Mohon tunggu...
VDST IAAS Indonesia
VDST IAAS Indonesia Mohon Tunggu... Lainnya - IAAS Indonesia

International Association of Students in Agricultural and Related Sciences (IAAS) merupakan organisasi terbesar di dunia dalam bidang pertanian dan ilmu terkait. IAAS Indonesia memiliki 11 Local Committees di seluruh kota Indonesia dengan lebih dari 1.200 anggota aktif.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pangan Rekayasa Genetik Belum Menjadi Solusi yang Cerdik

17 Desember 2021   21:55 Diperbarui: 17 Desember 2021   21:58 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilmu pengetahuan selalu berjalan maju seiring berjalanya waktu, dengan perkembangan yang terus maju membuat manusia tidak pernah berhenti dalam melakukan inovasi. Salah satunya pada persoalan pangan, kemajuan teknologi membuat para ahli serta pihak terkait dalam dunia perpanganan dipermudah dalam melakukan alternatif dalam perkembangan dalam bidang pangan. Hasil dari perkembangan tersebut dapat berpotensi menjadi solusi di masa depan atau malah menjadi permasalahan baru. Salah satu contoh perkembangan di bidang pangan adalah pangan rekayasa genetik.

Pangan rekayasa genetik merupakan makanan dari bahan baku yang diproses dengan rekayasa genetik. Pangan hasil rekayasa genetik ini memiliki proses menggunakan bioteknologi dengan memodifikasi gen pada suatu organisme tertentu yang dapat membuat bentuk fisik maupun kemampuan anatomi yang berbeda. Teknik ini banyak diaplikasikan pada pangan jenis tanaman yang membuat mereka memiliki peningkatan hingga perubahan fungsi organ seperti warna yang berbeda, daya tahan yang meningkat, serta ukuran yang abnormal. Meski begitu tidak semua hasil dari rekayasa genetik menimbulkan respon yang positif.

Dalam pengembangan pangan hasil genetika/ Genetically Modified Foods (GMO) hingga saat ini masih sering menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat baik di negara pengguna GMO maupun negara pengembang GMO. Kontroversi yang paling sering dibicarakan ialah kontroversi potensi gangguan kesehatan akibat konsumsi GMO. Beberapa risiko GMO bagi kesehatan termasuk resistensi antibiotik, alergenisitas, perubahan nutrisi, dan adanya kemungkinan pembentukan racun (Maghari & Ardekani, 2011). Young dan Lewis (1995) mengatakan bahwa sedikit sekali informasi yang terkait dengan efek dari perubahan komposisi gizi pangan GMO baik yang berasal dari tanaman dan hewan seperti pada level interaksi hara, interaksi nutrisi, interaksi gen, bioavailabilitas/absorpsi nutrisi, potensi gizi, metabolisme nutrisi, dan ekspresi gen tentang situasi di mana nutrisi diubah. Berdasarkan informasi ini, diduga belum ada satu penelitian yang menjamin pangan rekayasa genetika 100% aman untuk dikonsumsi. Pangan hasil rekayasa genetika diperkirakan menjadi penyebab berbagai penyakit dengan asumsi bahwa gen asing mungkin mengubah nilai gizi makanan dengan cara yang tak terduga baik yang bisa mengurangi atau meningkatkan beberapa gizi dan nutrisi lain (Small et al., 2005). Kekhawatiran lainnya adalah resistensi antibiotik ke dalam tanaman yang banyak dikonsumsi dimungkinkan memiliki dampak negatif bagi kesehatan manusia dan hewan yang mengkonsumsi tanaman tersebut.

Berikut ini beberapa potensi risiko atau permasalahan yang mungkin terjadi akibat adanya konsumsi produk GMO 

(1)Perubahan kualitas gizi makanan 

(2)Resistensi antibiotik 

(3)Potensi racun dari makanan rekayasa genetik 

(4)Potensi alergi dari makanan rekayasa genetik 

(5)Transfer gen yang tidak disengaja pada tanaman liar 

(6)Kemungkinan pembentukan virus dan racun baru 

(7)Keterbatasan akses terhadap benih dengan adanya paten dari tanaman hasil  rekayasa genetik 

(8)Ancaman terhadap keragaman genetik tanaman 

(9)Kekhawatiran agama/budaya/etika 

(10)Kekhawatiran karena tidak ada pelabelan pada makanan rekayasa genetik 

Dari dampak kesehatan yang diakibatkan oleh rekayasa genetik pada pangan biasanya berasal dari ketidak dugaan dalam proses penyusunan gen pada mikroorganisme. Materi genetik baru terkadang tidak berhasil ditransfer ke sel target, atau mungkin transfer ke posisi yang salah dalam rantai DNA organisme target, atau gen baru dapat secara tidak sengaja mengaktifkan gen terdekat yang biasanya tidak aktif, atau dapat mengubah atau menghambat fungsi gen lain dan menyebabkan mutasi yang tidak disengaja, membuat tanaman yang dihasilkan mengandung racun, tidak subur, dan tidak dalam keadaan optimal (Pramashinta, Riska, & Hadiyanto, 2014). Kemudian, dalam tubuh makhluk hidup transgenik yang memiliki resistensi antibiotic disebabkan oleh gen penanda resisten antibiotic yang diimplan dan dapat dipindah ke mikroba penyebab penyakit dalam organ pencernaan manusia serta hewan yang mengkonsumsinya. Hal tersebut dapat membuat mikroba resisten terhadap antibiotic yang berdampak pada kesehatan pada manusia yang memiliki mikroba yang menolak antibiotic. 

Cucamelon | Mediatani.co
Cucamelon | Mediatani.co

Selain itu, banyak makanan yang dimodifikasi secara genetik menggunakan mikroorganisme sebagai donor potensial menyebabkan alergi yang tidak diketahui atau belum diuji. Menurut Karmana (2009), tanaman transgenik diduga dapat menimbulkan alergi jenis baru karena adanya penambahan protein tertentu ke dalam tanaman. Misalnya adalah kedelai transgenik yang diintroduksi dengan gen penghasil protein metionin dari tanaman brazil nut, diduga menimbulkan alergi terhadap manusia. Melalui uji skin prick-test menunjukkan bahwa transgenik positif sebagai allergen (Karmana, 2009). Potensi reaksi alergi terhadap protein transgenik yang berasal dari organisme donor menjadi salah satu alasan pentingnya penetapan undang-undang untuk mencantumkan label pada produk-produk transgenik (FAO, 2001).

Beras Emas | News.labsatu.com
Beras Emas | News.labsatu.com

Berdasarkan pembahasan sebelumnya mengenai dampak negatif dari tanaman transgenik dari sisi kesehatan sehingga perlunya penanganan lebih lanjut. Penanganan tersebut salah satunya yaitu membentuk peraturan produk transgenik. Akan tetapi, saat ini masih belum ada mekanisme dan prosedur untuk deteksinya, seperti berapa ambang batas suatu produk disebut GMO, dan piranti deteksi apa yang akan digunakan. Perlunya mempersiapkan hal tersebut dikarenakan ketersediaan informasi dan sarana sangat diperlukan untuk mempertimbangkan mengenai kebijakan pelabelan atau aspek legal dari masalah yang berhubungan dengan produk transgenik. Selain itu, introduksi tanaman transgenik atau produk pangan yang dihasilkannya perlu dievaluasi secara akurat seperti yang dilakukan pada proses pelepasan sejumlah varietas tanaman atau pemasaran produk pangan baru. Nantinya, peraturan yang dibuat untuk evaluasi harus diambil berdasarkan data ilmiah yang sesuai, atau berdasarkan pertimbangan rasional yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, sehingga peraturan tersebut tidak hanya melindungi konsumen dari bahaya nyata, tetapi juga memungkinkan konsumen untuk memanfaatkan produk transgenik dan teknologi yang mendasarinya secara maksimal. Akan tetapi, peraturan yang dibuat hendaknya tidak menimbulkan kerumitan baru yang tidak perlu. Oleh karena itu, perlunya meningkatkan pendidikan masyarakat mengenai teknik rekayasa genetika, juga perlunya membentuk komisi nasional atau badan sejenis yang khusus menangani rekayasa genetika. Hal tersebut harus dilakukan hingga menjadi agenda utama bagi penentu kebijakan yang berhubungan dengan masalah keamanan produk transgenik (Losey et al., 1999).

Written by: Alfika Rizka Hapsari, Rossinta Ratna K, Azizah Zahro Ihsaniah, Bintang Muhammad Hafizh Dzikri - IAAS LC UNS

Referensi:

Bettelheim, A. (1999). Drug-Resistant Bacteria (9 ed.). CQ Researcher. Diambil dari http://library.cqpress.com/

Hileman, B. 1999. UK moratorium on biotech crops. Chemical & Eng News May, Pp 7.

Losey, J.E., L.S. Rayor, and M.E. Carter. 1999. Transgenic pollen harms monarch larvae. Nature 399:214.

Maghari, B. M., & Ardekani, A. M. 2011. Genetically modified foods and social concerns. Avicenna journal of medical biotechnology, 3(3), 109.

FAO. 2001. Genetikally Modified Organism, Consumers, Food Safety and the Environment. Diambil dari http://www.fao.org/3/X9602E/X9602E00.htm

Karmana, I Wayan. 2009. Adopsi Tanaman Transgenik dan Beberapa Aspek Pertimbangannya. Ganec Swara, 3 (2): 12 - 21. 

Phillips, S.C. 1994. Genetically engineered foods: do they pose health and environmental hazards. CQ Researcher, 4(29): 673–96.

Pramashinta, A., Riska, L., & Hadiyanto. (2014). Bioteknologi Pangan: Sejarah, Manfaat dan Potensi Risiko. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 3(1). Diambil dari http://jatp.ift.or.id/index.php/jatp/article/view/34/14.

Small, B., T. G. Parminter, M. W. Fisher. 2005. Understanding public responses to genetik engineering through exploring intentions to purchase a hypothetical functional food derived from genetically modified dairy cattle. New Zealand Journal of Agricultural Research, 48: 391-400.

Young, A. L dan C.G. Lewis. 1995. Biotechnology and potential nutritional implications for children. Pediatr Clin North Am., 42(4): 917–30.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun