Alkisah ada seekor monyet dan seekor ikan terperangkap pada banjir yang mengerikan dan tersapu ke hilir ditengah derasnya air dan puing-puing. Tiba-tiba sang monyet melihat sebuah cabang pohon yang menjorok dan menarik dirinya ke tempat yang aman dari arus banjir. Kemudian, karena ingin menolong temannya yaitu sang ikan, sambil tetap bergelantung pada cabang pohon ia memasukan tangannya ke dalam air untuk meraih sang ikan dan menariknya dari dalam air. Akhirnya monyet dan ikan selamat dari bahaya arus.Â
Moral dari cerita diatas sangat jelas.Â
Good intentions are not enough. If you wish to help the fish, you must understand it's nature.
Niat baik saja tidak cukup. Jika anda ingin membantu sang ikan, maka kita perlu memahami lingkungannya.
Ketika kita menghadapi sebuah permasalahan, maka penyelesaiannya harus dimengerti dan dipandang secara luas. Begitu juga dengan bencana. Hal yang membuat sebuah bencana menjadi kompleks bukan hanya berbicara tentang kejadian alam, tetapi peran dari masyarakat sendiri yang kadang mengklaim sebagai korban. Bahaya mungkin terjadi secara alami, tetapi tidak dengan bencana. Saat alam dan masyarakat berinteraksi, disanalah muncul bencana. Kekuatan alam yang menghantam daerah dimana tidak ada orang yang hidup tentunya tidak akan dianggap sebagai bencana. Atas dasar inilah kita harus melihat lebih luas lagi bahwa kekuatan masyarakat adalah kunci penting permasalahan bencana.Â
Cerita sang monyet dan sang ikan membawa kita untuk lebih mengerti bahwa masyarakat sebagai kunci permasalahan bencana harus dipahami secara keseluruhan mulai dari prioritas sosialnya, budayanya, hingga kesadaran mereka akan bencana. Saat ini banyak sekali studi yang mempelajari tentang pentingnya kesadaran masyarakat atas terjadinya suatu bencana. Anda dapat membacanya disini. Kita mungkin bisa menambah kualitas infrastruktur menjadi lebih baik seperti teknologi canggih untuk melakukan peringatan bencana di suatu daerah rawan, tapi perilaku masyarakat akan lebih sulit dikendalikan dan masyarakat bisa saja akan terus tinggal menetap di daerah berbahaya tersebut.Â
Mari kita sedikit mengenang kejadian pada tahun 2004. Jumlah korban tewas yang tercatat dalam bencana Tsunami Aceh kurang lebih berjumlah 230.210 – 280.000 jiwa. Tingginya korban jiwa pada bencana ini diakibatkan terlambatnya evakuasi akibat kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai gempa dan Tsunami. Sebaliknya, di Pulau Simeulue jumlah korban sangat kecil walaupun sama-sama terkena bencana yang sama. Hal ini ternyata dikarenakan oleh pengetahuan masyarakat mengenai Tsunami melalui early warning people system (peringatan dini oleh manusia) pada lagu Smong yang diturunkan secara turun temurun. Lagu ini bercerita tentang beberapa instruksi saat terjadi Tsunami yang diperkirakan diketahui sejak dahulu karena secara geografis Pulau Simeulue adalah kawasan yang sering terkena gempa dan Tsunami. Liriknya dapat anda lihat dibawah ini.Â
Ada potensi besar yang dapat kita harapkan dari penerapan edukasi bencana melalui cerita rakyat yang berhubungan dengan kearifan lokal. Salah satu media yang dapat kita gunakan adalah radio. Radio masih tetap dinikmati hingga saat ini. Seperti dilansir dalam marketing.co.id, Hasil Survei Nielsen menunjukkan 57% pendengar radio justru konsumen masa depan dengan usia relatif muda. Kontribusi pendengar radio ini didominasi oleh Millenials 38%, Generasi X dengan 28%, dan Generasi Z 19%.Â
Sementara pendengar radio pada Generasi Baby Boomers dan Silent Generation relatif lebih sedikit, masing-masing yang hanya berkontribusi sebesar13% dan 2%. Selain itu radio masih dianggap sebagai media berbasis komunitas, sehingga pesan komunikasi yang disampaikan disesuaikan dengan pendengar yang lebih spesifik dan disesuaikan dengan kebutuhan penduduk di kota-kota tertentu. Selain itu radio sangat mudah terjangkau dari segala kalangan, sehingga penyebaran cerita melalui sandiwara radio berisi edukasi ini tentunya dapat tersebar merata di semua kalangan masyarakat.
Mungkin cerita sederhana yang sarat edukasi sadar bencana ini akan lambat jika diceritakan secara turun temurun seperti pada masyarakat Pulau Simeulue, tapi dengan memanfaatkan radio terdapat harapan bagi peningkatan pesat dari budaya sadar bencana masyarakat. Akan lebih baik jika nanti terdapat beberapa variasi cerita yang disesuaikan dengan kondisi geografis setiap daerah di Indonesia dan dihubungkan dengan kearifan lokal masing-masing, sehingga masyarakat setempat akan lebih mudah untuk mengerti. Saya optimis jika hal ini dilakukan secara konsisten pada akhirnya masyarakatlah yang akan menjadi solusi dari setiap dampak bencana, bukan lagi sebagai korbannya.Â