Jenggala adalah hutan yang melahirkan legenda. Misteri yang tak pernah ada satu makhluk hidup pun mengetahui apa yang ada di dalamnya, yang dipercaya mewariskan petaka bagi siapapun yang mendatanginya. Anehnya pepatah mengatakan, “Menepilah ke Jenggala, tempat dimana kau akan menemukan segalanya”.
“Pepatah gila, apa gunanya mencari di tempat dimana tidak terdapat kehidupan. Merpati yang elok tidak dilahirkan untuk tempat seperti itu,” Ucap seekor merpati yang tengah melamun.
Merpati itu kemudian melayang bersama lamunannya, melintasi seluruh langit tanpa memiliki tujuan, dan memilih untuk pergi kemanapun angin membawanya. Seraya mencoba menemukan hal yang tidak ia tahu pasti dalam pencariannya, ia tak sadar terbangnya sudah terlalu jauh, sayapnya terlalu lelah hingga ia terbang merendah.
Celaka, merpati jatuh di tengah Jenggala yang gelap, dimana cahaya tak mampu menembus pohon-pohon tinggi, semak yang begitu rimbun, dan tanah yang dipenuhi ranting dan dedaunan. Ia menyadari udara yang lembap dan sekelebat bau busuk yang entah berasal dari mana. Diikuti bayangan halusinasi yang memicu keresahan, seolah ribuan pasang mata yang berbinar siap untuk menerkam. Ia terjebak tak berkawan, tak berdaya, firasatnya mengatakan ia akan mati saat itu juga.
Sejenak ia terdiam, berusaha memahami keadaan di sekelilingnya dan berupaya kembali terbang, ia telat menyadari rasa sakit dari sayapnya yang tergores ranting pohon ketika ia terjatuh. Ia merintih kesakitan, mengharapkan pertolongan. Namun, tak ada yang datang, hutan itu nampak tak ada kehidupan.
Senja bergilir menjadi malam, merenggut kehangatan dan meninggalkannya sendirian. Tak kunjung datang pertolongan, ia pun memutuskan untuk berjalan dengan sayapnya yang patah dan berdarah, berharap menemukan tempat bernaung untuknya berlindung dari rasa takut. Selagi berjalan ia hanya mampu menerka-nerka, kapan ia dapat kembali menemukan cahaya, karena bulan pun nampak tega meninggalkannya sendirian. Entah sudah berapa ribu langkah yang ia lewati, dengan letihnya ia terus berjalan menyisir kabut belantara, menyusuri sungai yang mengalir dari hulu ke hilir, yang dipercayai dapat mengantarnya menuju arah pulang.
Ditemani suara gemericik dari air sungai dan dedaunan kering yang ia pijak, tak lama cahaya pun muncul dari langit. Gemuruh membawa hujan tepat di atas kepalanya, suara air yang mengalir kian tergantikan suara petir. Cahaya dari kilat bukanlah apa yang ia harapkan, pandangannya kini tak mampu menatap kejauhan. Selain dari menambah rasa gelisah, berteduh pun sama saja, bulu yang seputih salju perlahan beralih menjadi abu.
Isi kepalanya memutar kembali pernyataan pepatah itu, memilah apa yang perlu ia cari lebih dulu. Apakah tempat untuk menepi?ataukah sayapnya yang lebih dulu diobati?
Terlalu lama mencari dan terhanyut dalam isi kepala yang begitu riuh, demikian waktu menuntunnya ke ujung belantara. Tampak selintas cahaya dari tepi cakrawala, matahari menyambutnya dari ufuk timur dengan sempurna, memberi isyarat bahwa ia telah menemukan jalan untuk pulang. Angin yang semula dingin berhembus membawa sejuk, menjalar ke seluruh sayapnya yang kini terbuka lebar, menyembuhkan luka yang selama ini ia bawa.
Ia kembali menemukan cahaya yang selama ini ia nanti, dan kehangatan yang selama ini ia cari. Ia pun dapat kembali melayang tinggi, meninggalkan helai bulu putih di tengah Jenggala yang begitu gelap. Seolah menjadi bukti bahwa ia dapat bertahan di lingkungan yang begitu kontras.