"Instragamable Instagramable, wes ra gagas". Begitu mungkin pemikiran barisan para arek tongkrongan angkringan. Amunisi untuk perut lebih penting dibanding amunisi feed Instagram yang hanya sekedar mendapat like dan comment tanpa membuat perut kenyang dan bisa lanjut mikir untuk menyelesaikan tugas akhir. Bersosial media secukupnya dan bersosial masyarakat di kehidupan nyata selanjutnya.
Syukurlah masih ada tempat low budget, ramah isi dompet, dan isi perut. Tempat sederhana yang hanya berupa gerobak kayu dengan atap terpal dan lincak kayu dengan tikar plastiknya didirikan di tengah kawasan urban yang sesak diisi toko-toko, kedai, mall, sampai resto kelas borjuis. Keberadaan angkringan sangat mudah dijumpai di sepanjang pinggiran jalan, bak franchise supermarket warna merah dan biru yang bertengger di sepanjang pinggiran jalan.
Sejatinya ketika kerumunan orang berada di tempat makan, sekian persennya banyak digunakan untuk berbual atau orang menyebutnya dengan ‘kongkow’. Adanya angkringan dinilai mampu menjadi ruang komunal, dari kaum anak muda sampe kakung-kakung, bisa nimbrung jadi satu di bawah atap terpal dan duduk di atas lincak kayu atau lesehan beralaskan tikar plastik.
Angkringan atau orang Solo biasa menyebutnya dengan nama Hidangan Istimewa Kampung (HIK) bisa dikatakan sebagai tempat ‘ilegal’. Namun, daya tarik kesederhanaannya tidak menyurutkan peminatnya untuk sekedar singgah hingga datang kembali. Hal ini terjadi karena angkringan tidak lagi dilihat sebagai warung makan pinggir jalan biasa, tapi juga menjelma sebagai ruang untuk ngobrol santai, curhat, sampai diskusi isu penting kenegaraan. Fenomena ini tanpa disadari membentuk angkringan sebagai ruang komunal.
Fenomena angkringan sebagai ruang komunal bisa ditelisik dengan teori ruang publik borjuis milik Jürgen Habermas yang tertuang dalam karyanya berjudul “Perubahan Struktural Ruang Publik : Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis”. Ruang publik bagi Habermas adalah ruang yang menjembatani antara negara dengan masyarakat sipil.
Ruang ini bersifat universal, dimana semua kalangan, status, dan kelas yang bervariasi berkumpul untuk mendiskusikan apa saja yang dapat didiskusikan (Habermas, 1989:27). Perkembangan ruang publik memperlihatkan proses kemampuan masyarakat menuju pada kemampuan dalam komunikasi bersama.
Lebih jauh, Habermas menjelaskan bahwa ruang publik merupakan ruang dengan sifat yang bebas dari penindasan, dominasi, dan tekanan, dimana semua individu memiliki derajat dan kelas yang sama. Diskusi yang berlangsung cenderung bermuatan subversif (kritik). Angkringan juga menjadi pelampiasan untuk meluapkan uneg-uneg dan kepenatan pikiran dan hati dengan lebih leluasa dan bebas.
Topik di angkringan yang bermula menanyakan kabar bisa mencabang hingga pembahasan saham yang naik, vaksinasi Covid-19, sampai berceramah tentang ciri kehidupan akhir zaman. Semua topik bisa habis dibahas tanpa cemas menghiraukan jam tutup angkringan. Angkringan menjadi ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, dimana semua pembeli yang datang dan bahkan pedagang bisa dengan leluasa menyatakan opini, kepentingan, dan kebutuhan secara diskursif.
Dalam perspektif antropologis, Habermas melihat manusia sebagai makhluk rasional, bebas, otonom, dan lepas dari pengaruh luar. Menurut Habermas, masyarakat modern adalah masyarakat yang pluralistik dan beranekaragam. Kompleksitas dapat dilihat dari budaya mejemuk, orientasi nilai yang berbeda, etnis beragam, kebiasaan yang bermacam macam, dan lainnya. Tidak mudah untuk dapat menyatukan kemajemukan masyarakat ke dalam satu nilai kolektif. Disinilah peran masyarakat sipil dan ruang publik dibutuhkan.
Angkringan sebagai ruang komunal dimana individu yang berbeda ini mampu membaur menjadi satu, meleburkan sekat dan perbedaan latar belakang atas dasar ekonomi, jabatan, profesi, kelas, agama, dan perbedaan lainnya. Angkringan dapat menjadi arena berdialektika dan beretorika dengan menciptakan iklim diskursus sosial yang kritis dan bebas. Bebas berarti semua pihak dapat beropini dengan bebas. Kritis berarti mampu bertanggung jawab atas penentuan keputusan.
Menilik fenomena sosial yang terjadi di dalam angkringan maka tidak berlebihan kiranya bahwa angkringan adalah gudang informasi dan aspirasi masyarakat secara tak langsung. Hal ini dapat menjadi pandangan dan pelajaran bagi para pejabat publik apabila mereka hendak mendengar aspirasi masyarakat secara langsung tanpa terdistorsi, sudah dipastikan di tempat mana mereka harus menuju : angkringan.