Keluarga merupakan unit terkecil dalam sendi masyarakat. Ada perbedaan yang lumayan mencolok mengenai definisi sebuah keluarga pada masyarakat primitif dan masyarakat modern. Dahulu keluarga (keluarga inti) merupakan struktur organisasi yang terkecil dalam masyarakat, meliputi ayah, ibu, dan anak. Lalu bagaimana dengan “single parent”?
Single Parent (Orang tua tunggal) – merupakan fenomena yang terjadi di beberapa kota besar, yang menghasilkanpandangan baru dalam sebuah struktur keluarga. Meluasnya fenomena menjadi orangtua tunggal, maka semakin banyak pula lah deskripsi definisi dari single parent itu sendiri. Menurut Gunawan(2006) single parent adalah orang yang melakukan tugas sebagai orang tua(ayah atau ibu) seorang diri, karena kehilangan/ terpisah dengan pasangannya. Sementara menurut Sager (dalam Duval & Miller,1985) single parent adalah orang tua yang memelihara dan membesarkan anak- anaknya tanpa kehadiran dan dukungan dari pasangannya.
Single parent sendiri disebabkan dua hal, diinginkan (sengaja) dan tidak diinginkan (tragedi). Dalam tulisan sebelumnya saya menuliskan persektif masyarakat terhadap single parent, yang hanya mengukur dari suatu status. Padahal masing-masing berbeda. Dalam kondisi yang disengaja, biasanya dianut oleh kaum feminist yang menginginkan kebebasan dalam menentukan komposisi suatu keluarga. Kaum feminist cenderung untuk mendobrak tatanan keluarga karena dianggap sebagai pengukungan kebebasan berdasarkan jenis kelamin. Dalam kondisi seperti ini biasanya wanita sudah mempersiapkan dirinya secara matang. Mereka lebih mandiri dalam segi finansial dan memiliki prinsip yang dipegang dalam menjalani kehidupannya sebagai single parent.
Akan tetapi menjadi single parent juga terkadang suatu pilihan yang memang sebenarnya tidak diinginkan oleh seorang wanita atau pria itu sendiri. Bisa jadi karena pasangan yang menikah tetapi tiba-tiba salah satunya meninggal dunia atau bercerai (bercerai dalam kondisi terdesak). Kondisi menjadi lebih sulit bagi pelakunya. Dilanda masalah pergolakan perasaan (misalnya rasa kehilangan), kesiapan ekonomi untuk keluarga kecilnya, dan bagaimana menghadapi permasalahan-permasalahan dalam sosial masyarakat.
Dilematika yang dihadapi wanita “single parent”
Kebutuhan hidup sekarang semakin meningkat. Bahkan kebutuhan sekunder dimasukkan dalam kebutuhan premier. Orangtua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Kebutuhan anak sendiri sudah mendominasi kebutuhan secara kesulurahan, dan kita selalu memberikan yang terbaik dari mulai susu, pakaian, pendidikan, hingga kesenangan untuk anak itu sendiri. Permasalahan ini akan lebih berat jika dialami oleh wanita yang sebelumnya menggantungkan hidup pada seorang suami dan memilih tidak bekerja. Banyak wanita yang setelah menikah dilarang bekerja oleh suaminya untuk mengurus keluarga. Pada saat ditinggalkan oleh suaminya (meninggal atau bercerai), tidak ada kestabilan secara ekonomi. Saat mencoba mencari pekerjaan, tingkat penghasilan tidak terlalu besar karena faktor pengalaman kerja yang masih minim. Belum lagi belum terbiasa dalam mengurus keluarga sekaligus mencari nafkah. Saat ini kondisi mental mulai terganggu. Gaya hidup pun berubah secara signifikan, yang akhirnya muncul rasa depresi. Oleh karena itu, jangan heran jika sekarang wanita tetap berjuang mengejar karirnya walaupun kondisi suaminya sudah mapan. Wanita memiliki hak untuk memasukan dirinya dalam status “aman” menghadapi sesuatu yang mungkin tidak terduga sebelumnya.
Wanita single parent harus pandai membagi waktu, melengkapi statusnya sebagai ayah dan ibu sekaligus. Perannya sebagai ayah, sebagai pemimpin keluarga kecil yang dimilikinya. Kemandirian dalam mengambil keputusan dan membuat kebijakan secara mandiri untuk keluarga kecilnya. Selain itu harus menafkahi kebutuhan hidup dalam keluarganya.
Perannya sebagai ibu, sebagai yaitu menjalankan kodratnya sebagai perempuan, meliputi mengasuh dan membesarkan anaknya, serta hal-hal yang ada dalam rumah. Walaupun dalam kondisi bekerja, tetap harus memonitor apa yang terjadi di dalam rumah. Mempersiapkan kemandirian untuk mental si anak juga sangat perlu. Kasih sayang adalah kunci segala-galanya. Memberi pengertian kepada anak pelan-pelan dengan menyesuaikan usianya. Tidak bisa dihindari, anak akan mengalami dampak psikologis yang akan memengaruhi terhadap perilakunya di rumah, sekolah, dan masyarakat. Menumbuhkan kepercayaan dirinya dan meningkatkan rasa nyaman merupakan tugas utama. Anak merupakan skala prioritas, karena tanpa itu sia-sia semua karir dan peran yang dijalani akan sia-sia.
Oleh karena itu wanita single parent seringkali terlihat sangat keras. Proses kehidupan yang keras menjadikan pola pikir dan perilaku seperti itu. Pada titik tertentu, seringkali dihadapi kondisi “lelah” dan membutuhkan ruang untuk bernapas. Kodrat sebagai wanita memang tidak bisa dipisahkan. Kehilangan waktu bersama anak untuk bekerja merupakan salah satu dilematika yang dihadapi. Belum lagi kondisi psikologis sebagai akibat dari proses yang mendasari seorang wanita mendapat pilihan menjadi single parent. Perasaan yang meliputi rasa sedih atas kehilangan atau karena sakit hati. Single parent sesungguhnya hanya manusia bisa, yang rentan untuk mengalami sebuat depresi. Dukungan orang sekitar, yang bisa mengacu pada keluarga atau sosial sangat berarti.
Dukungan sosial bisa berupa dukungan emosional atau instrumental, seperti yang dikemukan oleh Sarason (1990). Dukungan emosional,ditandaidengan perhatianyangsimpatik terhadap orang lain yang mengalami stres. Tujuannya adalah untuk mengurangi emosi negatif dan ketegangan yang dihasilkan. Dukunganinstrumental,Dukunganinstrumental,ditandaidenganbantuanyanglebihnyata atau berwujud. Misalnya, nasehat-nasehat membantu individu yang stres secara aktualmengubahlingkungan yangmemicu stres.Misalnya, secara aktif menyelesaikan masalah atau mengubah persepsi terhadap sumber stress.
Kondisi sebagai single parent memang tidak semua bisa menghadapi, apalagi jika ditambah pandangan dan komentar miring sebagian masyarakat. Pengakuan dan penerimaan untuk struktur keluarga yang menganut pola single parent dari masyarakat juga merupakan faktor yang membantu mental bagi pelaku single parent. Penghormatan dengan cukup dengan mengahargai single parent sebagai seorang manusia atas segala perjuangan yang dihadapinya dan menerima struktur keluarga yang dianut oleh seorang wanita single parent (meliputi ibu dan anak). Tidak perlu sampai mengasihani secara berlebihan. Hal ini cenderung membuat lemah mental seorang single parent.
Apapun yang mengenai pandangan dan sikap orang lain memang menjadi pembelajaran tersendiri. Sebagai bagian dari proses kehidupan, wanita single parent akan mengalami kematangan secara bertahap dari apa yang telah dialaminya. Menemukan masalah dan menyelesaikannya dengan mandiri. Peran utama seorang wanita single parent adalah sebagai seorang ibu dan membuat anak berada dalam kondisi tetap nyaman walaupun dalam struktur keluarga yang berbeda dengan lingkungan disekitarnya. Akan menjadi lebih baik jika lingkungan sekitar juga mendukung untuk membuat kondisi ini menjadi tetap positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H