Bahkan dalam hubungan kami dengan berbagai pihak, kami sempat menyarankan agar beberapa situs online terkemuka dengan suka rela memasangkan banner kampanye yang kami atau pemerintah perjuangkan, ya gitu deh.. masih ditanggapi dingin dan dianggap angin lalu, seolah-olah tidak menghasilkan keuntungan secara komersial. Itu saja sudah sulit, apalagi mengajak mereka untuk ikut berkampanye secara sadar baik online maupun offline
Sama halnya saran kami kepada beberapa operator agar juga memberikan informasi yang sama, juga masih dilirik dengan sebelah mata. Disamping beriklan, kami berharap pihak operator/ISP juga mengkampanyekan agar orang tua perlu melakukan pengawasan yang baik bagi anak dalam memanfaatkan peralatan cangih mereka dan menyediakan fitur-fitur tutorial parenting control agar secara teknis dapat dipraktekan secara mandiri oleh orang tua untuk meminimalisir dampak penyalahgunaan TIK. Semua ini mungkin dianggap dapat menganggu strategi pemasaran mereka, lalu kemudian dengan dana CSR yang dialokasikan secara terbatas untuk kegiatan seperti ini, beberapa divisi internal mulai secara mandiri “ikut-ikutan” melakukan sosialisasi agar terkesan meramaikan.
Saya sepakat dengan pendapat, “Komandan” ICT Watch, Donny BU, agar pesan dan peringatan kami sampai ke masyarakat, tidak cukup bila hanya pemerintah yang beraksi apalagi tidak tepat sasaran dan tanpa survey dan data pendukung. Mengharapkan satu NGO atau komunitas saja untuk membantu melakukan sosialisasi isu seperti ini tidaklah mungkin tercapai, oleh karena itu memang perlu adanya penanganan bersama, adanya kolaborasi semua komponen masyarakat, termasuk pelaku usaha maupun pemerintah.
Dari semua upaya tersebut, garda terdepan adalah orang tua, namun pertanyaannya sejauh mana orang tua dapat menaruh perhatian terhadap hal ini? Atau sejauh mana para pembaca artikel atau mereka yang telah mendengarkan sosialisasi tentang isu seperti ini dapat membantu menyebarluaskan upaya pencegahan dan penanganan penyalahgunaan TIK ini kepada orang terdekat, minimal keluarga, lingkungan atau komunitas dimana mereka berkecimpung?
Kepada metrotvnews.com (10/10/2013), Ibu Elly Risman menegaskan yang mengkhawatirkan adalah sesungguhnya otak anak-anak kita sendiri sudah mengalami kerusakan akibat kecanduan pornografi. Orang tua, masyarakat, pemerintah dan sistem secara keseluruhan hanya memperhatikan satu aspek saja dari tumbuh kembang anak, yang artinya memang bahaya sudah mengancam kita. Sehingga bagaikan fenomena gunung es, sebenarnya kasus-kasus pelecehan seksual pada anak oleh predator online mungkin sudah menimpa anak-anak kita, yang lebih bahaya lagi penyimpangan perilaku seksual pada anak sudah banyak terjadi dan dilakukan dikalangan mereka sendiri namun masih ditutup-tutupi.
Seperti yang dikemukakan oleh KOMNAS Perlindungan Anak melalui Tempo.co.id (12/12/2013) bahwa Selama 2013, ada 1.446 kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak dan mengakui bahwa jumlah kejadian sebenarnya diduga masih banyak terjadi seperti fenomena gunung es lagi, karena data ini berdasarkan laporan yang mereka terima.
Menurut KOMNAS PA, 28% kasus kejahatan seksual dilakukan peserta didik di lingkungan sekolah (naik 18-20% dibandingkan tahun 2012). Dengan memberikan contoh kasus tiga siswa kelas XII Sekolah Menengah Kejuruan Multimedia di Jakarta Timur ditangkap karena memperkosa siswi kelas X berinisial NFR, 16 tahun, di ruang kelas sekolahnya. 72% kejahatan seksual itu dilakukan orang dewasa atau lingkungan terdekat korban.
Walau apa yang dilaporkan oleh KOMNAS PA belum dapat dibuktikan melalui penilitian resmi agar dapat teruji adanya korelasi peningkatan kejahatan seksual anak dengan adanya penyalahgunaan pemanfaatan TIK, namun bagi beberapa aktivis dapat ditarik benang merahnya.
Lalu bagaimana penanaganannya? Menurut Ibu Elly lagi, tidaklah mudah. Orang tua memang akan menghadapi kesulitan menghadapi generasi “alien”, generasi sentuh dan generasi z yaitu anak-anak yang hidup dengan internet, lebih pintar dan sensitif. Anak-anak ini adalah anak-anak yang merasa boring, angry, stress dan tired. Mereka lelah, lokasi rumah - sekolah jauh lalu banyak kegiatan.
Oleh sebab itu, penanganan anak generasi Y bahkan Z memang memerlukan kerja ekstra bagi orang tua. Memanjakan anak dengan smartphone karena takut anak mati gaya di sekolah, membebaskan mereka berselancar di internet tanpa proteksi dan pengawasan karena alasan orang tua sibuk dengan “dunia mereka sendiri”, lebih memperparah pengawasan sekaligus pencegahan bagi anak dari dampak penyalahgunaan TIK.
Jadi, mau salahkan siapa bila anak dilecehkan bahkan diperkosa? Jangan menujuk hidung orang lain dulu, koreksi diri itu penting dan perlu membuka diri dan menyediakan waktu untuk menggali pengetahuan tentang penanganan anak dan remaja dewasa ini. Tidak tahu? Maka carilah berbagai artikel di internet tentang parenting control, kalau masih malas juga, tanyakan pada orang yang memahami hal ini, minimal mereka yang anda kenal dan percaya.