Jujur saja, sekalipun telah menempuh pendidikan TK, sekolah dasar hingga menengah. Salah satu pelajaran yang membuat saya bosan dan menahan rasa ngantuk adalah pelajaran sejarah. Saat sekolah menengah bahkan sering bolos sebelum pelajaran dimulai. Ini mungkin juga tergantung guru yang menerangkan, atau ada yang salah dalam diri saya.
Tapi entar dulu, jangan dipikir saya benci dengan Sejarah.  Karena dari kecil, kakek saya yang juga seorang tokoh masyarakat, politikus, sekaligus berprofesi sebagai jurnalis di zamannya dan kebetulan mengelola salah satu Koran Daerah tertua di daerah saya. Jadi koleksi buku Perpustakaan kecil milik Almarhum Kakek menjadi konsumsi saya yang kebetulan hobi membaca.  Jadi mungkin sudah merasa puas kali dengan buku-buku yang dibaca dan  kemudian menjadi bosan ketika diulang lagi di kelas karena ceritanya sama bahkan ada yang bertentangan.
Nah terlepas dari curhat basa-basi di awal. Jujur saja, belakangan ini saya cukup terkaget-kaget, lebaynya hingga bengong kayak sapi ompong, ketika membaca tiga seri tulisan berturut-turut, yang ditulis oleh seorang mantan politisi, ekonom, pemikir, peneliti dan tokoh masyarakat Maluku. Ibu Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina.
Dari judulnya saja sudah buat kening mengkerut, Heboh bangat! Thomas Matulessy, Kapitan Poelo atau Kapitan Pattimura?Â
Siapa yang gak penasaran sekaligus, "Tepok Jidat". Ini kan nama pahlawan Nasional asal Maluku yang sejarahnya sangat heroic dalam mengusir penjajah dari tanah airnya. Â Namanya saja dipakai dimana-mana, mulai mata uang 1.000 Rupiah, nama jalan protokol hampir dan mungkin di seluruh Indonesia, patung, perangko dan benda pos, nama gedung, institusi, lembaga, universitas, bandara internasional, bahkan nama Kodam XVI/Pattimura, dan lain sebagainya yang mungkin namanya telah disematkan baik di dalam dan luar negeri dan saya gak tau.
Namun yang pasti, sejarahnya telah melekat pada generasi saya minimal, tentu juga generasi sebelumnya, bahkan mungkin udah opa-oma yang mengenyam pendidikan dan berpegang pada sejarah perjuangan Kapitan Pattimura seperti halnya saya dan juga anak sekolahan saat ini. Kalau gak diketahui melalui bangku pendidikan, paling gak mungkin pernah membaca, mendengar atau mengikuti perjalanan sejarahnya dalam berbagai buku dan literatur lainnya yang telah diterbitkan oleh para penulis baik peneliti, sejarawan maupun jurnalis, termasuk publikasi resmi pemerintah atau lembaga dalam dan luar negeri dalam berbagai bahasa.
Lagi-lagi, saya masih penasaran kok bisa-bisanya tulisan "provokatif" seperti itu belum juga mendapat tanggapan dari sejahrawan atau lebih tepatnya dari dunia akademisi/kampus sejak tulisan tersebut dipublikasi (1/09/2021). Dari judulnya saja, menurut pemahamann "ekstrim" saya, penulis sedang berusaha menggugat sosok nama Kapitan Pattimura yang telah diakui sebagai pahlawan nasional dan dihormati oleh masyarakat Indonesia.Â
Setahu saya, Ibu Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina. Atau biasa dipanggil ibu Engelina ini bukan seorang sejarawan. Tapi ketika menelusuri beberapa tulisan beliau yang lain, dan lagi-lagi ada yang terkait sejarah Saya berkesimpulan bahwa beliau sekalipun bukan seorang sejarawan secara akademik, tetapi memiliki hobi yang unik dan ditekuni benar-benar dalam memperlajari sejarah. Ya iyalah, kalau gak, mana berani menulis beberapa sejarah yang diantaranya cukup menghebohkan tetapi juga ada nilai positifnya.Â
Lalu bagaimana dengan tulisan yang satu ini? Yang pasti penulis adalah seorang yang educated atau berpendidikan, lulusan Jerman. Anak seorang pendiri pertamina ini, mana mungkin menulis sebuah karya tulis seheboh seperti ini, tanpa memegang refrensi yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sepantasnya  "Tesis" penulis ini, menurut saya ya, harusnya dikaji secara ilmiah di lembaga pendidikan setingkat universitas atau lembaga pemerintah yang terkait dengan dokumentasi atau arsip sejarah Nasional.
Bagi saya pribadi, Â minimal sebagai mantan akademisi dan bergelut dalam penelitian serta analisis, tentu saja akan membaca ketiga seri tulisan tersebut berulang kali secara teliti, Â karena masih penuh dengan rasa ketidak percayaan, sekalipun penulis adalah bukan orang sembarangan. Saya sempat terus mempertanyakan dari mana beliau memperoleh sumber primer yang lengkap, sehingga begitu percaya diri.
Setelah membaca dengan teliti, didorong rasa penasaran, dengan ilmu "jampi-jampi" semangat yang masih dimiliki, mulailah saya mencari sumber refrensinya secara utuh. Salah satunya yang disebutkan dalam tulisan penulis, dan tentunya dalam kesempatan yang sama saya juga berusaha mencari lagi refrensi yang mungkin jauh lebih tua lainnya, sehingga bisa mematahkan "Tesis" Ibu Engelina tersebut.