Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Teka-teki Manuver Politik Jokowi Menuju Pemilu 2024

19 April 2023   18:33 Diperbarui: 19 April 2023   19:37 24861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SOLOPOS.COM - (Source : Twitter/@ganjar_pranowo)

Lamun sira sekti, ojo mateni (meskipun kamu sakti, jangan sekali-kali menjatuhkan). Lamun siro banter, ojo ndhisiki (meskipun kamu cepat, jangan selalu mendahului). Lamun sira pinter ojo minteri. (Meskipun kamu pintar, jangan sok pintar) -Jokowi -

Saya bukan orang yang sembarang mengkultusan seseorang secara “buta”. Diantara banyak sosok yang saya kagumi, Joko Widodo adalah sosok yang saya kagumi (tidak pakai kata cukup), sekalipun beberapa tulisan saya ada yang mengkritik (tepatnya mengingatkanya) dalam kapasitasnya sebagai Presiden maupun karena ulah para pembantu-pembantunya (menteri atau setingkat menteri) termasuk orang terdekatnya yang tidak terlepas dari tanggung jawabnya, tidak sama sekali mengkritiknya secara pribadi.

Terlepas dari kekurangannya sebagai manusia. Sosok Jokowi Widodo, selain merupakan putra terbaik Indonesia, saya menghormati dan menjulukinya “Miracle Man” atau “Pria Ajaib”.  Karena kepribadiannya yang unik yang sulit saya bandingkan dengan politisi lain sepanjang sejarah Indonesia. Sekalipun ada, dapat kita bedakan dengan menempatkannya secara jujur  pada periodisasi atau masa perjalanan bangsa ini sejak kemerdekaan, terlebih pada era reformasi.

Anda pasti sudah mengetahui track record sosok jokowi. Namun senang saya membaca berbagai literatur bahkan berita, mendalami sera mengulas lagi  secara ringkas sebagai catatan atau pengingat saya pribadi dalam ilmu perbandingan politik  (Politik komparatif) yang saya pelajari. Untuk memahami sosok unik ini dibandingkan tokoh politik lain baik di Indonesia maupun di Negara lain.

Saya rasa tidak ada yang menyangka, pria kelahiran solo ini, tanpa modal pengalaman politik yang mumpuni dan kepopuleran yang belebihan sebagaimana para Priyayi atau berdarah biru yang menegacu pada suatu kelas sosial golongan bangsawan. Bukan juga tokoh atau keturunan tokoh yang terkenal di republik ini, baik pejuang, tokoh militer, pejabat, pemuka agama bahkan bisa juga dikaitkan kelompok “selebritas” yang dalam KBBI  diartikan sebagai orang yang terkenal atau masyhur. Karirnya politiknya melejit dengan ajaib di kancah politik Indonesia.  

Silahkan anda analisa sendiri, rekam jejak politisi yang “loncat kelas” (melejit dengan cepat) dari walikota solo, gubernur jakarta hingga menjadi pemimpin Negara ini selama dua periode.

Jika konstitusi mengizinkan seperti halnya Soekarno sang proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia  yang menjabat sebagai presiden sejak 1945 hingga 1967. Namun empat tahun sebelum lengser kedudukannya, Soekarno sempat dinobatkan sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS pada 1963. Hal itu berdasarkan sidang MPRS dan tertuang dalam ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963. Maka bisa saja, Jokowi dapat mengulang sejarah yang sama, bila kondisinya sama.

Kesempatan memperpanjang kepemimpinannya sebagai Presiden Indonesia, dengan bermodal dukungan masa (basis masa) yang besar di Indonesia, lewat pengaruhnya dapat saja mengademenkan konstitusi untuk tujuan tersebut. Namun sebagai warga negara yang baik, ia patuh dan tunduk pada konstitusi dan tidak berambisi sedikitpun.

Saya berusaha menganalisa secara runut untuk menebak teka-teki manuver politiknya untuk Pemilu 2024 nanti.

Pengaruh Jokowi

Anda tentu tidak asing lagi dengan istilah “Efek Jokowi” (Jokowi Effect) bukan? Istilah ini dijelaskan pada laman wikipedia Yaitu, istilah yang diciptakan media untuk mendeskripsikan pengaruh kepopuleran mantan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo terhadap perpolitikan dan perekonomian Indonesia.

Sementara itu, ketika itu, di pasar modal, efek Jokowi dikatakan dapat meningkatkan gairah penanam modal karena dia dinilai mempunyai rekam jejak yang bersih, pro-rakyat, dan tegas.

Iapun terjun dalam mendukung kampanye Kader PDI-P yang bertarung pada PILKADA , sebagai vote getter.

Terkait kepemimpinannya sebagai kepala Negara dan Pemerintahan. Dalam menjalankan program pemerintah, ia telah melakukan banyak terobosan. Yang utama, perhatiannya terhadap rakyat kecil atau miskin menjadi prioritasnya, hingga membangun negara ini mulai dari pedesaan.

Membangun inftrastruktur sebagai adalah faktor penting dalam percepatan pertumbuhan pembangunan disegala bidang, termasuk infrastruktur yang menghubungkan negara kepalauan terbesar di dunia ini agar   pemerataan dapat diwjudukan. 

Disamping itu, tidak dapat dipungkiri, keberadaanya diterima secara ramah oleh berbagai pemimpin Negara-Negara. Dan merubah wajah Indonesia, yang sempat dinilai sebagai negara yang tidak aman bagi kunjungan wisata maupun penyelenggaraan event besar. Ia mampu meyakini dunia dalam mengelar banyak event besar, penting dan berskala internasional di Indonesia.

Menyinggung masalah yang viral dan sempat membuat gaduh konstelasi politik di negara ini, khususnya peran PDI-P yang seolah-olah menentang kebijakannya untuk menyukseskan perhelaan besar, piala dunia sepak bola dibawah usia 20 tahun sebagai batu loncatatan event olah raga internasional berikutnya dimana Indonesia berkesempatan menjadi tuan Rumah.  

Jokowi berbesar hati, sekalipun tidak dipungkiri mengaku kecewa dalam ucapan “pusing” ketika Fifa membatalkan Indonesia sebagai Tuan rumah perhelaan tersebut. Namun ia mampu dengan tenang menghadapinya, bahkan melalui pengakuan dunia terhadap kepemimpinan, sosok kepribadiannya dan tentu pendekatan pribadinya, Indonesia tidak mendapat sanksi yang berat dari FIFA bagi pengembangan dan kiprah sepak bola Indonesia, baik di dalam dan berlaga di luar negeri.

Jika dilanjut tidak akan selesai dalam satu tulisan saja. Akan tetapi saya juga harus jujur, di dalam kepimpinannya, masih menyisahkan masalah intolernasi, penegakan hukum, korupsi yang meningkat dan menghadapi pergolakan gerakan-gerakan separatis untuk memisahkan diri dari NKRI, khususnya di wilayah papua.

Kemudian saya ingin menyoroti sedikit tentang penerapan filsofi Jawa selain tentu saja filsofi Bangsa dan Aturan Ketatanegaraan, Aturan Agama yang dianutnya, Konstitusi, perundang-undangan dan sejenisnya. Namun filosofi ini menjadi pedoman dalam perilakunya dalam bertutur, berpikir dan bertindak selayaknya banyak orang jawa pada umumnya.

Sebagai orang jawa, ia berpegang pada 3 filosofi jawa yang ditulisakannya sendiri melalui twiter maupun lewat beberapa wawancara dan pemberitaan. Yaitu

Pertama lamun sira sekti, ojo mateni yang berarti meskipun kamu sakti, jangan sekali-kali menjatuhkan. Kemudian kedua adalah Lamun siro banter, ojo ndhisiki yang berarti meskipun kamu cepat, jangan selalu mendahului. Dan ketiga adalah Lamun sira pinter ojo minteri. Meskipun kamu pintar, jangan sok pintar," lanjutnya.

Selain 3 filosofi tersebut, sebagai orang bersuku jawa. Jokowi menyelami berbagai filosofi jawa di dalam menjalankan pemerintahan dan mewujudkannya dalam tindak tanduk dan perkataannya.

Sehingga tidak heran jika pembawaannya dikagumi bukan saja oleh suku jawa namun juga lintas suku bangsa, sebagian besar rakyat Indonesia yang merupakan pendukungnya. Presiden yang dekat dengan rakyat tanpa sekat, rendah hati dan memihak rakyat kecil.

