Mohon tunggu...
Vanessa Mulano
Vanessa Mulano Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Mazhab Hukum Positivisme dalam Kasus Pelanggaran Lalu Lintas

26 September 2024   18:45 Diperbarui: 26 September 2024   18:48 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Mazhab hukum positivisme adalah aliran dalam filsafat hukum yang memandang hukum sebagai sekumpulan aturan yang dibuat oleh otoritas yang sah (negara) dan harus dipatuhi tanpa memandang nilai-nilai moral atau keadilan di luar aturan tertulis tersebut. Dalam sistem hukum modern, pendekatan ini memberikan kepastian hukum yang jelas karena segala pelanggaran diputuskan berdasarkan peraturan yang telah disusun. Salah satu contoh sederhana penerapan mazhab hukum positivisme adalah dalam kasus pelanggaran lalu lintas, khususnya pelanggaran lampu merah.

Kasus Pelanggaran Lampu Merah

Seorang pengendara motor tertangkap kamera lalu lintas (CCTV) menerobos lampu merah di salah satu persimpangan jalan di Jakarta. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, setiap pengendara yang melanggar lampu lalu lintas akan dikenakan sanksi berupa denda atau pidana sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang. Pelanggaran lampu merah dianggap sebagai bentuk pelanggaran yang berpotensi membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Dalam penegakan hukumnya, pihak kepolisian lalu lintas melakukan tilang elektronik atau langsung menghentikan pelanggar, memberikan bukti pelanggaran, dan menentukan denda yang harus dibayarkan.

Pendekatan Positivisme dalam Penegakan Hukum

Pendekatan hukum positivisme terlihat jelas dalam kasus pelanggaran lampu merah ini. Aparat penegak hukum (polisi lalu lintas) menindak pelanggar berdasarkan aturan yang tertulis tanpa mempertimbangkan faktor-faktor eksternal, seperti alasan pelanggar menerobos lampu merah. Misalnya, meskipun pelanggar beralasan bahwa ia sedang terburu-buru untuk urusan penting seperti keadaan darurat keluarga, hal tersebut tidak akan menjadi pertimbangan dalam penegakan hukum. Hal ini karena dalam pendekatan positivisme, hukum harus ditegakkan sebagaimana adanya (law as it is), sesuai dengan teks undang-undang.

Kepolisian hanya melihat pada fakta bahwa ada pelanggaran terhadap aturan tertulis, yaitu menerobos lampu merah. Pelanggaran ini mengharuskan adanya konsekuensi hukum berupa denda atau sanksi pidana ringan, sesuai dengan hukum yang berlaku.

Keuntungan Pendekatan Positivisme:

1. Kepastian Hukum: Dalam kasus pelanggaran lalu lintas, penerapan mazhab hukum positivisme memberikan kepastian hukum yang jelas. Aturan yang tertulis dalam undang-undang dapat dipahami oleh semua pengendara, dan setiap pelanggaran akan ditindak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tidak ada ambiguitas dalam penerapan hukuman, sehingga masyarakat tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di jalan.

2. Konsistensi Penegakan Hukum: Pendekatan positivisme juga memastikan bahwa hukum diterapkan secara konsisten dan adil untuk semua pelanggar. Terlepas dari motif atau kondisi pribadi pelanggar, setiap orang yang melanggar aturan yang sama akan dikenai sanksi yang serupa, sehingga ada keadilan prosedural dalam proses penegakan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun