Mohon tunggu...
Vania JovelynNando
Vania JovelynNando Mohon Tunggu... Teknisi - Pelajar

Seorang yang terus mencoba

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Inovasi Pengurangan Limbah Mode Cepat Melalui Teknologi 3D Printing

14 Oktober 2024   11:36 Diperbarui: 14 Oktober 2024   11:43 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Inovasi Pengurangan Limbah Mode Cepat Melalui Teknologi 3D Printing: Pembuatan Pakaian dari Kertas Daur Ulang Sebagai Solusi Berkelanjutan

Dalam beberapa dekade terakhir, industri mode cepat telah menjadi salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Menurut Ellen MacArthur Foundation (2017), industri fashion menyumbang sekitar 10% dari emisi karbon global dan merupakan konsumen terbesar kedua dari air di dunia. Fashion cepat, yang didorong oleh permintaan konsumen yang terus meningkat untuk pakaian murah dan sesuai tren, telah menyebabkan tingginya tingkat produksi pakaian dan, pada gilirannya, meningkatnya jumlah limbah pakaian yang dibuang setelah digunakan hanya beberapa kali. Pada tahun 2021, diperkirakan lebih dari 92 juta ton limbah tekstil dihasilkan di seluruh dunia setiap tahunnya, dengan sebagian besar terdiri dari serat sintetis yang membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai secara alami (Niinimäki et al., 2020).
Di Indonesia, masalah limbah tekstil menjadi lebih nyata. Berdasarkan laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2021), jumlah limbah pakaian di Indonesia mencapai 2,3 juta ton per tahun, yang setara dengan 12% dari total limbah rumah tangga di negara ini. Dari jumlah tersebut, hanya 0,3 juta ton yang didaur ulang, menunjukkan bahwa upaya daur ulang masih sangat minim (KemenLHK, 2021). Tingginya limbah ini menjadi masalah besar bagi lingkungan, terutama karena sebagian besar pakaian ini terbuat dari bahan-bahan yang tidak mudah terurai seperti polyester dan nilon (Bick, Halsey, & Ekenga, 2018).
Dengan mempertimbangkan permasalahan ini, pendekatan Design Thinking melalui tahap Empathize sangat penting untuk memahami tidak hanya dari sudut pandang konsumen tetapi juga lingkungan. Konsumen saat ini semakin sadar akan isu-isu lingkungan dan menginginkan produk yang lebih berkelanjutan, namun sering kali pilihan tersebut terbatas atau tidak terjangkau (Fletcher, 2014). Oleh karena itu, diperlukan solusi yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan produk yang modis dan praktis, sekaligus ramah lingkungan:

Pembuatan Pakaian dari Kertas Daur Ulang dengan Teknologi 3D Printing
Solusi pertama yang diusulkan adalah memanfaatkan limbah kertas untuk mencetak pakaian menggunakan teknologi 3D printing. Teknologi ini memungkinkan penggunaan bahan yang telah didaur ulang untuk dicetak menjadi pakaian dengan desain yang dapat disesuaikan dengan permintaan konsumen. Teknologi 3D printing tidak hanya mengurangi limbah produksi karena hanya mencetak sesuai kebutuhan, tetapi juga dapat menggunakan bahan yang sebelumnya tidak dimanfaatkan, seperti limbah kertas (Rayna & Striukova, 2016).
Proses Teknologi 3D Printing dan Pemilihan Metode
Dalam konteks pembuatan pakaian dari kertas daur ulang, terdapat beberapa metode teknologi 3D printing yang dapat digunakan. Salah satu metode yang relevan adalah Fused Deposition Modeling (FDM), yang bekerja dengan cara memanaskan dan mengekstrusi bahan filament melalui nozzle untuk membentuk lapisan-lapisan material hingga membentuk produk jadi. Proses layer-by-layer deposition ini memungkinkan pembuatan pakaian dengan tingkat akurasi tinggi dan pengurangan limbah. Selain itu, teknologi Selective Laser Sintering (SLS) yang menggunakan sinar laser untuk menggabungkan partikel material juga dapat menjadi opsi lain, terutama dalam menghasilkan pakaian dengan tekstur yang lebih lembut dan lebih tahan lama (Rayna & Striukova, 2016). Proses digital fabrication yang digunakan dalam teknologi 3D printing memberikan kemampuan untuk melakukan mass customization, memungkinkan produksi pakaian yang sesuai dengan ukuran dan preferensi masing-masing konsumen tanpa perlu mencetak stok dalam jumlah besar.
Dalam hal pemilihan bahan, recycled paper filament yang dihasilkan dari limbah kertas memberikan solusi inovatif. Filament extrusion yang dibuat dari serat kertas daur ulang bisa dikembangkan secara teknis untuk memastikan daya tahan serta fleksibilitas bahan yang cocok untuk digunakan dalam pakaian. Penggunaan teknologi ini memungkinkan geometrical freedom dalam desain pakaian, yang berarti produk bisa memiliki bentuk dan pola yang lebih kompleks tanpa keterbatasan desain tradisional (Ratti et al., 2019).

