Dalam kajian hubungan internasional, teori-teori realisme dan liberalisme telah menjadi dua pilar utama yang membentuk pemahaman kita tentang perilaku negara dan dinamika sistem global. Realisme, dengan fokusnya pada kekuasaan dan anarkisme sistem internasional, menekankan bahwa negara bertindak untuk menjaga kepentingan dan keamanan nasional dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian. Di sisi lain, liberalisme menawarkan pandangan yang lebih optimis, menyoroti pentingnya kerjasama, institusi internasional, dan norma-norma demokrasi sebagai sarana untuk mencapai perdamaian dan stabilitas. Dengan latar belakang konflik global yang semakin kompleks, muncul pertanyaan mendasar antara realisme dan liberalisme. Teori mana yang lebih efektif dalam menjelaskan dan mempengaruhi perilaku negara? Sejalan dengan munculnya teori Realisme dan Liberalisme, teori ini juga melahirkan lagi teori lain sebagai bentuk perkembangannya yang muncul pada akhir abad ke-20 terutama setelah Perang Dingin. Neo Realisme sebagai turunan dari Realisme dan Neo Liberalisme sebagai turunan dari Liberalisme. Dalam tulisan ini saya akan membahas lebih lanjut mengenai keempat teori tadi untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan mengenai teori mana yang lebih efektif melalui pembahasan secara mendalam.
Realisme
Realisme sebagai teori dalam hubungan internasional memiliki akar yang dalam dalam pemikiran politik Barat, dapat ditelusuri kembali hingga zaman kuno. Pemikir seperti Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes dianggap sebagai pelopor pemikiran realistis. Thucydides dalam History of the Peloponnesian War menyoroti sifat manusia yang egois dan konflik kekuasaan antara negara-negara, yang menjadi fondasi awal bagi pemikiran realis. Machiavelli dalam The Prince menekankan pentingnya kekuasaan dan pragmatisme dalam politik. Thomas Hobbes dalam Leviathan menggambarkan kondisi manusia dalam keadaan alam sebagai "perang semua melawan semua," menekankan perlunya otoritas yang kuat untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Realisme mulai berkembang sebagai teori formal setelah Perang Dunia II, dengan tokoh seperti Hans Morgenthau yang menonjol dalam pemikiran ini melalui bukunya Politics Among Nations, yang menggarisbawahi bahwa politik internasional ditentukan oleh fakta kekuasaan.
Negara merupakan aktor utama dan terpenting dalam sudut pandang ini. Realisme juga menekankan bahwa pada dasarnya sifat manusia adalah egois dan kompetitif. Sehingga manusia sebagai yang menjalankan sebuah negara akan mempengaruhi perilaku negara tersebut. Dengan kata lain negara merupakan entitas yang egois dan hanya akan bertindak pada hal yang menguntungkan atau yang berkaitan dengan national interestnya dimana konflik dianggap hal yang wajar dalam interaksi antarnegara. Setiap negara bertindak untuk memaksimalkan kepentingan nasionalnya, yang sering kali berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan  dalam bentuk militer menjadi tolok ukur utama dalam menentukan posisi dan pengaruh suatu negara dalam sistem internasional. Hal tersebut secara tidak sengaja memicu ketegangan yang dapat menimbulkan konflik ketika sebuah negara berupaya melindungi diri sendiri atau biasa disebut sebagai security dilemma yang merupakan hasil dari perimbangan kekuatan (balance of power) dalam konteks ini secara militer.
Teori ini juga berpendapat bahwa negara hanya bisa mengandalkan diri sendiri dan juga  dunia internasional adalah arena yang anarkis. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan tidak adanya pemerintahan dunia dan juga tidak adanya kepolisian dunia yang memiliki yurisdiksi wajib. Hal hal tersebutlah yang memunculkan rasa tidak aman, sulitnya mempercayai aktor lain, dan juga meningkatnya keingininan menolong diri sendiri. Karena hal tersebut output yang dikeluarkan sebagai "self defense mechanism" suatu negara ialah dengan memperkuat militernya secara terus menerus.
Neo RealismeÂ
Pada akhir abad ke-20, muncul neo-realisme sebagai pengembangan teori realisme yang dipelopori oleh Kenneth Waltz melalui bukunya Theory of International Politics, yang memperkenalkan analisis struktural dan berfokus pada bagaimana struktur anarkis sistem internasional mempengaruhi perilaku negara dan bukan individunya. Sama seperti realisme teori ini menekankan bahwa sistem internasional bersifat anarkis, artinya tidak ada pemerintahan pusat yang mengatur hubungan antarnegara, tetapi fokus utama neo-realisme adalah pada bagaimana struktur sistem ini termasuk distribusi kekuasaan yang mempengaruhi perilaku negara-negara. Salah satu konsep penting dalam neo-realisme adalah keseimbangan kekuasaan (Balance of Power), di mana negara-negara berusaha mencapai keseimbangan guna mencegah dominasi oleh satu negara, sering kali dengan membentuk aliansi atau memperkuat kekuatan militernya untuk menjaga stabilitas dan keamanan. Perilaku negara, menurut neo-realisme, ditentukan bukan hanya oleh sifat manusia atau kepentingan nasional individual, tetapi lebih pada posisi dan peran negara dalam struktur internasional, negara dengan kekuatan besar memiliki perilaku yang berbeda dibandingkan negara kecil. Neo-realisme juga dibagi menjadi dua aliran utama, yaitu defensive structural realism, yang dipelopori oleh Waltz, berfokus pada mempertahankan status quo dan menghindari konflik yang tidak perlu, sementara offensive structural realism, yang dipelopori oleh John Mearsheimer, berargumen bahwa negara cenderung mencari kekuasaan lebih banyak untuk menjamin keamanan mereka. Meskipun neo-realisme memberikan perspektif yang kuat dalam analisis hubungan internasional, kritik muncul dari teori-teori lain, seperti liberalisme dan konstruktivisme, yang menilai bahwa neo-realisme terlalu fokus pada kekuasaan dan mengabaikan faktor-faktor seperti norma, identitas, dan kerjasama internasional.
Liberalisme
Liberalisme awalnya muncul sebagai respons terhadap kondisi pasca Perang Dunia Pertama, di mana para akademisi berupaya mencari solusi yang lebih baik untuk menghindari konflik dalam interaksi antarnegara. Tokoh-tokoh penting dalam pengembangan teori ini termasuk Woodrow Wilson, Presiden Amerika Serikat yang merintis gagasan Liga Bangsa-Bangsa, serta David Davies, Kepala Departemen Studi Politik Internasional di Wales, yang dianggap sebagai pelopor dalam bidang hubungan internasional.
Liberalisme sering dianggap sebagai lawan realisme karena lebih optimis dalam memandang dunia. Liberalisme percaya bahwa perilaku negara secara rasional akan selalu memilih damai. Berbeda dengan realis yang fokus pada militer, liberal mementingkan aspek ekonomi. Sama seperti realis, liberal juga mengedepankan rasionalitas yaitu materialistis, dan berpendapat bahwa aktor negara merupakan aktor yang penting. Akan tetapi liberal berpendapat bahwa kita tdak bisa hanya mementingkan aktor negara karena aktor aktor non negara juga merupakan aktor yang penting. Misalnya organisasi ASEAN yang bisa meminimalisir kecurigaan yang berpotensi timbul antar negara negara di Asia dengan aturan aturan yang dia buat. Dengan kata lain aktor aktor non negara juga memerankan peran penting.
Liberalisme juga menjadi pencetus dari free trade (perdagangan bebas) karena beberapa prinsip dasarnya yang mendorong kerjasama dan interdependensi ekonomi antara negara-negara. Pertama, liberalisme berargumen bahwa perdagangan bebas dapat menghasilkan manfaat ekonomi yang signifikan bagi semua negara yang terlibat. Dengan mengurangi hambatan perdagangan, negara dapat mengakses pasar yang lebih luas, meningkatkan efisiensi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, liberalisme menekankan pentingnya interdependensi ekonomi; negara-negara yang saling bergantung melalui perdagangan cenderung memiliki insentif untuk menjaga hubungan yang damai dan stabil, sehingga konflik menjadi kurang menguntungkan.
Liberalism juga mendorong pembentukan institusi internasional yang mengatur perdagangan, seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Institusi ini membantu menciptakan aturan dan norma yang memfasilitasi perdagangan bebas, serta menyelesaikan sengketa antarnegara. Selain itu, liberalisme mengaitkan perdagangan bebas dengan penyebaran nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Negara-negara yang menjalankan sistem demokratis cenderung lebih terbuka terhadap perdagangan internasional, yang pada gilirannya dapat memperkuat prinsip-prinsip liberal. Perdagangan bebas menciptakan lingkungan yang lebih kompetitif, mendorong inovasi dan efisiensi. Dengan lebih banyak pelaku ekonomi yang terlibat, produk dan jasa menjadi lebih beragam, yang pada akhirnya menguntungkan konsumen. Secara keseluruhan, liberalisme mendukung ide bahwa perdagangan bebas bukan hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga dapat berkontribusi pada perdamaian dan stabilitas internasional. Melalui prinsip-prinsip ini, liberalisme telah menjadi landasan bagi banyak kebijakan perdagangan yang mengedepankan liberalisasi pasar di seluruh dunia.
Liberalisme percaya bahwa hubungan internasional didominasi oleh kerjasama, bukan konflik. Anarki internasional tidak membuat negara saling curiga, tetapi justru mendorong mereka untuk bekerja sama guna mengurangi ketidakpastian. Negara menciptakan institusi atau rezim yang mengatur kerjasama, yang dikenal sebagai liberalisme institusional. Ini bertujuan untuk menjembatani perbedaan antara realisme dan liberalisme. Tujuan lainnya adalah menekan adanya lack of trust antar negara karena negara bergantung satu sama lain (interdependence) sehingga hal tersebut mampu mencegah terjadinya perang.
Neo Liberalisme
Neoliberalisme dalam studi hubungan internasional dapat dipahami sebagai penggabungan elemen-elemen dari neorealisme dan liberalisme klasik. Meskipun berakar pada prinsip-prinsip liberalisme yang menekankan pentingnya kerjasama dan institusi internasional, neoliberalisme juga mengakui skeptisisme terhadap negara dan sifat anarkis dari sistem internasional, yang diusung oleh neorealisme.
Neoliberalisme menunjukkan bahwa, meskipun lebih optimis tentang kemungkinan kerjasama, ia tetap mengakui bahwa negara tidak selalu bertindak sebagai entitas yang rasional dan kooperatif. Pandangan ini mencerminkan skeptisisme neorealis, di mana negara sering kali mementingkan kepentingan nasional dan keamanan, yang dapat menghambat kerjasama internasional. Selain itu, neoliberalisme mengakui bahwa dunia internasional bersifat anarkis, di mana tidak ada otoritas global yang mengatur semua negara. Dalam konteks ini, meskipun negara memiliki kepentingan yang berbeda dan sering bersaing, neoliberalisme berpendapat bahwa kerjasama tetap mungkin terjadi melalui pembentukan aturan, norma, dan institusi internasional.
Neoliberalisme menekankan bahwa kerjasama internasional dapat diatur melalui institusi dan norma yang mengurangi ketidakpastian serta meningkatkan kepercayaan antar negara. Melalui kerjasama ini, negara-negara dapat menciptakan mekanisme untuk mengelola konflik dan memfasilitasi interaksi yang lebih harmonis. Konsep habitat sosial juga muncul dalam neoliberalisme, di mana dengan adanya kerjasama, aturan, dan norma, perilaku negara dapat diselaraskan untuk mencapai hasil yang lebih baik bagi semua pihak. Hal ini berbeda dengan pendekatan realis yang lebih pesimis dan fokus pada konflik. Dengan demikian, neoliberalisme berfungsi sebagai jembatan antara pandangan optimis liberalisme klasik dan pandangan skeptis neorealisme. Ia berargumen bahwa meskipun dunia bersifat anarkis dan negara memiliki kepentingan yang beragam, institusi internasional dan norma kolektif dapat membantu mengatasi ketegangan serta memfasilitasi kerjasama yang produktif. Neoliberalisme, dengan demikian, menawarkan pandangan yang lebih dinamis tentang interaksi internasional, mengakui kompleksitas hubungan antara negara sambil tetap meyakini potensi kerjasama yang dapat menguntungkan semua pihak.
Â
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa membandingkan teori dalam ilmu merupakan hal yang sia-sia. Thomas Kuhn menjelaskan bahwa dua teori tidak bisa dibandingkan karena keduanya melihat fenomena dengan cara yang berbeda. Sebagai contoh, ada cerita tentang dua orang buta yang mencoba menggambarkan seekor gajah. Ketika ditanya, "Gajah itu seperti apa?", mereka memberikan jawaban yang berbeda. Orang buta pertama meraba kepala gajah dan bilang, "Gajah itu punya belalai dan dua gading." Sedangkan orang buta kedua meraba ekornya dan berkata, "Tidak! Gajah itu punya ekor yang bergerak." Dari sini, kita bisa melihat bahwa cara pandang yang berbeda menghasilkan jawaban yang berbeda. Jadi, apakah ada gunanya memperdebatkan pendapat mereka?
Dalam studi Hubungan Internasional, ada dua teori utama yang sangat berpengaruh yaitu realisme dan liberalisme. Keduanya membantu kita memahami dunia dan menentukan bagaimana kita meneliti berbagai isu, serta membimbing pembuatan kebijakan. Realisme dan liberalisme memiliki pandangan yang berbeda tentang politik global, seperti siapa yang berperan dalam hubungan internasional dan bagaimana mereka melihat sifat hubungan tersebut. Keduanya sering dianggap sebagai pandangan tradisional karena pengaruhnya yang besar setelah perang. Realisme merasa berhasil setelah mengalahkan idealisme Wilsonian, yang dianggap tidak melihat kenyataan bahwa negara sering berperang. Sementara itu, liberalisme mulai muncul pada tahun 1970-an ketika hubungan internasional semakin kompleks karena adanya fenomena transnasionalisme. Sejak saat itu, perdebatan antara kedua teori ini terus berlangsung, dengan masing-masing pihak saling menyerang dan membela argumen mereka. Sehingga tidak ada teori yang lebih efektif melainkan bagaimana atau kacamata apa yang kita pakai untuk memandang fenomena yang terjadi dalam studi Hubungan Internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H