Pendidikan merupakan hal esensial untuk efisiensi pembangunan nasional. Sayangnya, pengalaman lapangan justru menampik signifikansi pendidikan formal dengan efisiensi kinerja petani. Apakah profesi petani dapat direalisasikan melalui pendidikan formal?
Dalam beberapa dekade terakhir, hari pertama dan kedua pada bulan Mei umumnya dirayakan dengan perayaan hari buruh dan pendidikan di Indonesia. Berbicara mengenai buruh, petani merupakan salah satu subjek yang kerap menjadi representasi dari kaum ini. Alih-alih membahas penyadaran kawula muda akan pendidikan dunia agrikultur, May Day dirayakan dengan polemik agraria, gaji, dan ragam keluhan. Kiranya, artikel ini dapat menjadi salah satu sajian dalam perayaan tersebut.
Bukan lagi rahasia apabila jumlah petani muda di Indonesia semakin berkurang. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Lokadata.id, setelah kabar penurunan jumlah petani muda sebanyak 415.789 orang dari periode 2017 ke 2018, jumlah petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya tersisa 8 persen atau setara dengan 2,7 juta orang dari jumlah petani per 2019 mencapai 33,4 juta orang di tahun 2020. Daripada menghimbau para pengenyam pendidikan pertanian di lingkungan formal untuk dapat memasuki usaha agrikultur, boleh jadi eksistensi sistem pendidikan formal di bidang pertanian memang perlu dipertanyakan.
Hari Pendidikan Nasional biasanya disajikan dengan 3 kutipan Bapak Pendidikan Nasional. Meski begitu mengena, pendidikan yang berorientasi pada agrikultur rasanya tidak pernah hadir di benak siswa sedari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama. Bahkan di bangku perkuliahan formal, wujud pendidikan pertanian formal dewasa ini nampaknya tidaklah menggambarkan candradimuka calon petani masa depan. Jauhnya jarak antara sekolah dengan tempat bercocok tanam, jarangnya intensitas pelajar belajar bercocok tanam, serta teralihkannya perhatian pelajar pada bejibunnya tugas kuliah membuat mereka tidak lagi melirik dunia agrikultur sebagai masa depan.
Penelitian yang dilakukan Suminah dkk. (2021) mengindikasikan bahwa pendidikan formal di tingkat sekolah menengah tidak berpengaruh signifikan terhadap keterampilan petani dalam pengembangan agribisnis cabai. Didukung dengan penelitian Mariyono dkk. (2021), pengalaman kerja dan pendidikan non-formal di lapangan justru menjadi aspek penting dalam pengembangan keterampilan dan perilaku petani untuk menerapkan inovasi teknologi, pengetahuan, dan keterampilan guna meningkatkan efisiensi usaha tani. Melalui riset yang telah ia lakukan, Mariyono dkk. (2021) menyimpulkan bahwa mata pencaharian petani di masyarakat dapat mengalami peningkatan secara substansial ketika para calon petani dididik di lapangan secara non-formal.
Boleh kita duga bahwa salah satu cara untuk menambah petani muda di lapangan bukanlah melalui pendidikan agrikultur yang dilakukan secara formal. Peningkatan intensitas pelajar di lahan merupakan aspek yang perlu diperhatikan. Di samping itu, akan lebih revolusioner lagi apabila posisi petani dapat disejajarkan dengan Aparatur Sipil Negara yang dididik secara khusus di lapangan sedari mereka masuk ke bangku kuliah.
Written by: Ahmad Fathullah Afidaputra - IAAS LC UGM
Referensi:
Mariyono, J., J. Waskito, Suwandi, Tabrani, A. Kuntariningsih, E. Latifah, and E. Suswati. 2021. Farmer field school : Non-formal education to enhance livelihoods of Indonesian farmer communities. Community Development: Journal of the Community Development Society, 1-18.Â
Suminah, D. Padmaningrum, E. Widiyanti, B. W. Utami, and H. Ihsaniyati. 2021. Chili farmers’ behavior in developing chili agribusiness in Central Java. The 7th International Conference on Sustainable Agriculture and Environment: Earth and Environmental Science, 637.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H