Dalam menjalankan pemerintahan ini, anda dapat menilai kepribadian, ketegasan dalam kepemimpinan, Sekalipun berulang kali dikecewakan oleh para pembantu-pembantunya yang seharusnya dapat membantunya menjalankan roda pemerintahan secara maksimal.

Sikapnya dalam membaca maupun mendengar caci maki, pelecehan dan direndahkan mulai dari rakyat berbagai kelompok usia melalui media sosial, hingga para tokoh yang bersebrangan dengan pemikirannya atau menyerang para menteri dan orang terdekatnya. Di sinilah kita dapat melihat, karakternya sebagai orang yang bijak dan penuh kasih karena tidak menganggunya dalam menjalankan pemerintahan. Sekalipun ia memiliki hak yang sama di depan hukum, sebagai orang yang dicemarkan, dengan besar hati ia tidak membalas mereka dalam tuntutan hukum.

Kepemimpinannya dalam waktu kekinian dapat terukur dari hasil survei LSI (9/5/2023), dimana hasilnya menurut Lembaga Survei Indonesia mencatat bahwa masyarakat mengaku puas terhadap kinerja Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Kinerja Presiden dinilai positif oleh 76,8 persen menurut survei ini, dan meningkat dari survei yang sama  sebelumnya.

Dari ringkasan catatan di atas, tidak mengherankan bagi saya, ketika ia dijuluki beberapa pengamat maupun politisi sebagai “King Maker”  dalam penentuan penerusnya sebagai calon presiden dalam pemilu 2024 yang tinggal dihitung dalam bulan ke depan. Sekalipun tidak memiliki kapasitas sebagai ketua partai yang berhak mengusung seorang calon Presiden.

Jadi tidak heran ketika, partai tokoh pimpinan partai pendukung pemerintah secara tidak langsung merangkulnya untuk membentuk koalisi besar. Wacana ini adalah bergabungnya KIB dan KKIR menjadi Koalisi Besar. Wacana  ini muncul setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi bertemu dengan lima partai politik di Kantor DPP PAN pada 2 April 2023. Kelima partai tersebut yaitu Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB.

Untuk diketahui, Golkar, PAN, dan PPP merupakan anggota KIB. Sementara Gerindra dan PKB adalah anggota KKIR. Jokowi menyatakan para ketua umum dari KIB dan KKIR cocok bila bersatu untuk kebaikan negara dan bangsa. Dia berharap agar parpol-parpol dapat bergabung dalam koalisi besar demi kebaikan rakyat.

Kepentingan Jokowi dalam Arah Koalisi Besar

Seperti disebutkan di atas, Jokowi menyatakan para ketua umum dari KIB dan KKIR cocok bila bersatu untuk kebaikan negara dan bangsa. Saya masih memberi catatan, posisi jokowi di dalam di koalisi besar ini. Jika keberadaannya sebagai Presiden saat ini, sebagai Presiden yang di dukung parta-partai pendukung pemerintahannya, tepat jika ia ikut di dalam koalisi besar tersebut entah sebagai punggawanya maupun hanya mengambil bagian dalam dalam statusnya sebagai Presiden yang memanfaatkan kekuatan politik besar dalam melanjutkan pembangunan yang telah dirintisnya, khususnya mempertahkan keutuhan persatuan dan kesatuan seluruh komponen rakyat memegang teguh pada keberlangsungkan NKRI dalam jangka panjang.

Namun bila ditempatkan sebagai representatif dari PDIP, sekalipun ia sendiri adalah kader PDIP, akan berbenturan dengan keberdaan Megawati Soekarno Putri sebagai Pemimpin Partai Terbesar dan satu-satunya partai yang memiliki hak istimewa sebagai partai yang dapat mengusung capres maupun cawapres.

Jadi apa sebenarnya kepentingan pribadinya di dalam koalisi besar bila terwujud? Sejatinya ia memiliki kepentingan mengemban kepercayaan rakyat untuk mendapat dukungan sosok penggantinya yang dianggapnya tepat melanjutkan program pembangunan yang telah dirintisnya, seorang nasionalis, putra terbaik bangsa dan paling tidak dapat diterima oleh rakyat diproyeksikan dapat mengikuti kebiasannya melakukan “blusukan” untuk bertemu dengan rakyat dan medengar atau melihat langsun permasalahan yang disampaikan rakyat disela-sela menghadiri agenda kenegaraan atau  meninjau progress pembangunan.

Sadar ataupun tidak, keberadaan koalisi besar, sekalipun PDI-P masih separuh “badan” masuk di dalam koalisi ini. Sehingga Koalisi Besar, merupakan sumber kekuatan jokowi untuk bargaining power dengan Megawati agar sepaham dengan dirinya untuk menentukan Capres khususnya, karena ia sadar statusnya bukan sebagai pemimpin parpol.

Pertanyaannya bagaimana dengan kepentingan partai-partai yang nantinya mewujudkan koalisi besar ini? Menurut saya, mereka akan mendukung siapa yang didukung jokowi sebagai Capres khususnya, dan merumuskan peran partai-partai nantinya dalam pemerintahan maupun dukungan anggota legeslatif baru nantinya.

Namun untuk menentukan siapa Capres yang diusung, Jokowi masih mempertimbangkan paling tidak dua calon yang diandalkannya. Yaitu Prabowo Subiyanto atau Gajar Pranowo, mengingat PDIP sebagai partai pemenang pemilu akan tetap “ngotot” Capres-nya adalah jatah PDI-P. Namun di sisi lain, Prabowo Subiyanto sekalipun tidak bergabung dalam koalisi besarpun, sudah mantap untuk melangkah dalam pertarungan Capres yang hingga hari ini koalisi pendukungnya tidak berubah setelah medeklarasikan Prawowo sebagai Capres 2014.

Jika kita analisa lebih lanjut, bila musyawarah atau kesepahaman bisa terwujud pada akhirnya dapat saja menempatkan Prabowo sebagai Capres dan Ganjar sebagai Cawapres.

Catatan analisa lainnya terkait capres dan cawapres, jokowi juga mempertimbangkan terjadinya politik indentitas yang dapat berdampak pada keutuhan NKRI, sekalipun tidak terlihat secara kasat mata namun dapat berdampak dalam jangka menengah maupun panjang (Menurut saya paling tidak dapat dirasakan dampaknya dalam rentang waktu 2030 – 2045).  Sehingga Cawaprespun menjadi pertimbangan Jokowi untuk diusulkan untuk mencegah kegaduhan Pilpres 2024 nanti.

Selanjutnya untuk membahas lebih dalam, Karena koalisi besar ini direstui Jokowi, dan dalam pemahaman saya sebagai kekuatan bargaining dengan megawati dalam mengusung Capres pada khususnya, maka dalam kapasitas sebagai kader PDI-P dan Kapasitasnya sebagai Presiden maka saya coba menganalisa hubungan antara Jokowi dan PDI-P serta kadernya, khususnya dengan Ketua Umumnya Megawati Soekarno Putri

Bargaining Jokowi dan PDI-P

Sebenarnya, tidak terjadi gesekan yang berarti  atau pertentangan Jokowi dalam kapasitas sebagai Presiden dengan PDI-P, khususnya dengan Ketua Umumnya, Megawati Soekarno Putri. Sekalipun berkali-kali jokowi di “sindir” atau di “ingatkan” sebagai petugas partai. Pernytaan ini, bagi sebagian orang tepat jika dikemukakan pada pertemuan tertutup kader, jangan diumbar di publik seolah-olah jokowi harus mematuhi perintah partai, atau secara tidak langsung wajib mendengarkan saran dan arahan Megawati. Jika hal ini dimaknai demikian, Jokowi seolah-olah adalah Presiden Boneka Megawati, dan kedudukan Megawati lebih tinggi dari sang Presiden.

Pernyataan Megawati ini, bila diartikan secara positif, Ketua Umum PDI-P ini sengaja meningatkan Jokowi agar memberi kesempatan kepada kader PDI-P untuk menduduki jabatan strategis, baik di pemerintahan maupun di perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN), dan saya rasa wajar-wajar saja

Namun bila sindiran atau penegasan Megawati diumbar di depan Publik, seharusnya ia sadar bahwa Jokowi adalah Presiden, kepala Negara dan Pemerintahan, Jabatan tertinggi di Republik ini. Sehingga terlepas sebagai kader PDI-P sekalipun megawai berjasa membesarkan dan memberi tiket kepada Jokowi, karena hak preogratifnya sebagai Ketua Umum PDI-P, baik dimulai dari walikota solo, gubernur Jakarta hingga maju selama dua kali bertarung di Pilpres 2014 dan 2019. Seharusnya bisa menempatkan diri secara tepat.

Kita dapat ingatkan kembali  ketika Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya mem[eringati HUT PDI-P ke 50, ia menegaskan kalau PDIP berperan penting terhadap karier Presiden Joko Widodo. Dengan sedikit sindiran dalam bahasa jawa mengakatakan

“Pak Jokowi itu ngono lho mentang-mentang, lah iya padahal Pak Jokowi kalau gak ada PDIP kasihan dah,"

Pantaskah?

Seharusnya juga Megawati sadar ketika memberi “tiket” kepada Jokowi, dukungan tersebut berasal berbagai pihak, khususnya dukungan militansi PDI-P sebagai aspirasi rakyat dan dukungan gabungan partai (koalisi), yang terbukti pilihannya tepat, karena kader terbaik ini secara nyata memberi kontribusi positif kepada Partai, bangsa dan negara.

Paling tidak kita catat saja Efek Jokowi terhadap eletoral PDI-P pada pemilu 2014 dan 2019.

Dalam bidang politik, Efek Jokowi ini, digambarkan oleh Dany Sutrisno, Elvan melalui pemberitaan detik.com (14 Maret 2014), yang berjudul "Charta Politika: Deklarasi Jokowi Sebelum Pileg, PDIP Bisa Tembus 30%".

Ramalam 2014 tersebut ternyata terbukti ketika, lewat pemberitaan cnnindonesia.com (24 Mei 2019), yang mengusung judul berita “Pecah Rekor PDIP dan Berkah Efek Jokowi di Pemilu 2019”. Dimana dijelaskan bahwa PDI-Perjuangan memecahkan rekor kemenangan pada pemilu legislatif pasca-reformasi dengan menang dua kali berturut-turut. Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri dan Jokowi effect dinilai jadi modalnya.

Hasil rekapitulasi suara nasional Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan PDIP sebagai peraih suara tertinggi pada Pileg 2019. 'Banteng' disebut mendapat 27.053.961 suara atau 19,33 persen suara sah di Pemilu 2019.

Mengulang kemenangannya saat gelaran Pileg 2014 dengan raihan 23.681.471 atau 18.95 persen suara. Perolehan suara PDIP kali ini pun mengalami kenaikan dibanding pemilu 2014.

Lalu bagaimana dengan prediksi di pemilu 2014, dimana jokowi tidak lagi menjadi calon Presiden? Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto, (PDIP)  tak ambil pusing soal dampak elektoral setelah Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.

Dengan keyakinan Hasto menyatakan "Kami bertindak bukan berdasarkan kalkulasi elektoral, kami bertindak atas keyakinan ideologi, konstitusi, sejarah dan juga melihat masa depan,". Pernyataan  ini diucapkan  Hasto di Kompleks GBK, (30/3/2023).

Selanjutnya, menurut Hasto, ia meyakini masyarakat menginginkan seorang calon pemimpin yang memiliki prinsip kokoh. Ia mengaku seluruh kader harus menerima semua konsekuensi atas keputusan partai.

"Justru dengan kejadian ini rakyat akan melihat bahwa kader PDIP, kokoh berdiri pada sikapnya meskipun itu membawa konsekuensi terhadap elektoral," ujarnya.

Dari ulasan ringkas ditas tentang efek jokowi terhadap elektoral PDIP, tidak dapat dipungkiri. Lalu untuk pemilu 2014, apakah efek jokowi masih berpengaruh. Pernyataan Hasto yang “ngasal” dan tidak percaya diri itu, ketika menyatakan tidak ambil pusing soal dampak elektoral, namun keder juga jika nantinya membawa konsekwensi penurunan elektoral PDIP.

Sampai di sini, bisa diambil kesimpulan oleh saya pribadi. Bahwa Capres yang di dukung oleh Jokowi, akan mendapat dukungan besar dari rakyat. Oleh karena itu, dalam pertemuan tertutup antara Megawati dan Jokowi, sedapatnya mendapat jalan keluar yang tepat. Saling menghormati. Karena sekalipun Kader Partai, kekuatan Jokowi masih besar, selain didukung mayoritas rakyat, Ia masi sebagai Presiden hingga terpilihnya penerusnya.

