6.30, Senin, Tol Dalam Kota.
Dari Bekasi menuju Jakarta memang  selalu padat, terutama pada jam berangkat kerja. Terlebih untuk senin, tingkat kemacetan lebih tinggi dari pada hari lainnya. Hal ini sudah menjadi suatu siklus yang memang pada akhirnya dianggap suatu kewajaran. Terkadang jika mood kurang baik, sedikit mendumel dengan perasaan yang kesal. Akan tetapi kita pun tidak bisa berbuat apa-apa. Memang sistemnya sudah seperti ini.  Ditengah antrian yang panjang tiba-tiba muncul suara sirene dari belakang. Bukan ambulance, bukan juga mobil petugas polisi yang berpatroli. Melaju seperti ketika nabi musa membelah laut merah dan dia masuk diantaranya. Ternyata yang melintas adalah antara yang memiliki jabatan atau memiliki uang, mungkin juga keduanya. Mobil Alphard (yang saya tidak mampu mengingat plat nomornya) melaju diiringi mobil patroli pengawalan ( sebut saja Fore Rider) di depannya. Mobil-mobil tersebut  melintas tanpa peduli jalanan sudah padat tak terbendung.
7.30, Jum'at, Tol Semanggi.
Hari Jum'at pada jam tersebut merupakan jam padat di jalan ibu kota. Para pekerja pada berhamburan untuk ulang ke rumah atau hang-out dengan teman-teman atau pasangan. Saya masih dikejar meeting dengan client di Cilandak Town Square. Pada saat itu saya bersama relasi kerja saya yang kebetulan akan bertemu dengan orang yang sama. Saya menumpang mobil teman saya ini. Dari Sudirman menuju tempat itu harus menghadapi beberapa ranjau kemacetan di jalanan. Kami hanya berdua pada saat jam 3-1. Apa yang terjadi? Teman saya tetap melaju menembus jalur 3-1. ya, kami berhasil. Tidak ada polisi yang menghentikan kendaraan kami. Saat saya bertanya, teman saya hanya tersenyum. Dia justru menceritakan pengalamannya waktu diberhentikan polisi. Ketika dia ditilang, dia berkata kepada polisinya " Bapak serius mau nilang saya?". Kemudian Polisi mulai sedikit ciut, "Bapak siapa?". Teman saya meminta polisi itu berbicara dengan temannya melalui telepon. Tiba-tiba polisi itu melunak dan melepaskan. Tak perlu saya sebut siapa orang yang berada di balik telepon itu. Kita semua pasti sudah mengerti.
Akhirnya kami memasuki jalur tol. Ditengah antrian panjang, kami jalan menggunakan bahu jalan. saya tidak bisa berbuat apa-apa karena hanya menumpang. Padahal ada ketakutan tersendiri di dalam hati. Akhirnya benar saja, seorang polisi yang sedang bertugas mencoba memberhentikan kendaraan kami. Apa yang terjadi? Polisi tersebut malahan di klakson dan diminta untuk tidak menghalangi dengan membuka jendela. Polisi tersebut sedikit bergeser ke sisi dan bertanya "Bapak dari mana?" teman saya menjawab "Kombes". Akhirnya kami dipersilahkan melaju lagi.
Ironis.
Ternyata hukum tidak berlaku untuk semua kalangan. Masih banyak orang yang memiliki tidak bertoleransi di jalan raya. Ini yang merupakan krisis yang sesungguhnya. Kita masih memiliki hukum, yang memiliki aturan yang mutlak. Akan tetapi para pekerja hukum masih melakukan diferensiasi terhadap pelaku pelanggaran. Seorang polisi yang sesungguhnya memiliki hak dan kewajiban untuk menegakkan hukum, mampu digertak oleh sebagian orang yang berlaku seperti "preman jalanan". Lalu apa yang terjadi? Kewibawaan hukum musnah berikut para penegak hukum lainnya. Masyarakat tidak percaya. Para pengendara mengendarai seperti preman. Jalanan semakin semrawut. Karena kita semua tahu, "mereka" bisa dibeli. Hilang wibawa.
Perilaku seperti ini sudah menjadi suatu budaya. Susah sekali merubah apa yang sudah dianggap biasa, terlebih hal tersebut merupakan kebiasaan yang buruk. Sistem hukum yang lemah menimbulkan pola pikir masyarakat yang lebih menggampangkan. Para pengendara yang memiliki jabatan dan uang lebih bisa menyewa Fore Rider untuk menghindari kemacetan. Para pelanggar aturan lalu lintas kelas tertentu yang sudah kena tilang, menggunakan "relasi" untuk menghindari hukum. Tidak hanya itu, kita semua sudah terbiasa dengan "uang damai" untuk menyelesaikan masalah. Hasilnya, jalanan semakin semrawut dan justru meningkatkan kemacetan. Para pelanggar tidak jera terhadap hukum. Memang ada sebagian yang memang "sial" karena tidak mampu menghindari hukum. Tidak bisa memberi uang damai dan tidak ada juga relasi yang mampu membantu. Disinilah hukum baru berlaku. Mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H