Mohon tunggu...
Valerian Itu Faris
Valerian Itu Faris Mohon Tunggu... Advokat & Konsultan Hukum -

Jangan Tunda. Lakukan Sekarang !

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jalan Kemenangan Jokowi

2 April 2014   03:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:12 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1396360485272625235

gambar dari: clublogo.blogspot

Hidupnya seperti air yang mengalir. Bagi saya pribadi, sekolah besar kehidupan yang telah menempanya hingga sekarang. Setiap orang memiliki sejarah sendiri, dari setiap jejak sejarah selalu terkandung nilai-nilai untuk dimaknai. Jejak perjalanan hidupnya terang menggambarkan, jika ia bukanlah seorang aktivis pergerakan atau organisator handal di era mahasiswa. Dirinya hanya seorang aktivis Mapala UGM yang kerap memilih naik gunung saat senggang. Ia juga bukan berasal dari latar belakang keluarga ningrat, anak pejabat atau pengusaha kakap. Hidupnya dimulai dari deretan rumah di pinggiran sungai, bagian dari kaum yang selalu tergusur. Setelah tamat kuliah, ia malah memilih melanjutkan usaha tukang kayu peninggalan mendiang ayahnya.

Joko Widodo, ketika PDIP dan Gerindra bersatu mengusung paket Mega Prabowo pada tahun 2009, justru tengah menjalani tugas memimpin Surakarta. Sosoknya hanya dikenal di Kota Solo, saat itu namanya disebut dalam survey nasional pun tidak. Sejarah 2009 akhirnya membaptis pasangan SBY-Boediono memimpin Indonesia. Walau saat itu PDIP keras menentang dengan memaparkan sejumlah bukti kecurangan Pilpres, namun demikianlah sejarah berkehendak.

PDIP akhirnya memilih jalan oposisi yang mana salah satu alasannya untuk memberi pelajaran berharga bahwa demokratisasi memerlukan kerelaan politik dan kesabaran revolusioner demi menjaga roh kedaulatan rakyat. Tak lama berselang figur Prabowo Subianto pun mencuat, sejumlah survey ketika itu menempatkannya menjadi Presiden RI paling mumpuni pasca SBY.

Tiga tahun berselang, tepatnya di tahun 2011, sosok Joko Widodo berangsur angsur mulai dikenal luas. Sejumlah media Nasional mulai menceritakan jejak rekam, prestasinya memajukan Surakarta, kisahnya di blow up seperti andil memoncerkan Mobil Esemka hingga menjadi nominator Walikota terbaik Dunia.

Tak dinyana, tak berselang lama ia dimandatkan maju menjadi Cagub DKI Jakarta berpasangan dengan Ahok, bekas Bupati Belitung Timur. Kala itu sejumlah besar lembaga survei memberi unggulan tertinggi untuk Fauzi Bowo. Namun, Jokowi mampu tampil percaya diri, mengkreasi branding kostum kotak-kotak sebagai t-shirt perjuangan. Tipping Point pun tercipta, sekelebat cepat, virus kotak-kotak mewabah luas. Gajah Foke-Nara akhirnya ditaklukan Semut yang terepresentasi dalam diri dua pemimpin dari kampung.

Kini mata publik terbelalak, sosoknya bukannya meredup malah kian melambung tinggi. Profilnya diulas luas hingga ke seluruh penjuru dunia. Joko Widodo kini dipandang menjadi salah satu dari sedikit pemimpin di negeri Demokrasi yang mengambil kebijakan dari jalanan. Ia bahkan disejajarkan dengan sejumlah pemimpin dunia seperti Paus Fransiskus hingga Barack Obama.

Kini kejutan kembali ia torehkan, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri memberikan mandat baginya untuk menjadi Capres PDIP 2014. Tanpa kemeriahan upacara, berita mandat itu, ia sampaikan secara sederhana, biasa-biasa saja ditengah aksi blusukan, 04 Maret 2014, pukul 4 sore di Kampung si Pitung Jakarta.

Sukacita hebat berhamburan dari seluruh relawan, geriliawan yang berbulan-bulan melakukan gerakan mendorongnya menjadi Capres RI. Saya pribadi memang menjadi pendukung beliau lewat JASMEV saat maju menjadi Cagub DKI Jakarta dan kini turut bersama dalam Bara JP melalui sahabat Sihol Manulang, sejak bulan Juni 2013.

Serbuan Serangan

Setelah Joko Widodo dipastikan menjadi Capres RI dari PDIP, serangan dari lawan-lawan politiknya, semakin gencar. Sebetulnya, serangan terhadap dirinya sudah dilancarkan jauh hari, terhitung sejak dirinya terus unggul dalam sejumlah survei kandidat Presiden RI. Hasil survey terbaru dari CSIS “ jika head to head antara Jokowi dan Prabowo, posisi Jokowi unggul dengan dukungan 54,3 persen dan Prabowo hanya 28,3 persen. Sementara 17,4 persen belum menentukan “ ujar peneliti dari Departemen Politik dan Hubungan International CSIS, Tobias Basuki di Jakarta (Kompas, 31/3/2014)

Namun seperti dirinya yang biasa, tak satupun serangan itu diresponnya secara reaktif. Ia mungkin saja sudah menghitung benar, apa jadinya jika sikap reaksioner ditunjukan atau malah sebaliknya, karakter khas dirinya yang sesungguhnya menjadi benteng. Jokowi melesat cepat seoalh tak ada tandingian.

Serangan paling terlihat datang dari Prabowo Subianto, yang telah jauh hari digadang maju menjadi Capres RI usungan Partai Gerindra. Meski tak secara terbuka menyebut nama, namun publik persis tahu, jika ucapan-ucapan itu ditujukan bagi Jokowi, Megawati dan PDIP.

Prabowo terlihat begitu reaktif, bahkan sangat emosional merespon pencapresannya. Sebuah sikap yang bagi saya pribadi mestinya dihindari, jika memahami sisi kekuatan Jokowi. Namun sayang, lubang politik digali sendiri dan sebentar akan masuk terkubur di dalamnya. Kini santer mengalirlah istilah Capres Boneka, Pembohong dan tidak itu saja, bait-bait Puisi berhawa katarsis dipandang mampu menghujam jantung Jokowi. Tapi bukannya marah, Jokowi malah meresponnya dengan kelakar, “aku rapopo”, ujarnya suatu ketika. Pada kesempatan lain, ia malah mengucapkan terima kasih termasuk untuk Prabowo Subianto.

Saya sendiri meyakini, sekencang apapun serangan, tak akan mampu mengubah angin sejarah bagi Jokowi untuk menjadi kampium saat perhelatan Pilrpes RI bulan Juli 2014 nanti. Keyakinan saya ini ditopangi sejumlah alasan, termasuk tiga faktor utama ini: (1) Subyektif, (2) Obyektif, (3) Psiko momentum. Faktor Subyektif adalah syarat yang mesti dimiliki kandidat untuk mampu memenangkan pertarungan yang bertalian dengan kebutuhan rakyat Indonesia hari ini. Bagi saya, jika dibandingkan kandidat Capres lain, Jokowi justru memiliki keunggulan mumpuni. Ia telah menorehkan sejumlah prestasi, pernah memimpin sebuah pemerintahan sekelas Kotamadya hingga Provinsi. Figurnya terkenal bersih, santun, sederhana, merakyat, jauh dosa masa lalu dan tidak suka menyebar kebencian.

Faktor Obyektif merepresentasikan kebutuhan dan keinginan rakyat Indonesia hari ini. Sepuluh tahun terakhir, Indonesia dipimpin sosok peragu dan hanya terlihat pandai saat berpidato. Jokowi dalam 9 tahun terakhir terhitung sejak memimpin Kota Solo telah membuktikan jika dirinya seorang yang tegas dalam kelembutan, pemimpin yang berwibawa dan dicintai. Semua orang tahu, jika dirinya bukan sosok yang pandai berpidato. Baginya, kerja, kerja dan kerja adalah jauh lebih hebat ketimbang bicara.

Faktor Psiko-momentum merupakan situasi ini tak bisa diprediksi. Seorang pemimpin yang sangat populer bisa melorot hancur karena skandal tertentu. Disinilah, titik penting yang bagi saya pribadi harus diwaspadai sungguh oleh Jokowi, juga seluruh barisan pendukung setianya. Dalam berbagai pengalaman politik kepemimpinan, faktor psiko-momentum ini kerapkali dikonstruksi untuk menghancurkan moralitas kandidat dan memecah belah kekuatan pendukung.

Arus mengkonstruksi sudah mulai terlihat gejalanya, contoh iklan televisi yang menyerang, penggunaan istilah Presiden Boneka, Pembohong bahkan menghubung-hubungkannya jaringan zionis akan semakin sering kita saksikan. Di titik inilah diperlukan kesabaran ekstra kuat dari Jokowi serta seluruh barisan pendukung untuk mawas diri. Untuk itu maka saya menyarankan agar Jokowi sedapat mungkin memainkan gaya politik seperti ia lazimnya. Tak perlulah habiskan energi dan terpengaruh oleh serangan-serangan tak berdasar itu.

Adu Gagasan, Adu Kerja

Di beberapa kesempatan, saya kerapkali menemukan sesuatu yang mencengangkan. Jokowi selalu mampu menghindari pertanyaan wartawan yang kerap berusaha mengadunya dengan rival politiknya. Sejauh ini, Jokowi mampu secara cerdas menghindarinya, bahkan secara terbuka meminta agar yang dikedepankan adalah adu gagasan. Ini yang justru penting bagi barisan pendukung untuk memback-up.

Adu gagasan ke Indonesian, sejalan dengan keinginan sejumlah cendekiawan termasuk Frans Magnis Suseno. Pernah dalam sebuah kesempatan Romo Magnis mempertanyakan sekaligus mengkritik ketiadaan gagasan Jokowi untuk Indonesia. Gagasan sangatlah diperlukan untuk menilai jalan arah seorang pemimpin Indonesia ke depan.Sejauh ini, beberapa Capres termasuk Prabowo Subianto telah lebih dahulu mendaraskan Platform Politik. Kapan Jokowi melakukannya?

Saya memandang, jika publik jeli mengikuti jejak rekam Jokowi, maka ia tentu saja tidak sekedar mengutarakan gagasan, namun mengajak kandidat lain sama sama mengujinya dalam kerja lapangan yang kongkrit. Baginya, fokus mengeksekusi gagasan jauh lebih hebat ketimbang hanya bicara, bicara dan bicara. Jalan Kemenangan Jokowi sepertinya kian terbuka. Akhir kata: Mari terus berjuang memuluskan Jalan Kemenangan Indonesia Baru bersama JOKOWI ! (f)

*) Valerian Libert Wangge: Aktivis Barisan Relawan untuk Jokowi Presiden RI 2014, tinggal di Denpasar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun