Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Karena Trauma Masa Lalu, Anak Dikekang Secara Berlebihan!

26 Oktober 2011   20:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:28 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_144119" align="aligncenter" width="650" caption="Ilustrasi - sodahead.com"][/caption]

Berbicara soal seks memang penuh dengan pro dan kontra. Apalagi budaya masyarakat kita menganggap seks adalah tabu untuk dibicarakan, ditulis apalagi diumber dalam tindakan termasuk porno grafi dan porno aksi. Menurut sebagian besar orang, membicarakan seks secara  terbuka untuk konsumsi  umum adalh tindakan yang kurang terpuji , apalagi mengubar pengalaman seks secara pribadi tentu  adalah aib bagi dirinya dan keluarga. Wajar  sekali untuk menulis atau berbicara tentang  harus memeprtimbangkan juga norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Jadi apakah semua harus menahan diri karena dibatasi oleh berbagai rambu-rambu yang ada ? Tentu saja ga, sejauh yang dibicarakan memperhatikan situasi dan kondisi serta porsi yang sesuai  untuk golongan usia tertentu. Norma atau rambu-rambu sangat diperlukan, namun ga membuat kita menjadi kaku dalam mengambil sikap.  Paradigma yang memandang seks adalah tabu untuk dibicarakan sebenarnya mengacu pada teknik bukan pada fungsi. Jelas saja kalo kita berbicara atau mengajarkan tentang seks berdasarkan teknik, akan mengangkat soal cara melakukan seks. Ini yang juga menjadi masalah bila kita ingin megajarkan pendidikan seks pada remaja atau anak-anak. Jelas ga mungkin kita mengajarkan kepada mereka tentang cara melakukan seks.

Meyoal pendidikan seks pada anak, memang membawa masalah sendiri. Banyak terjadi penolakan karena  merasa takut bukan lagi soal tabu. Selain itu banyak yang bertanya mengenai bahasa yang digunakan dan kapan saat yang tepat.  Seorang sahabat yang notabene dulu adalah seorang pengembara cinta, atau kasarnya playboy lah. Sangat over protective pada anak gadisnya. Karena merasa takut "karmanya" akan terjadi pada anak gadisnya itu. Perilaku yang sudah over ini kadang membuat dia ga bisa  tenang ketika anaknya pulang sekolah beberapa menit saja. Kepanikan semakin mejadi-jadi ketika anaknya  sedang mengikuti pelajaran tambahan di sekolah. Padahal, tak kurang si anak sudah dibekali HP bahkan nomor telepon guru dan sekolah sudah dimilikinya, termasuk teman-teman dekat si anak. Saya pun bertanya, mengapa ia begitu ketakutan terhadap hal yang belum tentu terjadi. "ah ngelakuin begituan kan ga perlu lama boss, paling ga nyampe 15 menit," katanya. Oalaa, pantes saja pikiran jorok seperti itu selalu bersarang dikepalanya.

Beberapa kali teman saya itu seperti kehilangan kepercayaaan diri, bahkan ketika anak gadisnya memohon ijin untuk mengikuti perkemahan siswa, dia menjadi panik dan meminta pendapat saya. Tentu sebagai teman, saya hanya bisa menyarankan hal-hal yang bersifat normatif saja misalnya berilah kepercayaan pada anak atau pasrahkan saja sama Tuhan, Dia akan menjaga anakmu nanti. Walau sudah mendapat masukan (ternyata) dari berbagai orang  termasuk istrinya, dia masih saja keukeh bahwa anaknya ga boleh mengikuti kegiatan-kegiatan sejenis diluar jam sekolah apalagi nginap.

"Kamu sudah pernah bicarakan soal seks terdapat anak mu kawan ?" Tanyaku. Pertanyaan ini membuka percakapan kami pada suatu hari. "Ah gila kamu, emang apa yang mau diomongin ? Yang ada saya hanya mengancam dia ga boleh pacaran bahkan ga boleh dekat dengan lawan jenisnya!" Jawabnya dengan tegas. Tanpa bermaksud ikut campur saya berusaha menggiringnya pada pembicaraan ringan soal hal ini. Karena walau bagaimanapun, orang tualah yang lebih berhak menentukan bagaimana dia mendidik anak-anaknya.  O yaa, sampai lupa. Anak gadisnya berusia 14 tahun.

Saya kemudian menjelaskan kepadanya bahwa anak gadisnya sebaiknya diberikan pandangan-pandangan positip tentang seks bukan malah menakut-nakutinya apalagi ancaman yang aneh-aneh. Terlebih lagi dia harus dapat mengkondisikan pikiranya  terhadapt ketakutan-ketakutan yang sudah berlebihan itu. Dia mengaku merasa kesulitan untuk berbicara hal dewasa dengan putrinya, karena yang dipikiranya adalah perbuatan-perbuatannya dahulu. Sebenarnya saya bisa memakluminya namun juga merasa khawatir akan kondisinya yang kadang stress menghadapi semua anak-anaknya yang kesemuanya perempuan. Bisa dibayangkan  kalo kelak mereka semua remaja, apa jadinya kondisi emosi dan tingkat stress yang dapat menganggu kesehatannya. Saya menyarakanya untuk berkonsultasi dengan psikiater dan pemuka agama yang dikenalnya.  Sebagai teman ada area privacy yang ga bisa kita langgar begitu saja.

Memang ga mudah mendidik anak tentang seks, ketakutan melanda pikiran setiap orang tua apalagi melihat kenyataan dewasa ini yang diwarnai dengan penyimpangan perilaku pada anak.  Bekali anak dengan pendidikan agama yang memadai karena ini benteng utama, selanjutnya berilah kenyamanan bagi mereka, sebagai orang tua sekaligus sebagai sahabat mereka. Dengan demikian kita ga canggung berdiskusi tentang apa saja secara dewasa dalam porsi yang sesuai dengan usia mereka. Berilah ruang dan kepercayaan kepada anak untuk bergaul dalam pengawasan yang wajar karena kelak mereka akan bertumbuh menjadi manusia-manusia dewasa yang harus siap berinterakasi dengan masyarakat luas.

Semangat pagi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun