[caption id="attachment_384998" align="alignnone" width="576" caption="sumber foto - bioshared09.wordpress.com"][/caption]
PLASTIK, seketika menjadi pembicaraan ramai. Entah ini sebuah kebenaran atau hoax yang sengaja dibangun serta dikendalikan. Nyatanya, beritanya ada, testimoni juga ada, obrolan serta kepanikan karenanya pun ada. Hari-hari ini media mainstream tanah air mulai mengangkat kabar ini ke permukaan. Publikpun tercengang, juga saya.
Sulit dibayangkan, jika makanan kita, beras kita terbuat dari plastik, dicampur dengan biji plastik. Saat kita mengkonsumsi plastik boleh jadi kita sedang mengkonsumsi kepalsuan, bukan? Manusia tak lagi dipandang sebagai manusia, kita kini telah berubah menjadi sekedar obyek dagangan, serta sarana melesakan kepentingan tertentu.
Sementara, istilah "plastisitas" dalam ilmu kesehatan artinya kemampuan untuk berubah dari satu jenis sel ke jenis yang lain. Dalam pengertian lain yakni kemampuan makhluk untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan tempat tumbuh / lingkungan yang baru. Menjumpai kenyataan diatas, apakah kita serta merta diberikan pilihan untuk "nrimo" dan menyesuaikan diri dengan kemauan mereka yang memainkan drama ini.
Apakah ini juga sebuah penanda lain, semacam pesan bagi kita untuk selalu bersiap menyesuaikan diri dengan segala perubahan yang demikian cepat dan tak bisa ditebak tebak? Selamat datang di era plastik, jika Anda ingin bertahan hidup pilihanmu menjadi plastis, lentur (plastistisitas).
Bagi saya pribadi, situasi ini sungguhlah "mengerikan". Jika beras plastik dipakai jadi alat politik ekonomi untuk mendekonstruksi sebuah rezim / hubungan dagang antar negara, maka mainan yang lebih mengerikan lagi bukan sesuatu yang mustahil terjadi. Beras, sesuatu yang langsung menghujam jantung dan keseharian kita.
Sekarang, tinggal kita menunggu saja, ke arah mana isu atau (mungkin) fakta ini dibawa atau dikelola. Namun, selalu saja yang menjadi "korban" tetap saja masyarakat kecil, rakyat jelata yang jumlahnya mayoritas di negeri ini. Mau makan nasi saja sulit, kini diberikan pilihan makan plastik. Keterlaluan !
Hal lainnya, jika Negara lengah dan lamban mengambil sikap, maka stabilitas Negara kita dalam ancaman. Pilihannya bukan pada kita, rakyat umumnya untuk bijak-bijak memilih beras, namun kehadiran Negara untuk segera menyudahi drama yang tak sama sekali lucu ini.
Menutup catatan ini, ada baiknya kembali kita membaca sajak karya Wiji Thukul (Solo, 1988):
SAJAK TIKAR PLASTIK-TIKAR PANDAN
Tikar plastik tikar pandan
Kita duduk berhadapan