"Yakin kamu ngerti coding beneran? Soalnya cewek jarang paham soal kayak gini."
"Paling kamu cuma ikut-ikutan tren aja." Â
"Cewek di STEM nggak mungkin jadi pemimpin."
Kata-kata seperti ini sering terdengar bagi perempuan yang terjun ke dunia STEM. Terkadang bikin geleng-geleng kepala dan sering menguji kesabaran sampai titik didih. Dalam bidang yang didominasi oleh laki - laki, perempuan kerap merasa seolah - olah harus membuktikan diri dua kali lipat hanya untuk dapat diakui. Anggapan - anggapan bahwa perempuan seharusnya menjadi pengurus rumah  atau ibu rumah tangga membuat dunia seakan lupa bahwa perempuan jauh lebih dari sekadar peran tradisional. Di balik pandangan terbatas, perempuan memiliki potensi yang tak kalah besar untuk sukses, berinovasi, dan memimpin di bidang apapun termasuk sains, teknologi, teknik, dan matematika. Saatnya kita menggali lebih dalam kenapa dunia STEM sangat membutuhkan lebih banyak perempuan dan bagaimana mereka berkontribusi untuk masa depan yang lebih inklusif dan beragam.
Potensi Terabaikan yang Perlu Didorong
STEM (Sains, Teknologi, Teknik, Matematika) merupakan bidang studi yang sangat penting untuk membentuk masa depan kita. Potensinya untuk memperbaiki dunia sangat besar, sehingga tidak heran kalau lulusan STEM banyak dicari. Apakah kalian tau bahwa jejak perempuan sudah lama berada di dunia STEM ? Bahkan programmer pertama di dunia itu justru seorang wanita bernama Ada Lovelace. Beliau adalah seorang  matematikawan asal Inggris yang menciptakan program komputer mekanik pertama. Selain Ada, terdapat juga perempuan hebat seperti Marie Curie, Rosalind Franklin, dan banyak lagi yang sudah berkontribusi besar di dunia STEM. Meski kontribusi mereka besar, perempuan tetap sering dipandang sebelah mata dalam karir STEM. Pola pikir seperti ini merupakan alasan mengapa kesenjangan gender terus berlanjut. Pada 2023, World Economic Forum melaporkan kalau kesenjangan gender di dunia kerja global masih mencapai 68,4%. Terkhususnya dalam bidang STEM,  UNESCO pada tahun 2020 menemukan bahwa hanya 28% pekerjanya adalah perempuan, dan angka ini berisiko turun lebih jauh lagi.
Membedakan Mitos dan Fakta
Stereotip tentang perempuan di bidang STEM secara umum menyatakan bahwa perempuan kurang kompeten dalam hal-hal teknis, tidak tahan terhadap tekanan, dan tidak "secara alami" cocok untuk pekerjaan yang memerlukan kemampuan analitis atau logis. Menurut American Association of University Women (2010), 74% remaja perempuan yang pandai matematika menganggap bahwa karir STEM tidak "sesuai" untuk mereka. Hal tersebut membuktikan bahwa stereotip gender sangat didoktrin dalam pikiran para remaja perempuan. Sejarah panjang yang membatasi perempuan untuk belajar sains dan teknologi, serta budaya yang menganggap perempuan lebih cocok untuk peran "peduli" atau berbasis layanan juga mendukung dalam pengukuhan pemikiran tersebut.
Faktanya adalah, berbagai penelitian menunjukkan bahwa tim yang beragam, terkhususnya yang melibatkan perempuan, membuat tim yang lebih inovatif dan produktif. Lebih dari itu, menurut McKinsey & Company (2020), perusahaan yang memiliki keragaman gender di tingkat eksekutif memiliki peluang 25% lebih tinggi untuk mencapai profitabilitas di atas rata-rata. Kenapa bisa gitu? Karena terdapat keragaman perspektif khususnya dari pandangan wanita yang memiliki pengalaman sosial dan permasalahan yang berbeda dengan laki - laki sehingga dapat bersifat sangat penting dalam memecahkan masalah yang kompleks dan menghasilkan inovasi yang lebih inklusif .Keuntungan memiliki perempuan dalam bidang STEM tidak hanya berada di peningkatan kinerja tim, tetapi juga pada ekonomi global. Sebuah laporan dari PricewaterhouseCoopers (PwC) dari tahun 2022 menyatakan bahwa meningkatkan partisipasi perempuan di STEM hingga mencapai keseimbangan gender dapat menambah lebih dari $12 triliun pada PDB global pada tahun 2025.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa peran perempuan tidak hanya soal penampilan, tetapi dapat menjadi kunci kesuksesan dunia. Sehingga mengubah narasi tentang perempuan merupakan hal yang sangat penting supaya lebih banyak perempuan yang termotivasi dan merasa empowered untuk masuk ke bidang ini dan tidak  hanya sebatas menjadi penasihat atau pengasuh.Lalu, apa yang bisa kita lakukan?  Dukungan yang kuat dari keluarga, pendidik, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menghilangkan stereotip serta meningkatkan kepercayaan diri untuk perempuan di bidang STEM. Selain itu, program pendidikan yang inklusif dan akses ke pelatihan teknologi yang sama untuk semua gender dapat membantu mempersempit kesenjangan gender dan mendorong lebih banyak perempuan untuk berkarir di STEM. Sehingga sekarang saat mendengar pertanyaan "Cewek kok ngoding?", jawabannya jelas: Kenapa tidak? Dunia STEM butuh lebih banyak perempuan untuk menciptakan masa depan yang lebih inovatif, inklusif, dan adil bagi semua.
Referensi
World Economic Forum. (2023).Global gender gap report 2023. World Economic Forum.https://www.weforum.org/reports/global-gender-gap-report-2023
UNESCO.(2020).Gender equality in STEM education. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.https://en.unesco.org/themes/women-and-girls-in-science
McKinsey & Company. (2020). Diversity wins: How inclusion matters. McKinsey & Company.https://www.mckinsey.com/business-functions/organization/our-insights/diversity-wins-how-inclusion-matters
UN Women. (2020). Women in STEM: Challenges and opportunities. United Nations Women. https://www.unwomen.org/en/digital-library/publications/2020/05/women-in-stem-challenges-and-opportunities
PricewaterhouseCoopers (PwC). (2022). The economic impact of gender equality in the workforce: Advancing women in STEM. PricewaterhouseCoopers.https://www.pwc.com/gender-equality-report
Hill, C., Corbett, C., & St. Rose, A. (2010). Why so few? Women in science, technology, engineering, and mathematics. American Association of University Women. https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED509653.pdf