Jika hal ini menemui jalan buntu, maka jokowi dapat saja mendukung capres dari partai lain, apalagi koalisi besar benar-benar terwujud dan akan bertaurng dengan PDI-P yang mencalonkan jagoannya sendiri.

Teka-Teki Siapa Capres dan Cawapres Pilihan Jokowi?

Inilah teka-teki yang perlu dianalisa secara mendalam. Sebagian sudah saya jelaskan di atas, pertimbangan Jokowi mencari Capres penerusnya, bahkan hingga mengusulkan Cawapres.

Diakui ataupun tidak, pengamatan rakyat yang melihat kedekatan jokowi dan prabowo, seolah-olah rakyat (pemilih, pendukung jokowi) membaca bahwa Jokowi sedang meng-endorse Prabowo Subianto. Ditambah “kontroversi” pernyaan Ganjar dianggap berlawanan dengan Jokowi, berkontribusi pada masalah dibatalkannya Indonesia oleh FIFA, sebagai tuan rumah piala dunia Sepak Bola U-20. Mendokrak elektabilitas Prabowo dan sekaligus berdampak pada elektoral partai Gerindra pada pemilu 2024.

Menurut indikator Politik Indonesia (IPI) yang merilis survei dinamika elektoral capres dan cawapres pilihan publik dalam dua survei nasional (surnas) terakhir yang diberitakan detik.com atas hasil survei mereka dalam rentang waktu 13-18 Maret, yang dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi  Bahwa. "Ini elektabilitas per hari ini PDIP agak sedikit turun, Gerindra meningkat tajam dari 11 ke 14 persen mungkin karena (elektabilitas) Pak Prabowo yang meningkat ya, jadi membawa efek,"

Sedikit berbeda dengan hasil survei LSI (9/4/2023), Elektabilitas Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan tingkat elektabilitas partai politik teratas masih diduduki oleh PDI-P dengan 17,7 persen pemilih dari responden survei. Meski demikian, PDI-P mengalami penurunan elektabilitas jika dibandingkan survei periode sebelumnya (pada Januari 2023 di survei LSI masih 22 persen turun menjadi sekitar 19 persen pada Februari, turun lagi jadi 17,7 persen pada April). Sedangkan diposisi kedua dan menguat adalah Gerindra dengan 12,8 persen. Posisi tiga ada Partai Golkar dengan total suara responden 7,8 persen. Posisi empat diduduki oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan elektabilitas sebesar 7,6 persen.

Hasil survei tersebut, saya yakin terdapat kontribusi Jokowi, Sekalipun Gerindra menyatakan Terlalu Dini Bicarakan Jokowi Endorse Prabowo Subianto, namun kenyataannya hanya dengan mengajak Prabowo “blusukan” di luar kapasitasnya sebagai Menhankam, elektabilitas Prabowo melejit meninggalkan annies dan hingga kini menduduki peringkat ke 2 dalam seluruh survei yang dilakukan lembaga survei, yang memiliki selisih tipis presentase elektabilitas dengan Ganjar tetap berada di posisi pertama, sekalipun terjadi penurunan elektabilitasnya.

Hasil survei berbagai lembaga survei tentu akan melihat kedekatan Jokowi dan Prabowo, secara umum mengakui adanya pengaruh efek jokowi. Hal ini, sekaligus  harus disadari oleh PDI-P, bahwa Elektabilitas Capres berpengaruh secara significantu terhadap perolehan suara Nasioal (Elektoral) Partainya.  Namun kenyataan ini seolah-olah dianggap remeh oleh PDI-P khususnya terhadap Efek Jokowi.

Lalu bagaimana dengan Ganjar? Sekalipun dukungan rakyat kepada dirinya melalui berbagai hasil survei beberapa tahun belakangan ini posisi tertinggi, diakui atau tidak karena rakyat atau tepatnya pemilih menilai sendiri Ganjar adalah penerus Jokowi dalam berbagai pertimbangan. Apalagi ketika jokowi menginsyaratkan, capres yang didukungnya “berambut Putih”, Elektabilitasnya sempat naik dan pemilih semakin yakin akan pilihan jokowi yang tidak secara langsung menyebutkan namanya.

Berbeda dengan penyebutan Prabowo pantas menjadi Presiden. Beberapa kali dicapkannya. Paling tidak menjadi tajuk berita utama berbagai media mainstream, ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto boleh jadi keluar sebagai pemenang pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, menyusul dirinya yang sudah dua kali memenangi pilpres.

Seperti dilansir kompas.com pada 7 November 2022, dengan meberikan judul berita “Jokowi: Saya Menang Pilpres 2 Kali, Kelihatannya Setelah Ini Jatahnya Pak Prabowo”

Hal ini dilontarkan Jokowi ketika berbicara soal rekam jejaknya yang berkali-kali memenangi pemilihan umum dari tingkat kota hingga nasional dalam acara peringatan hari ulang tahun Partai Perindo.

Sekalipun elektabilitas Ganjar tetap tertinggi sepanjang survei namun dalam survei LSI terakhir yang dijelaskan di atas. Selisih presentase elektabilitas Ganjar dan Prabowo yang menduduki peringkat ke-2 cukup tipis, bahkan dibawah Margin of eror dari metode survei yang dilakukan LSI.

Namun kini, dalam rilis LSI terbaru, yang dilansir kompas.com (9/4/2023), Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan Prabowo Subianto menduduki elektabilitas teratas dalam simulasi tiga nama bakal calon presiden (capres). Prabowo  memiliki elektabilitas sebesar 30,3 persen dan  disusul oleh Ganjar Pranowo 26,9 persen dan Anies 25,3 persen. Dari hasil tersebut, terlihat jelas  adanya penurunan signifikan pada elektabilitas Ganjar.

Sampai di sini, bila dikaitkan dengan terjadinya politik identitas, maka Prabowo dapat dipastikan menjadi pilihan Jokowi sebagai Capres, karena Prabowo di usung oleh PKB, sehingga dapat mengimbangi bila politik identitas di gunakan Anies, yang memang tidak terhindarkan.

Dengan demikian Prawo bisa dipasangkan dengan Ganjar, namun harus menunggu restu dari Megawati. Bila duet ini harus berhadapan dalam kopetisi pilpres. Sebenarnya pilihan terbaik cawapres adalah Mahmud M.D. Sekalipun belakangan dipinang koalisi pendukung Anies sebagai cawapres. Namun tanggapan Mahmud belum memberikan signal positif mengingat partai besutan NU yaitu PKB telah mentapkan hati mendukung Prabowo, apalagi dalam koalisi pendukung Anies, dialah yang diberi kuasa memilih cawapresnya sendiri.  

Bila semua berjalan diluar skenario manuver politik yang diimpikan Jokowi, namun minimal ia telah berjuang separuh jalan lebih, mengakomodir kepentingan Negara. Dengan menghadirkan para capres yang garis politiknya berhaluan Nasionalis, para putra Terbaik Bangsa.

Pada Akhirnya, Ia akan tetap dan setia dengan PDI-P dan dengan cara jawa mengambil bagian sebagai penonton yang cerdas, siapapun nantinya terpilih sebagai pemenang. Karena minimal Anies yang dikuatirkan Jokowi saat ini terendah elektabilitasnya, berpotensi kalah pada putaran pertama Pilpres 2024 jika terdapat 3 bakal calon yang ikut dalam Pilpres 2024. Itu menurut saya, entah anda.

Selanjutnya, kita tunggu saja hasil pengumuman Ketum PDI-P, dan saya rasa tidak akan bergeser dari 3 kandidat Capres jika terpaksa Calon PDI-P harus berhadapan langsung Prabowo. Bagi Jokowi sekalipun masih bargaining dengan Megawati, ia telah mantap dengan pilihannya entah nantinya Plan A atau B tanpa mengecewakan para pemilih pendukung Fanatiknya dan tetap menaruh hormat kepada Megawati Soekarno Putri sehingga salah jika ada yang berandai-andai Jokowi akan membentuk partai sendiri. Tidak! Dia akan tetap berada di dalam PDIP-P, dan turut membesarkan partainya tersebut, apapun posisinya nanti. 

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun