Catatan di sudut kamar Asrama_KSU, Riyadh_KSA
Sebenarnya cukup mengherankan orang-orang yang menyeru kebebasan dalam agama atas nama liberalisme. Katanya, kebenaran sifatnya relatif dan tidak ada yang mutlak. Tetapi dalam prakteknya mereka selalu "menyerang" orang-orang yang berlainan pendapat dengannya, dengan label "dungu", "lugu", "culung" "goblok" dll. Sekali mendengar kata "sesat" "kafir" dll langsung bereaksi dengan penuh arogansi.
Bukankah mereka menentang otoritas ilmu dari satu pihak? Tetapi kenapa justeru mereka sendiri yang terjatuh dalam teori buatan mereka? Ibarat senjata makan tuan.
Sebagian orang-orang liberal juga mengajak kepada kearifan budaya dan tradisi lokal nusantara. Faktanya, dari seruan ini justru mereka terjatuh sendiri dalam paham konservatif yang mereka sendiri tidak menyetujuinya bahkan bertolak belakang dengan paham liberalisme. Perlu dipahami bahwa budaya lokal sah-sah saja selama tidak bertentangan dengan syariat.
Islam memang ajaran yang sempurna dan komprehensif. Membahas secara menyeluruh segala dimensi dan aspek keilmuan dengan tolak ukurnya adalah alqur'an dan al hadits.
Ilmu memiliki pintu-pintu yang banyak. Misalnya Aqidah, Fiqih(muamalat dan ibadah), Hadits, termasuk ilmu-ilmu kontemporer seperti ekonomi, biologi, teknik, kedokteran dll saling berkaitan satu sama lain. Ketika kita masuk dari satu pintu ilmu dengan mengabaikan pintu-pintu yang lain lalu men-generalisir kesimpulan berdasarkan fakta-fakta sosial belaka di suatu tempat tertentu maka akan melahirkan pemahaman yang parsial (sepotong-sepotong) bagai katak dalam tempurung. Contoh kecil, kajian budaya lokal orang riyadh dan fenomena trend masa kini generasi mudanya tidak dapat dijadikan kesimpulan bahwa seperti itulah budaya Arab secara umum, apalagi membangun teori dari kesimpulan tersebut kemudian mengaitkannya dengan Islam??? Contoh lain, perilaku keliru sebagian orang Melayu bukanlah cerminan tentang Islam. Contoh-contoh ini benar-benar terjadi. Hal ini adalah kesalahan dalam penerapan metodologi ilmu pengetahuan.Â
Ala kulli hal, kajian Islam lebih membuat cakrawala berpikir kita lebih luas. Dengan kata lain kembali kepada kacamata helikopter, bukan memakai kacamata kuda.
Tetapi substansi yang kita tekankan disini adalah bersikap rendah hati dalam tradisi keilmuan adalah suatu kemestian. Jangan pernah merasa bangga dan takjub dengan pemahaman sendiri apalagi meremehkan pandangan orang lain yang berselisih pendapat, terlebih lagi ketika telah menyandang berbagai gelar-gelar tertentu dan alumni universitas luar negeri.
Sesungguhnya diatas yang berilmu ada yang lebih berilmu lagi. Dan jangan juga terlalu mudah menyimpulkan sesuatu fakta sosial lalu mengaitkannya dengan Islam. Karena kebenaran dikenali dari hakikatnya (hakikat kebenaran adalah Al Qur'an dan Al Hadits) bukan dari orang-orangnya.
Pada intinya, diantara adab orang berilmu ialah tidak merasa angkuh dan sombong. Bersifatlah dalam ibarat peribahasa "Seperti ilmu padi semakin berisi semakin merunduk"
Lebih jauh dari itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memperingatkan kita bahaya arogansi atau kesombongan; "tidak masuk surga barangsiapa yang didalam hatinya kesombongan, kesombongan ialah menolak kebenaran dan meremehkan manusia" (terj hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah)
Perumpamaan orang yang tinggi hati seperti awan tinggi menjulang terlihat tinggi tetapi kosong sedangkan orang yang rendah hati ibarat bintang menjulang di angkasa namun menyinari kebawah.
Kepada Allah lah kita selalu meminta pertolongan semoga kita senantiasa dikaruniai ilmu yang bermanfaat serta sifat tawadhu (rendah hati).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H