan saat – saat seperti ini. Sakit dan tak tentu pikir! Walau pada kenyataannya setiap aku membuka mata di hari baru, selalu ada satu sosok yang selalu menyapa di kepalaku. Namun di saat bumi memutihlah, sosok itu akan selalu menyapaku setiap waktu. Pagi saat aku membuka mata, siang ketika aku mulai memasukan makanan, dan malam  saat aku hendak menutup hari. Bahkan di selang waktu selain itu, sosok itu menemani dan bergentayangan di pikiran. Dia sesosok yang sederhana namun indah. Tegas namun lembut penuh kasih. Dan banyak omong tapi bikin kangen. Dia hanya perempuan desa yang menurutku sangant desa dalam bersikap dan modern dalam berfikir. Dan aku menyematkan sebuah gelar yang istimewa padanya, Ibu.

Ingatanku memutar sebuah kisah dimana aku melihat sesosok perempuan dengan 3 pria duduk melingkar. Yang satu aku ku kenali sebagai Bapak , yang lainya Kakek dan adik Kakek. Aku yakin mereka sedang membicarakan sesuatu hal yang serius, itu terlihat dari mimik wajah mereka. Tapi wajah ayu ibu begitu sendu, tak kulihat wajah tegas dan tegarnya. Sementara wajah putih Bapak berubah merah seperti kepiting rebus. Kakek terlihat menahan amarah, terlihat dari caranya menarik nafas yang tak beraturan. Aaaarrrgghhh sampai saat ini aku tak memaafkan diri sendiri kenapa aku tak bisa menguping apa yang mereka bicarakan. Ekspresi wajah ibu, bagaimana cara bapak meninggalkan mereka, masih melekat kuat di ingatanku.

Slide berikut ada pada saat aku pulang sekolah dengan keadaan lapar. Seharian tak ada sesuap makanan yang berhasil melewati kerongkonganku. Tak biasanya ibu tak menyiapkan sarapan tadi pagi, juga uang jajan yang biasa ku terima.Dan aku terlalu takut hanya untuk menanyakan semua ketidak biasaan itu. Aku cepat berkesimpulan bahwa ibu sedang tidak enak badan demi ku lihat ia terbaring di kamar. Pun saat pulang sekolah itu, aku tak berani membangunkannya walau perut  sudah bersahutan meminta isi. Hanya segelas air yang bisa ku masukan ke kerongkongan dan sisanya ku coba bunuh rasa lapar dengan tidur. Entah dari mana aku dapatkan ide tersebut namun cukup ampuh hingga tepat selepas Isya,ibu membangunkan ku dan menyuruh mencuci beras. Aaah bahagianya hatiku saat itu, dan tambah berbunga saat ku lihat sosok bapak yang sudah seminggu pergi entah ke mana. Dan malam itu, kami makan bersama dengan lauk ikan asin, sambal dan lalap. Nikmat sekali!!!Ku buang jauh –jauh pertanyaan yang selalu menggelitik ku selama ini, kenapa bapak selalu pergi? Mengapa kami harus mengontrak rumah? Ada apa dengan rumah asri kami? Di mana mobil bapak? Kenapa bapak tak pernah lagi pulang membawa strawberry kesukaan ku? Dan kenapa ibu tidak memasak hari ini? Aku hanya ingin menikmati makanan yang tersedia saja.

Loncat ke sebuah adegan berikut saat aku mengabarkan keinginanku melihat dunia. Aku benar – benar tidak tahu diri memang saat itu. Permintaanku benar – benar di luar kemampuan orang tuaku bahkan angan sekalipun . Tapi itu mimpiku. Salah kah aku bermimpi??? Ekspresi ibu saat itu benar – benar tak bisa ku tebak. Diam, dingin, dan sorot mata yang tajam menusuk ku.

“Pergilah Jangan jadikan itu sebatas mimpi, jadikan lah ia nyata!!! Katakan pada dunia bahwa kamu ada!!!”

Dadaku berdesir saat itu. Darahku serasa bergemuruh. Semangatku terpacu. Ya…Akulah si pemimpi itu. Seorang yang dengan tidak tahu dirinya menggantungkan cita yang melebihi lainnya. Satu keyakinan menelusup ke hatiku. Aku bisa dan akan ku buat wanita di depan ku bangga!!!

Sampai pada sebuah adegan yang sangat sering terlihat di sinetron. Aku dan keluarga ku ada di bandara. Ya..aku berhasil mendapatkan tiket melihat dunia luar. Bapak terlihat tenang dengan wajah tegasnya. Ibu begitu sumringah dengan senyum yang terkembang di bibirnya. Tak ada air mata, tak ada rasa khawatir yang mereka tunjukan walau aku akan berpisah dan jauh dari pandangan mereka. Aaaah mereka memang perkasa!!! Sampai pada saat waktu ku pergi, tak ada tanda – tanda air mata itu akan turun di pipi yang mulai disinggahi penuaan walau masih terlihat bekas kecantikan itu. Aku mencium tangan bapak lalu ibu dan memeluknya erat.

“Aku tak bisa memberimu apa – apa Nak, hanya sedikit pesan dan sejumput doa. Mataku hanya ada dua dan terbatas menangkap tingkahmu, namun di luar begitu banyak pasang mata yang siap menulis dan mencibir polahmu. Berlarilah…,berteriaklah pada dunia. Semoga aku masih bisa melihatmu melakukannya”

==============================================================================

Telpon genggam ku berdering menandakan sebuah pesan telah masuk. Nama yang tertera membuat ku tersenyum cerah.

“Selamat memulai kembali berlari dan mengejar mimpi, Nak. Ibu berharap tahun depan kita bisa berkumpul menghabiskan akhir tahun dan memasak makanan kesukaanmu, ikan bakar.”

Ku habiskan coklat panasku, ku tutup jendela yang kini telah membawa butiran – butiran salju masuk menyapa wajahku. Aku pun teringat pada sebuah keinginan  cengeng ku tadi. Tuhan ku tarik kembali ucapanku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun