Mohon tunggu...
Varihanna Khalil
Varihanna Khalil Mohon Tunggu... -

16th graduate of ar-Raudhatul Hasanah boarding school. student of maths at science faculty,syiah kuala university, and student of english department at tarbiyah faculty, institute of islamic studies ar-Raniry. really like writing n reading.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

maafin Na, ayah...

18 Maret 2011   18:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aaamin… kututup do’a ku seraya mengusap air mata yang mengalir di pipi… aku masih tertegun di gundukan tanah itu,, kenangan-kenangan masa lalu berkelebat di pikiran ku.. Ah, tapi kenangan hanya tinggal kenangan,, yang tersisa hanyalah penyesalan belaka…

***

“Na ga mau ayah, Na ga suka. Na maunya masuk ke sekolah favorit,, SMA favorit,, ayah kan udah janji sama Na”, protesku saat ayah tidak mengabulkan keinginanku untuk masuk ke SMA favorit. Kenapa sich keinginanku tidak di kabulkan,, sementara kakak ku dengan bebas menentukan pilihannya sendiri. Aku tidak bisa menerima ketidak adilan ini, aku juga ingin dituruti, bukan selalu menuruti. “ini semua kan untuk Na juga, makanya ayah ga mau menyekolahkan Na di SMA favorit”, ibuku menengahi perdebatanku dengan ayah. “Tapi bunda….”, kata-kataku tercekat di kerongkongan. Aku tak pernah bisa membantah mereka, walau di awal aku akan bersikeras dengan pilihanku, tapi pada akhirnya aku tetap mengalah.

Pada akhirnya aku menghabiskan masa remajaku di sekolah pilihan ayahku. Benar kata mereka, ini semua untukku, untuk kebaikanku. Seminggu lagi aku yudisium, hmmm akhirnya tamat juga dari sekolah ini. “Na, kamu di panggil ke kantor tu”, seru teman ku. What??? Kantor??? Oh tidak,,ada apa ini?? Bahkan aku tak pernah melakukan kesalahan,, aku termasuk murid teladan di sekolah. Kenapa bisa di panggil??? Dengan perasaan tak tenang, aku segera melangkahkan kakiku ke kantor.

“selamat ya Na, berkas-berkasmu diterima di Universitas Negeri Malang jurusan Manajemen”, sambut kak Irma saat melihat kehadiran ku di kantor. “iya kak?? beneran?? Selain Na,,siapa lagi kak??” balas ku. “Tuh si Nisa juga lulus”, jawabnya. Setelah mendengarkan penjelasan gono gini,, aku pun kembali. Akhirnya,, keinginanku terkabul.. aku tak perlu bersusah-susah ujian masuk PTN lagi. Owh,, senangnya. Tapi ayah??? Apa beliau setuju???tidak,,tidak, kali ini aku harus disetujui.

***

Hiks hiks.. Air mataku masih mengalir mengingat kenangan itu, keberangkatan ku ke Malang. Bahkan sebelumnya diwarnai dengan perdebatan antara aku, ayah dan ibuku. Aku menganggap pikiran mereka terlalu kolot, masih saja mengekang anaknya untuk meraih cita-citanya menjadi seorang pakar ekonomi. Apa salahnya, tidak semua anak harus menjadi dokter kan?? Bisa-bisa kebanjiran dokter negeri ini, andai saja setiap anak diwajibkan menjadi dokter oleh orang tuanya.

Aku berangkat ke bandara sendiri, semua-semuanya kulakukan sendiri. “Hmm, belajar mandiri dari sekarang”, batin ku. Sedih sich,, tanpa ayah dan ibu yang mengantar. Tapi tak apa,, daripada mereka menggagalkan keberangkatanku kali ini. Empat tahun kuhabiskan waktuku untuk menyelesaikan studi disini, beruntungnya aku berhasil menyandang gelar cumlaude dan dikontrak oleh sebuah perusahaan besar ternama. Yah, empat tahun yang kuhabiskan tanpa menjenguk kampung sekalipun,, rasa kesal, marah dan ego membuatku enggan melakukannya. Bahkan komunikasipun hanya beberapa kali dalam setahun. Tiap ibu menelponku,, aku jarang menggubrisnya karena aku selalu saja terkenang peristiwa dimalam sebelum keberangkatanku.

***

“Kalau kamu memang berniat kesana, pergilah. Ayah tidak akan pernah melarang mu lagi, lakukan apa yang menurutmu baik untuk dilakukan. Tapi ingat, ayah tidak mau membiayai kuliahmu”. Aku tersentak mendengarnya, bagaimana mungkin aku hidup di kota orang tanpa dibiayai. Tapi,ego memaksaku menjawab, “baik ayah, Na akan buktikan kalau Na bisa, tanpa biaya dari ayah”. Aku segera berlari ke kamar, ku hempaskan tubuhku, menangis sejadi-jadinya, meluapkan semua lara dan kesal di hati. Aku berharap ada yang membantuku. “Na, tenanglah nak, ayahmu tidak mungkin begitu, beliau  hanya tidak ingin kamu kesana. Berangkatlah nak jika kamu ingin berangkat, bunda tetap merestuimu”.

Ah, bunda memang selalu menjadi malaikat penolongku. “Tapi bundaaa….”. “Sudahlah, biar nanti bunda yang bujuk ayah, sekarang kamu janji  ya kalau disana nanti akan tekun belajar !”, pintanya padaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun