Banyaknya jalan menuju transisi untuk energi terbarukan Indonesia merupakan sebuah anugerah untuk keberlanjutan. Indonesia, dikaruniai dengan ¾ perairan sebagai negara maritim, seolah menjadi puzzle pelengkap untuk transisi secara keseluruhan. Karena sementara energi solar, angin, dan geotermal bergantung pada musim dan konsistensi dari sumber, gelombang dari air bisa menjadi solusi, terutama untuk daerah-daerah terpencil yang masih bergantung pada penggunaan energi dari diesel akibat kurangnya infrastruktur pembaruan energi. Hasil analisis dan kompatibilitas geografi yang ada menunjukkan adanya peluang besar dalam perkembangan instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut (PLTGL) yang berkisar 4.3 kW/m–setara dengan 3000 rumah per instalasi. Namun meski memiliki sifat dapat dperbaharui dan ramah lingkungan, PLTGL di Indonesia saat ini belum dioptimalkan.
Pengembangan energi ini dirintis di California, Oregon, lebih tepatnya oleh institusi CalWave, sebagai penelitian pertama yang diperbolehkan oleh Department of Energy United States satu dekade silam. Pada masa pengujian–xWave Technology–menunjukkan ketahanan dan efisiensi dalam mengubah energy mekanik menjadi listrik, bahkan dalam kondisi badai. Pada 2021-2022, PacWave dapat beroperasi dengan 99% uptime dan tidak terhambat selama tes. Fasilitasnya meliputi 3 fase: point absorbers, oscillating water column, dan overtopping devices. Di mana daya dihasilkan dari pergerakan gelombang di permukaan, pengunaan udara untuk menyalakan turbin, dan pemanfaat air untuk mengoperasikan turbin–mirip dengan tenaga hidro. Pada kedalaman laut, kabel yang tersambung antara alat dan fasilitas pinggir pantai, berfungsi sebagai pengantar energi yang nantinya akan didistribusikan ke listrik daerah. Alat ini juga menangkap beragam data: ocenographic (tinggi gelombang dan frekuensi), efisiensi, integritas alat, dan dampak terhadap lingkungan. Penelitian ini disponsori oleh banyal lembaga meliputi US Department of Energy, Oregon State University, NREL, Emec, hingga UC Berkeley, yang diperkirakan dapat berfungsi penuh untuk layanan masyarakat pada 2035.
Dilansir dari publikasi ilmiah Menggunakan Teknologi Oscilating Water Column di Perairan Bali yang dierbitkan Jurnal Teknologi Elektro pada 2010, percobaan di Bali untuk oscillating water column cocok karena dibangun pada daerah dengan topografi dasar laut yang landai dan ketinggian ombak laut yang konstan. Namun, untuk besar energi yang dapat dihasilkan masih menjadi pertanyaan. Perkembangan terhadap pemanfaatan ini akan mengacu pada pergantian dari energi diesel menjadi gelombang air laut, melayani konsumen yang tingga di pulau Bali. Potensi serupa ditunjukkan dari Indonesia bagian timur, seperti NTT, sehingga dapat menggarap penandatanganan kolaborasi bersama Swedia pada Desember 2023 lalu. Kemitraan ini merupakan persiapan untuk pengembangan PLTGL, ujar Komisioner Perdangan Swedia untuk Indonesia, Erik Odar dalam konferensi pers di Ayana Midplaza. Kini, sudut pandang melihat bagian kelautan di Indonesia Timur tidak hanya berpaku menjadi perudak kapal dagang dan ikan milik nelayan, tetepi sebuah turning-point menuju keberlanjutan.
Masalahnya dari tenaga air adalah pergerakannya yang tidak linear, sehingga memerlukan pengembangan alat yang dapat memproses gelombang dalam bentuk yang lebih konkrit walau memerlukan banyak dana dan memiliki kompleksitas yang tinggi. Pertanyaannya berubah menjadi, apakah kita memiliki waktu dan apa yang diperlukan untuk perubahan ini? Sulawesi, Bali, Sumatra, dan Lombok, meski lebih terbuka dengan kesempatan ini oleh lanskap topografi yang menjanjikan, apakah akan memberikan hasil positif saat instalasi dilakukan dan energi dialirkan sampai jaringan atau konseumen akhir? Kini, PLTGL memiliki 3 komponen: mesin konversi energi gelombang laut, turbin, dan generator. Dan menurut artikel PLTGL Sebagai Energi Alternatif di Indonesia oleh Journal Technopreneur pada 2022, ada setidaknya 4 jenis PLTGL yang beroperasi: Oscillating Water Column (OWC), Archimedes Wave Swing (AWS), Pelamis, dan Duck. Namun, sejauh ini belum ada PLTGL yang beroperasi di Indonesia yang beroperasi dan menghasilkan listrik secara komersial. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral menyembutkan, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait PLTGL. Pada akhirnya, hal ini tidak seharusnya menjadi hambatan karena pengembangan akan terus dilakukan, apalagi Indonesia sbagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. Kondisi ini menghadiahi Indonesia dengan potensi energi laut yang lebih dari dapat dikelola dengan PLTGL.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H