Dari sudut pandang ekonomi, solusi ini memiliki potensi untuk mengurangi biaya produksi pakaian secara signifikan. Teknologi 3D printing memungkinkan just-in-time production, di mana pakaian hanya diproduksi ketika ada permintaan, sehingga mengurangi biaya penyimpanan dan pemborosan stok yang tidak terjual. Menurut Li et al. (2020), penggunaan material yang lebih berkelanjutan dalam industri fashion juga memberikan dampak positif terhadap permintaan konsumen yang semakin peduli dengan dampak lingkungan dari produk yang mereka konsumsi.
Selain itu, dengan meningkatnya kesadaran global akan isu lingkungan, permintaan untuk pakaian yang diproduksi secara berkelanjutan semakin meningkat. Ellen MacArthur Foundation (2017) menyebutkan bahwa model bisnis fashion yang lebih berkelanjutan dapat menciptakan pasar baru yang mendukung perubahan konsumsi yang lebih bertanggung jawab. Teknologi 3D printing juga dapat digunakan untuk memperkenalkan model business-to-customer (B2C) yang memanfaatkan online customization platforms, di mana konsumen bisa langsung mendesain pakaian mereka sesuai preferensi. Inovasi ini membuka jalan bagi perusahaan fashion untuk beradaptasi dengan tren ekonomi digital dan menghadirkan opsi produksi yang lebih hemat biaya dan ramah lingkungan (Rayna & Striukova, 2016).
Untuk memperkuat argumen ini, penting untuk meninjau beberapa contoh implementasi teknologi 3D printing dalam industri fashion. Salah satu contoh sukses adalah karya dari desainer Danit Peleg, yang mencetak seluruh koleksi busananya menggunakan teknologi 3D printing pada tahun 2015. Peleg menggunakan filament berbasis karet untuk mencetak pakaian yang fleksibel dan nyaman dipakai, membuktikan bahwa 3D printing bisa menjadi solusi nyata dalam produksi fashion (Rayna & Striukova, 2016).
Selain itu, perusahaan seperti Adidas dan Nike telah menerapkan 3D printing untuk mencetak bagian dari sepatu mereka, seperti sol sepatu, yang memungkinkan mereka mengurangi limbah material serta waktu produksi. Penggunaan teknologi ini dalam produksi skala besar menunjukkan bahwa 3D printing memiliki potensi untuk diintegrasikan ke dalam rantai pasok fashion global secara lebih luas, dengan tetap mempertahankan fleksibilitas desain dan produksi berkelanjutan (Ratti et al., 2019). Di Indonesia sendiri, penggunaan 3D printing untuk industri kreatif dan fashion masih dalam tahap awal, namun memiliki potensi besar untuk berkembang seiring dengan peningkatan adopsi teknologi dan kesadaran akan dampak lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun