Apabila kita mendengar tentang adanya sidang peradilan pada saat suatu tindak pidana telah terjadi, apakah yang kita pikirkan pada waktu itu ? Tentu saja, istilah-istilah yang sering kita dengar adalah terdakawa, korban, saksi, barang bukti, hukum, dan sebagainya.Â
Tidak diragukan lagi, bahwa saksi yang melihat suatu tindak pidana sangatlah berperan penting dalam pengambilan keputusan di dalam persidangan. Tidak jarang juga, bahwa saksi juga terkadang merasa tertekan oleh keputusan untuk bersaksi dan terkadang bisa merasa terancam dan terintimidasi oleh pelaku tindak pidana.Â
Namun, apakah yang dirasakan seorang anak, apabila dia adalah saksi penting dari tindak pidana? Apakah saksi tindak pidana yang adalah anak di bawah umur benar-benar merasa dan mendapat perlindungan dari hukum pada saat bersaksi di sidang?
Menurut penulis, secara teknis, memang benar bahwa setiap saksi tindak pidana, baik anak-anak maupun orang dewasa pasti dilindungi oleh hukum. Bahkan di Indonesia pun sudah ada hukum yang mengatur.Â
Di antaranya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ("UUPSK"), sesuai ketentuan Pasal 4 UUPSK, perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Ada juga dasar hukum sebagai berikut :
1. Â Â Â Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2. Â Â Â Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
3. Â Â Â Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada saksi dan korban
Jika dilihat dari peraturan perundangan, maka sudah pasti saksi tindak pidana mendapatkan perlindungan dari hukum, dengan syarat bahwa saksi harus mengatakan yang sejujurnya, dengan bersumpah, dan memberikan keterangan lengkap tentang yang disaksikan oleh saksi pada saat kejadian tindak pidana. Namun, tentu saja berbeda apabila yang menjadi saksi adalah seorang anak-anak di bawah umur.
Terlebih lagi, mental anak yang masih labil masih sangat mempengaruhi kondisi anak yang menjadi saksi. Dengan melihat kejadian tindak kekerasan tersebut, pemikiran anak menjadi berubah akan dunia ini, dan terkadang bahkan bisa meniru tindak pidana tersebut.