Mohon tunggu...
Van Nder
Van Nder Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa pendidikan sejarah di salah satu universitas ternama di kota Malang. Memiliki minat besar dalam bidang sejarah, politik dan budaya. Tercatat aktif dalam kegiatan organisasi mahasiswa baik intra dan ekstra kampus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenang Kontribusi Cersil (Cerita Silat) Dalam Pembangunan Identitas Nasional

18 Maret 2014   19:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:47 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengenang Kontribusi Cersil (Cerita Silat) Dalam Pembangunan Identitas Nasional

Cersil dan Ke-Indonesia-an Kita

Bakrie MZ, pegawai salah satu instansi pemerintah di Jakarta Barat, masih menyimpan kenangan masa-masa akhir booming cersil (cerita silat) pada 1980-an. Beliau bukan sekedar pembaca setia karya-karya Kho Ping Hoo, Jin Yong, dan cersil terjemahan lainnya tetapi juga sebagai pemilik usaha persewaan cersil. Menurut Bakrie setiap harinya rumahnya tak pernah sepi dari pengunjung baik sekitar tempat tinggalnya maupun jauh dari tempat tinggalnya. Bagi pengunjung yang berkantong tebal lebih memilih membawa pulang cersil daripada dibaca di tempat. Selain Bakrie, Rakiman warga Grogol juga menikmati bagaimana cersil menjadi begitu booming bagi kalangan tertentu waktu itu.

Saat ini telah lebih dari dua dekade, sangat sulit melihat cersil kembali menjadi bacaan yang diminati para remaja dan juga orang dewasa. Walaupun beberapa penerbit tetap berusaha menerbitkan beberapa cersil yang populer di tahun 1980-an namun sayangnya tingkat apresiasi dari pembaca sangat kurang. Di toko buku saat ini cersil disandingkan dengan bacaan teen lit, chick lit, atau novel-novel populer dengan tokoh gadis remaja. Cersil dianggap sebagai bacaan rendah dan tidak dapat disandingkan dengan bacaan sastra. Meskipun cersil telah mengalami kemunduran tetapi sebagai genre sastra populer yang pernah booming, cersil tidak akan pernah lenyap.

Tahun 2004 yang lalu pembaca setia cersil membentuk Masyarakat Tjerita Silat (MTjersil) sebagai bagian dari upaya pelestarian cersil. Salah satu usahanya adalah menerbitkan majalah Rimba Hijau serta mendigitalisasi beberapa cersil. Sejalan dengan usaha pelestarian tersebut diadakan seminar bertajuk Cerita Silat Di Indonesia: Pembentukan Karakter Bangsa yang diselenggarakan dengan kerjasama Pusat Kajian Budaya Tionghoa Universitas Tarumanegara. Hadir sebagai pembahas utama adalah dua Budayawan yaitu Dali Santun Naga dan K.H. Salahuddin Wahid, sedangkan pemakalah adalah Leo Suryadinata (Direktur Chinese Heritage Center Singapura), Prof. Claudine Salmon (peneliti Ecole Francaise d’Extreme Orient, Prancis), Edward Buckingham (kandidat doktor dan peneliti cersil), dan Dede Oetomo (sosiolog Universitas Airlangga, Surabaya). Seminar berusaha mengkaji kaitan antara cersil dengan pembentukan karakter pembacanya.

Banyak pecinta cersil mengatakan banyak mendapatkan pembelajaran mengenai arti persahabatan, kesetiakawanan, dan selalu membela yang lemah dari cerita silat. Namun terdapat juga pelajaran yang tidak baik seperti mengajarkan tindakan kekerasan, membalas dendam, intrik, dan melawan hukum. Cara memahami ambivalensi tersebut adalah dengan melihat latarbelakang cerita  tersebut, kebanyakan cersil mengangkat latar waktu sebelum adanya tatanan hukum yang mapan selain itu juga hukum yang berlaku adalah yang kuat menang sedang yang lemah akan ditindas. Menurut Leo Suryadinata diperlukan sikap kritis untuk mengambil nilai-nili positif dari cersil jangan sampai terjebak dalam pemikiran yang dangkal.

Edward Buckingham lebih suka mengkaji cersil sebagai pembentuk identitas nasional dengan cersil tionghoa dan lokal yang masing-masing diwakili oleh Kho Ping Hoo dan SH. Mintardja. Menurut Buckingham cersil muncul pada awal-awal Indonesia membentuk identitas nasionalnya melalui Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia menjadi keharusan bagi setiap penulis diera tersebut untuk mencerminkan kebangsaan mereka sebagai satu bangsa yang ingin merdeka. Selai itu juga melalui cersil, siapa pun dapat melihat perubahan identitas minorotas Tionghoa Indonesia dari generasi ke generasi. Bahkan terminologi yang menyebut mereka Tionghoa Indonesia mengalami pergeseran dari waktu ke waktu.

Salahuddin Wahid mengingat ketika beliau bersama Abdurahman Wahid dan Umar Wahid masih kecil, mereka kerap berebut cersil terbitan baru keluar. Hingga untuk membacanya saja harus sembunyi-sembunyi agar tidak diganggu oleh saudaranya yang juga ingin membaca. Salahuddin Wahid menilai bahwa cersil meskipun termasuk cerita yang mengandung unsur kekerasan namun tidak pernah mengajarkan sikap tawuran. Setiap lawan harus dihadapi satu lawan satu dan tidak dihadapi secara keroyokan, disamping itu jika lawan sudah tidak berdaya maka perkelahian telah selesai. Bandingkan dengan generasi pemuda saat ini yang identik dengan budaya tawuran dan keroyokan.

Munculnya Cerita Silat dan Perkembangannya

Cersil memang berasal dari Tiongkok namun tidak ada yang tahu secara pasti kapan genre tersebut berkembang. Peneliti cersil, Claudine Salmon mengatakan, xiayi xiaoshuo atau cerita pendekar telah ada sejak masa dinasti Ming atau Qing. Sedangkan Leo Suryadinata mengatakan jika xiao xiaosuo atau cerita silat Tiongkok telah ada sejak masa Dinasti Han Barat. Namun kebanyakan peneliti sepakat jika konsep xia () atau youxia () telah ada dalam buku simaqian. Sebagai cerita yang ditulis xiaosuo baru muncul di era dinasti Song. Pendapat lain mengatakan, cersil baru menjadi bacaan masyarakat Tiongkok sejak munculnya sanxia wuyi (Tiga Pendekar dan Lima Satria) atau qixia wuji (Tujuh Pendekar dan Lima Satria).

Penelitian yang coba dilakukan oleh redaktur Rimba Hijau menyebutkan di Indonesia cersil wuxia xiaoshuo diperkenalkan oleh Tan Tek Ho yang diterjemahkan sebelum Perang Dunia II dan selanjutnya cersil terjemahan banyak beredar di Indonesia. Booming cersil Tionghoa mempengaruhi penulis lokal untuk menulis cersil namun dengan tokoh-tokoh lokal. SH Mintardja muncul sebagai penulis cersil lokal yang fenomenal dengan menganggkat tokoh-tokoh dalam cerita Jawa. Kemampuan tersebut beliau peroleh dari pengalaman belajar tradisi Jawa dengan menguasai cerita Babad Tanah Jawi dan sejarah tanah jawa dengan baik.

Sumber: Republika, Senin 14 November 2011 hlm. 23-25.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun