ada pengalaman menarik yang membuatku tersenyum simpul tiap menyeruput teh tubruk.
Gigi bogang.
ha!
Waktu aku kecil, sekitar periode akhir tahun 80an (atau mungkin awal 90an-aku agak lupa), teh tubruk adalah suguhan wajib bagi tamu dirumah akung dan uti - kakek dan nenekku. merek merek teh seperti bandulan, petruk atau botol adalah merek merek yang biasa dikonsumsi karena dijual di hampir setiap toko kelontong. kalau sekarang mungkin seperti teh sariwangi atau sosro. Â Namun pada saat itu, merek bandulan dengan bungkus kertas tipis bergambar anak kecil sedang bermain ayunan, konon, adalah yang terenak.
Hikayat gigi bogang berawal saat kakak lelaki Uti, mbah Isropi, datang berkunjung dengan anak perempuan terkecilnya. Namanya Nurul. mestinya aku memanggilnya bude, karena walaupun usianya kami tidak terpaut jauh ia anak kakak Utiku yang berarti sepupu ibuku. Tapi tentu saja aku tidak memanggilnya bude. Rasanya aneh sekali memanggil anak seusia dengan panggilan bude. Ayahku punya pendapat lain. ia menjuluki Nurul si bude kecil. "halloo bude kecil," begitu selalu ia menyapa Nurul. Nurul yang pemalu biasanya menanggapi dengan menyurut kebalik kaki mbah Isropi.
kami semua berkumpul di ruang tamu. ruang tamu dirumah uti di desain untuk menerima banyak tamu. ada dua set kursi dan beberapa kursi tambahan yang ditata memanjang seperti di tempat hajatan. malam itu kursi kursi itu hampir semuanya terisi penuh. aku tidak ingat satu persatu yang hadir disana malam itu atau topik apa yang asik dibicarakan para orang dewasa. aku tenggelam dikursi busa memperhatikan Nurul. aku ingin mengobrol, tapi kami tidak begitu dekat. tidak seperti hubunganku dengan mbak Sheilla.
lalu rombongan teh datang. hmmm, ini dia kesukaanku. aku sangat suka teh manis. seorang dewasa, entah siapa menuangkan teh panas dari gelasku ke piring kecil. srrrruuuuuuuuuup, sedap! tapi tiba-tiba semua orang tertawa.
"wah saringan Nurul bolong," begitu yang kudengar. Nurul seperti berusaha mengecil dan masuk ke dalam kursi menahan malu. ternyata gigi depan Nurul baru saja tanggal, menyisakan bogang yang cukup besar untuk meloloskan daun teh. padahal, uti menyajikan teh tubruk tanpa disaring terlebih dahulu. jadi di tiap gelas terdapat campuran daun dan gagang teh serta melati. sebagian "kotoran" itu memang mengendap di dasar gelas, namun tak sedikit pula yang mengambang sehingga mendesak ikut masuk mulut ketika teh diminum. Agar tidak terminum, kami mengatupkan gigi dan menggigit gelas. daun teh akan tersaring dan menempel di gigi sehingga dapat dibuang dengan mudah setelahnya.
sayangnya malam itu nurul kurang beruntung. Saringannya bocor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H