Mohon tunggu...
Sylvania Hutagalung
Sylvania Hutagalung Mohon Tunggu... -

Saya orang yang berfikir sederhana. Tertarik dengan arsitektur, sejarah, cerpen, dan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kota Dalam Kepala

18 Januari 2014   20:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:42 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jalan ini sempit

Dia hanya bisa mengantar kita pergi

Atau kembali

Tak bisa keduanya

Tapi orang-orang tak lagi berumah

Mereka tumpah

kesegala arah

Tanpa tanya

Tanpa tujuan



Seperti retakan

Jalan ini mencari ujungnya dengan menyusuri setiap kelokan dan turunan

Dan orang banyak ini hanya bisa bergerak maju tanpa tahu akan berakhir dimana

Bukankah jalan seharus mengantarkan kita pada sebuah ujung?

Tapi di kota ini jalan tidak pernah punya ujung

Akan selalu ada kelokan dan kelokan berikutnya

Seperti esok yang selalu datang

Walau penantian sudah tak tertahankan

Tak ada yang mati

Tak juga arak-arakan orang suci

Tapi jalan ini penuh dengan ratap

Juga harap yang berat

Tak mampu menguap

Menjadi doa



Sunyi turun

Seperti gelap

Tak ada lonceng

Tak ada nyanyian

Tak juga gaduh angin

Ketika dia menundukkan anak rambut di atas kepala

Seketika kita semua tak mengerti ruang

Tak ada batas

Bahkan tak ada yang bisa dilihat

Hanya duka yang membuat kita lelah



Aku ingin mencuri bulan mentah

dilangit sana

Mungkin bersamanya aku bisa lari

Ke sebuah kota yang tak seorangpun tahu

jalan menuju kesana

Dimana langit adalah langit

Akan selalu cerah

Dan luka pecah menjadi kepingan-kepingan

Lalu lapuk menjadi debu



Jalan ini sempit

Mengular panjang

Langkah-langkah seperti tak akan pernah sampai

Garis-garisnya hilang ditengah-tengah bebatuan

Tersesat dalam garis-garis peta yang kusut

Lenyap dibawah dinding yang berdiri tiba-tiba

Seperti alang-alang

Aku ingin mencuri bulan mentah

dilangit sana

Memendamnya didalam kepalaku

Suatu hari nanti dia akan tumbuh

Hingga kelangit

Dan terus hingga sesudahnya

Sampai mencapai

sebuah kota

Yang tak seorangpun tahu jalan menuju kesana

Dimana langit adalah langit

Akan selalu cerah

Dan luka pecah menjadi kepingan-kepingan

Lalu lapuk menjadi debu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun