Ketidakadilan merupakan suatu tindakan yang menyangkut masalah pembagian sesuatu terhadap hak seseorang atau kelompok. Di Indonesia ketidakadilan sering terjadi di berbagai aspek, contoh yang paling sering terasa adalah di aspek hukum yaitu ketidakadilan hukum. Bentuk ketidakadilan hukum merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan sila Pancasila yang ke-5 "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" dan seharusnya hal ini bisa teratasi dengan adanya Undang-Undang yang mengatur, namun masih ada saja kejadian penegakan hukum yang kurang adil. Berikut contoh-contoh kasusnya :Kasus nenek Saulina berusia 92 tahun divonis penjara, karena menebang pohon di tanah wakaf Dusun Panamean, Desa Sappuara, Kecamatan Uluan, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Bermula saat nenek Saulina bersama enam orang anaknya ingin memperbaiki kuburan kakek mereka, sebelum memulai Saulina telah meminta izin terlebih dahulu ke pemilik tanah. Saat memperbaikinya mereka menebang pohon seperti durian dan kopi yang ada di sekitar kuburan tersebut. Namun setelah kuburan selesai diperbaiki pada Februari 2017, ada tetangga yang melaporkan Saulina dan anak-anaknya ke polisi dengan prasangka merusak tanaman. Keputusan persidangan menyatakan Saulina divonis 1 bulan 14 hari sebagai tahanan rumah, sementara anak-anaknya divonis 4 bulan 10 hari penjara di Rutan Balige.
Pada kasus ini terlihat bahwa hukum kian semena-mena, tidak adanya bukti dipersidangan bahwa pelapor memiliki surat tanah, maupun bukti dia menanam pohon di daerah tersebut. Dalam persidangan jelas bahwa pelapor tidak memiliki semua bukti tersebut, padahal pemilik tanahnya sendiri telah memberikan ijin kepada Saulina dan keluarga untuk membersihkan daerah sekitar kubur tersebut. Akan tetapi Pengadilan tidak  menanyakan secara lebih detail mengenai perbuatan Saulina dan keluarga, dan langsung menyatakan bahwa mereka melakukan perusakan tanaman, serta sudah membuat vonis penjara kepada keluarga tersebut.
Lalu, kasus lain misalnya Kasus pencuri semangka. Dua orang terdakwa pencuri semangka, Basar dan Kholil dituntut 2 bulan 10 hari Kejaksaan Negeri Kediri. Kesalahan yang dilakukan pada UU hukum Pidana pasal 362 ayat 1, tentang tindak pidana pencurian. Jaksa menganggap ada 1 hal yang memberatkan kedua terdakwa yakni tindakannya dianggap merugikan korban dan dikhawatirkan menjadi pelajaran buruk bagi masyarakat.
Maka ancaman hukumannya dianggap lebih rendah dari ketentuan semestinya. Hal ini memicu pergerakan mahasiswa Kediri yang menyatakan "Jelas mereka hanya korban dari aturan perundang-undangan yang usang. Apa yang mereka curi tak ubahnya sampah yang kami pecahkan ini, tidak sepatutnya diadili". Sehingga pada akhirnya pengadilan mengubah tersebut dengan membuat vonis hukuman 15 hari dengan masa percobaan satu bulan, dengan tujuan sebagai efek jera mengingat kasus pencurian juga merugikan orang lain.
Pada kasus ini terlihat bahwa jaksa menganggap bahwa perbuatan mencuri merugikan masyarakat, tetapi tuntutan dan hal yang memberatkan kurang tepat. Seharusnya para koruptor yang membuat masyarakat sengsara harus dihukum seberat-beratnya. Tetapi masyarakat yang mencuri semangka seakan yang menerima akibatnya. Cara pengadilan menangani kasus tersebut juga kurang tepat, pengadilan baru merubah keputusan akibat tekanan dari berbagai pihak. Yang seharusnya dari awal persidangan, para hakim dan jaksa melihat terlebih dahulu kondisi para pelaku baik sosial maupun kehidupan nya. Maka dari itu penting sekali untuk hukum di Indonesia ditinjau kembali agar terciptanya keadilan baik bagi kaum menengah kebawah agar perlakuan hukum bisa sama rata.
Menurut pendapat kami sebagai mahasiswa, untuk meningkatkan keadilan hukum perlu adanya sanksi yang lebih tegas bagi perbuatan yang mengakibatkan kerusakan luas dan sanksi yang lebih ringan untuk perbuatan yang menimbulkan kerusakan minor, lembaga yang berhubungan dengan hukum juga harus terbuka terhadap kebutuhan dimasyarakat. Lalu perlu ada penyuluhan terhadap masyarakat untuk memperoleh keadilan dalam sidang pengadilan. Menurut kami pula sebagai masyarakat, kita harus bisa mengatasi masalahnya sendiri misalnya dengan menyediakan alat bukti yang mendukung pernyataan. Sehingga hukum bisa terlihat adil ketika semua kepentingan bisa menyuarakan aspirasi dan tidak tumpang tindih satu sama lain.
Oleh karena itu marilah kita bangun hukum yang seadil-adilnya sehingga tidak ada masyarakat yang mengatakan hukum tajam kebawah dan tumpul keatas. Sehingga tercipta hubungan harmonis antara para penguasa dan rakyat yang membuat hukum menjadi kuat, teguh, kokoh dan tentunya adil bagi seluruh kalangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H