[caption id="attachment_215509" align="aligncenter" width="300" caption="tradisi aksi kekerasan jalanan menjadi trend masa kini, foto : google.com"][/caption]
Selama seminggu terakhir, aksi tawuran pelajar sedang marak menjadi buah bibir masyarakat seluruh penjuru Indonesia. Terlebih, aksi tersebut tak hanya dilakukan olehpelajar SMA namun juga pelajar SMP yang bisa dibilang masih dibawah umur. Meski bukan satu tindak yang tak asing lagi, namun satu pertanyaan besar, mengapa kasus ini senantiasa berulang bahkan korbannyapun terus meningkat dari waktu ke waktu?.
Seperti yang senantiasa kita lihat dalam berita, para pelaku tawuran itupun tak segan untuk menghabisi nyawa lawannya. Dengan berbekal senjata tajam seperti golok, sabit, ikat pinggang bergerigi, dan lainnya mereka dengan bangga terjun ke jalanan menghadang pelajar lain yang mereka anggap musuh. Bahkan tak jarang, mereka menghadang pelajar dari sekolah yang mereka anggap musuh di kendaraan umum, meski bukanlah bagian dari musuh yang mereka incar.
Dengan mengenakan seragam sekolah yang masih melekat di tubuh mereka, tak jarang jam sekolah yang seharusnya menjadi waktu mereka untuk belajar justru digunakan untuk pamer kejantanan dengan beradu fisik bersama pelajar lain di jalanan. Merekapun tak canggung lagi meski jalan yang menjadi arena mereka dekat dengan kantor polisi. Namun timbul lagi pertanyaan, mengapa mereka sampai tak segan lagi dengan aparat kepolisian yang tak jauh dari mereka?. Bahkan ada kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pelajar kelas VII SMP di depan kelas meski saat itu belum ada orang di sekolah itu.
Dengan bukti-bukti tersebut, timbul pertanyaan besar, apakah para generasi muda terutama pelajar yang tak lagi mempunyai rasa takut terhadap aparat dan guru atau justru aparat yang cuek dan menganggap semua ini adalah kasus yang sudah biasa terjadi?. Masyarakat sekitar juga pengguna jalan pun seolah hanya menjadi penonton yang tak bisa berbuat apa-apa. Jangankan masyarakat biasa, bahkan aparat keamanan juga seolahhanya menjadi penonton pula seperti mereka. Jika sudah begini, siapakah yang bisa disalahkan?. Orang tua yang tidak bisa mendidik anak sekaligus mengontrol pergaulan anak, pihak sekolah yang dianggap acuh terhadap akhlak siswa, atau justru para siswa itu sendiri yang memang memiliki watak brutal bin anarkis?.
Sebenarnya, kita tidak bisa menyalahkan salah satu pihak saja. Ada banyak faktor tentunya yang menjadi penyebab watak brutal generasi muda masa kini. Memang sulit ketika suatu sekolah sudah “dicap” memiliki budaya tawuran yang menjadi label baginya, meski hanya sebagian kecil saja dari pelajarnya yang terlibat, namun label itu akan senantiasa melekat. Masa remaja yang identik dengan emosi dan jiwa yang masih labil ditengah segala permasalahan sosial seperti keadaan ekonomi yang lemah dalam keluarga,komunikasi yang tidak harmonis dengan orang tua, tekanan pembelajaran yang menuntut kecerdasan intelektual tanpa memperhatikan aspek kecerdasan emosi dan spiritual, kian menjadi beban tersendiri bagi para pelajar tersebut. Akhirnya aksi anarkis jalananpun yang menjadi alternatif pelampiasan mereka.
Tentu timbul pertanyaan, darimanakah sebenarnya watak brutal itu mereka pelajari?. Bila kita telaah lebih jauh, sebenarnya budaya brutal itu merupakan warisan dari sajian media. Karena seperti yang kita lihat dimasa sekarang, media begitu terbuka dalam menyajikan informasi khususnya tentang kasus kekerasan. Dalam berbagai berita yang disiarkan khususnya di stasiun televisi yang dilengkapi dengan liputan secara lengkap dengan gambar yang bisa dilihat langsung, hal ini akan muda direkam oleh memori anak.
Terlebih jika ada tayangan rekonstruksi atau reka ulang adegan kriminal misalnya pembunuhan, kekerasan, pemerkosaan, dan kasus kriminal lainnya, bukankah secara tidak langsung hal ini justru mengajarkan anak tentang tata cara untuk melakukan aksi-aksi kriminal tersebut?. Pun, ketika sang pelaku menuturkan kronologi tindakan mereka di depan media. Para remaja yang masih labilpun seolah mendapat kursus tindak kriminal dari media, terkait tentang senjata apa yang harus mereka gunakan, bagaimana cara menggunakannya, bagian tubuh mana yang bisa membuat sasaran luka parah.
Belum lagi ketika media mengekspos atau menayangkan mayat korban maupun bukti fisik seperti bercak darah di lantai, hal ini seolah membenarkan bahwa segala tindak kriminal itu adalah satu bentuk pelampiasan emosi yang wajar. Dan semua itu mereka lihat setiap hari meski hanya melalui media, khususnya siaran di televisi. Tak hanya itu, merekapun bisa mempelajarinya dengan mengunduh video berita yang telah disiarkan melalui website stasiun televisi terkait maupun melalui YouTube.
Karenanya, sekiranya para awak mediapun berbenah diri. Mereka seharusnya menyadari, ada kode etik dan beban moral yang mereka emban dalam setiap tugas warta mereka. Terlebih, dalam menyiarkan suatu berita khususnya berita kriminal. Merekapun harus bisa memilih dan memilah apa yang sekiranya layak untuk menjadi konsumsi masyarakat, karena fungsi sejati dari media adalah edukasi atau pendidikan bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H