[caption id="attachment_146290" align="aligncenter" width="650" caption="Ilustrasi - cocodevil.files.wordpress.com"][/caption]
Ketika seorang ibu mendapat kabar bahwa putrinya harus menikah dini karena kecelakaan (MBA, married by accident) , hati dan pikirannya bekecamuk. Amarah, kesedihan bahkan penyesalan membuatnya jatuh sakit. Dia ga tahu mau menyalahkan siapa, sang pria atau anaknya. Suaminyapun menjadi sasaran karena dianggap terlalu memanjakan anak dan kurang pengawasan. Ga terima tuduhan tersebut, sang suami kembali menuduhnya ga becus merawat anak. Seisi keluarga menjadi ribut karena persoalan ini.
Belum lagi sang pria yang "katanya" menghamili anaknya ga mau bertanggungjawab untuk menikahi putrinya. Alasan sang pria cukup menampar muka keluarga, lelaki itu merasa bukan satu-satunya pria yang meniduri putrinya. Tentu saja masalah ini semakin rumit, apalagi diketahui bahwa putrinya itu memang sudah terlibat pergaulan bebas yang sudah mengawatirkan.
Walau mengaku telah "tidur" dengan beberapa pria, putrinya tetap yakin bahwa pria tersebut adalah calon ayah untuk anaknya. Persoalanpun bertambah panjang ketika keluarga besar memaksa untuk melanjutkan persoalan ini ke pihak berwajib. Setelah berembuk, keluarga memutuskan untuk ga melanjutkan persoalan ini dengan pertimbangan bahwa aib keluarga harus ditutupi.
Ya, keluarga ini harus menanggung aib akibat pergaulan bebas anaknya. Putrinya itu kemudian dikirim ke luar negeri untuk mengikuti kursus singkat sambil menunggu kelahiran bayinya. Untuk sementara mereka merasa terbebas dari persoalan tanpa memikirkan persoalan lain yang akan datang dikemudian hari.
Cerita di atas adalah sekelumit prahara rumah tangga yang dialami sebuah keluarga yang dituturkan oleh salah satu kenalan saya beberapa waktu yang lalu. Kami kemudian terlibat dalam percakapan yang cukup serius mengenai pergaulan remaja dewasa ini.  Akhirnya kami menuju pada satu topik pembicaraan tentang harga sebuah keperawanan yang saat ini sering diabaikan oleh remaja putri, khususnya mereka yang tinggal di kota-kota besar di Indonesia.
Berdasarkan beberapa survei, pergaulan bebas dewasa ini sudah menjadi permasalahan serius, bahkan ada yang berani menyimpulkan bahwa hampir sebagian besar remaja putri di kota-kota besar sudah ga perawan lagi.  Tahun lalu kepala BKKBN menyebutkan  51% dari 100 remaja di jabodetabek sudah tak perawan. Seks pra nikah juga dilakukan beberapa remaja Surabaya tercatat 54 persen, di Bandung 47 persen, dan 52 persen di Medan. Sedangkan di Yogyakarta dari 1.160 mahasiswa, sekitar 37 persen mengalamai kehamilan sebelum menikah, data-data ini bisa dilihat di sini. Sangat memprihatinkan dan membuat banyak keluarga menjadi gusar seperti diberitakan di sini . Benar ga nya survei ini karena didasarkan wawancara dan questioner tanpa pemeriksaan fisik, namun ini sudah menjadi warning bagi setiap orang tua bahkan untuk siapa saja.
Kalo saja kita menilik kembali didikan yang diajarkan setiap keluarga sudah barang tentu akan mengajarkan bagaimana pentingnya menjadi seorang anak yang takut akan Tuhan. Pendidikan agama merupakan bekal utama bagi sang anak. Namun ga sedikit yang mengabaikannya begitu saja. Pergaulan  remaja seolah-olah menjadi neraka yang menjanjikan kepuasaan dan gengsi.
Terkait masalah pengawasan, setiap orang tua memiliki metode yang tepat untuk mengawasi putra-putrinya. Ga ada yang dapat menilai siapa yang terbaik dalam hal ini. Namun bila kita mau jujur dan melakukan instrospeksi, banyak orang tua saat ini memilih untuk menghabiskan waktunya dengan pekerjaan dan kegemaran lainya ketimbang meluangkan waktu dengan anak-anaknya. Jawaban yang didapat sangat sederhana, "saya percaya kok dengan anak saya!" Ya, memang menaruh kepercayaan pada anak merupakan hal yang penting. Namun bukan berarti mengabaikan tugas dan tanggug jawab sebagai orang tua. Lalu apakah orang tua menjadi masalah utama dalam persoalan utama di atas ? Sebagian orang mungkin setuju, namun sebagian lagi akan membantahnya. Wong buktinya walau diawasi secara ketatpun masih banyak yang kebobolan.
Bagaimana dengan anak itu sendiri,  apabila dinasehati dan diawasi sering kita dengar keberatan-keberatan mereka. Seolah-olah menganggap orang tua terlalu kuno. Atau ada juga yang sekedar mendengarkan saja namun dianggap angin lalu. Kepercayaan diberikan orang tua, sering disalahgunakan. Alasan sekolah atau belajar biasa saja dipergunakan untuk kegiatan lain yang ga bermanfaat dan mengancam keselamatan mereka sendiri. Ga sedikit anak remaja yang ditemui di diskotik, café, atau night club lainnya setelah larut malam.  Fenomena ini sepertinya dianggap biasa saja dan sudah menjadi kebiasaan.
Keperawanan sepertinya ga lagi menjadi sesuatu yang penting untuk dijaga dan dihargai. Bahkan ketika banyak pria dewasa ditanya soal artinya keperawanan, bagi mereka bukan  lagi menjadi masalah penting. Sepertinya mereka dapat menerima kondisi saat ini dimana perilaku seks bebas sudah menjadi kebiasaan dan ga lagi dianggap tabu.