Siapa yang tidak mengenal “Upin & Ipin,” karya film serial animasi televisi untuk anak-anak yang dibuat oleh negara tetangga, Malaysia. Menceritakan keseharian sepasang kembar laki-laki serta keluarga kecilnya, Kak Ros dan Opah (neneknya) dan teman-teman mainnya di kampong kecil bernama Kampung Durian Runtuh. Walaupun sebenarnya film ini awalnya dibuat hanya untuk menyambut bulan Ramadhan, tetapi ternyata pasar local menyambutnya dengan meriah, sehingga dilanjutkan hingga kini memiliki 8 musim tayang.
Kesuksesan serial animasi “Upin & Ipin” dapat kita rasakan dengan munculnya serial animasi tersebut di layar kaca Indonesia. Tetapi dibalik kepopulerannya “Upin & Ipin,” menyebabkan karya film animasi buatan anak bangsa di Indonesia kurang dikenal oleh kalangan generasi penerus. Padahal, karya anak bangsa juga tak kalah kreatifnya dengan karya animasi negara lain loh! Walaupun belum dapat menyamai, tapi mereka sudah mampu untuk membuatnya hingga mampu bersaing dengan karya animasi negara lain, bahkan diantara dari mereka sudah ada yang sampai menembus pasar dunia dan sudah dapat ikut menggarap film-film CGI di dunia diantaranya ada Iron Man, The Adventure of Tintin, dan Pasific Rim.
Film animasi di Indonesia memang masih dalam proses berkembang, ada beberapa faktor yang menghalangi film animasi karya tangan anak bangsa untuk terkenal di negaranya sendiri. Namun mereka para pembuat film animasi (animator) tidak berdiam diri begitu saja. Mereka tetap berkarya dengan terus membuat film-film animasi keren, dengan tangan mereka sendiri. Tetapi usaha susah payah para animator terbayar karena seiring berjalannya waktu, kini beberapa rumah produksi animasi lokal telah berdiri untuk mendukung usaha para animator dalam membuat film animasi di negeri ini.
Sejarah singkat perfilman animasi di Indonesia dimulai sejak ditemukannya Cave Pinting yang menceritakan tentang binatang buruan ataupun tetang hal-hal yang berbau mistis. Sejak tahun 1933 banyak koran-koran yang memuat iklan Walt Disney, lalu pada tahun 1955, Presiden Soekarno, yang dikenal sebangai orang yang sangat menghargai seni mengutus seorang seniman bernama Pak Ook (Dukut Hendronoto) untuk belajar animasi di studio Walt Disney. Pak Ook setelah 3 bulan belajar di studio Walt Disney, ia kembali ke Indonesia dan membuat film animasi 2 dimensi bernama “Si Doel Memilih” yang berkisah tentang kampanye pemilihan umum pertama di Indonesia. Ini menjadi awal mula dimulainya animasi modern di Indonesia.
Pada tahun 1970-an, mulai berdiri beberapa studio animasi, salah satunya adalah Anima. Didirikan oleh seorang warga Amerika di Indonesia, dan Anima berkembang cukup baik, tapi hanya berkembang di bidang periklanan. Dan pada tahun 70-an awal mulanya diadakan festival film, dan ada beberapa film animasi yang berhasil mengikuti, salah satunya “Batu Setahun”. Pada tahun 1990-an sudah mulai marak film animasi, diantaranya ada “Satria Nusantara,” “Legenda Buriswara,” dan “Nariswandi Piliang”. Ada serial televisi “Hela,Heli,Helo” yang merupakan film animasi 3D pertama yang dibuat di Surabaya. Lalu pada tahun 1998, mulai bermunculan film-film animasi yang berdasarkan cerita rakyat, seperti “Petualangan Si Kancil,” “Bawang Putih dan Bawang Merah,” dan “Timun Mas”. Tetapi pada era 90-an ini banyak animator local yang menggarap animasi terkenal dari negara Jepang, seperti “Doraemon” dan “Crayon Shin-Chan.”
Tetapi dari sekian banyak studio animasi yang terdapat di Indonesia, ada salah satu studio yang paling aktif, yaitu Red Rocket Production, yang pada tahun 2000 berhasil memproduksi beberapa serial animasi televisi, seperti “Mengapa Domba Berbuntut dan Pendek,” dan “Dongeng Aku dan Kau.” Serial animasi tersebut cukup populer karena sudah menggabungkan animasi 2D dan animasi 3D. Lalu pada tahun 2003, serial animasi 3D merambah ke layar lebar, salah satunya adalah “Janus Prajurit Terakhir.”
Pada 7 Mei 2004, hadir film animasi 3D berdurasi panjang buatan Indonesia sekitar 30 menit, yaitu “Homeland” yang menceritakan tentang petualangan seorang anak bernama Bumi yang sedang berusaha menemukan tempat tinggalnya di dunia yang imajiner. Cerita ini diolah bersama oleh tim Visi Anak Bangsa dan Kasatmata dan film ini digarap selama satu tahun di bawah payung Studio Kasatmata di Jogjakarta.