11 Prahara
Tak ada pesta dan aku sangat bersyukur.
Bahkan jika boleh meminta, aku tak ingin pernikahanku ini dihadiri oleh siapapun kecuali keluargaku. Tak ada aroma kebahagiaan yang patut dibagi dengan orang lain. Aku memang sama sekali tak merasakan kebahagiaan.
Terkadang, aku diam-diam memperhatikan Mudji, si lelaki terpilih. Sikapnya memang biasa, seperti kebanyakan orang. Tapi entah kenapa, aku selalu saja menganggap dia menyembunyikan sesuatu. Terlebih kilatan culas yang terpancar dari tatapannya.
Kami tinggal di rumah yang kubangun dari jerih payahku sendiri. Tak jauh dari rumah Ibu. Aku ingin mandiri, begitu alasanku pada ibu.
Di balik alasan itu, aku sebenarnya tak ingin jika orangtuaku tahu atas apa yang terjadi pada rumahtanggaku.
Perihal pekerjaan, hingga kini aku tak pernah mengerti, pekerjaan apa yang ditekuni oleh Mudji. Yang kutahu dari bapak bahwa dia pebisnis. Pernah aku bertanya tentang itu padanya, namun selalu saja dijawab dengan bentakkan. Dia memang temperamental.
Dia sering membawa teman laki-lakinya pulang. Tak jarang mereka menginap dan terkadang hanya sebentar saja. Seorang teman yang kukenal karena seringnya menginap, adalah Gun. Lainnya, aku sama sekali tak tahu dan tak ingin mengambil pusing.
Sebagai istri dalam rumah tangga, tugasku terhadap tamu mungkin selesai setelah menjamui. Terlebih, banyak di antara mereka yang mengaku rekan bisnis suamiku. Maka, jamuan, meski alakadarnya, seolah menjadi sesuatu yang wajib. Ironisnya, semua biaya aku yang menanggung.
Satu hal yang kerap membuatku tertawa setiapkali melafalkan kata suami dan istri. Seolah, memang tak ada takaran kepatutan bagi kami untuk menyebut atau dsebut sebagai suami-istri.
Yang aku heran dan tak aku sukai, Mudji pandai sekali menjilat. Bahkan, bapak sendiri lebih percaya padanya ketimbang aku, anaknya sendiri. Satu hari, ia meminta izin untuk meminjam sertifikat tanah sebagai agunan, tanpa pikir panjang, Bapak langsung meminjamkannya. Tanpa ada sedikit pun kata rembug dengan keluarga.
Aku memang mati di hadapan bapak. Pernah sekali kutanya, ke mana ia menjaminkan sertifikat dan di mana dana yang kemudian didapat dari pinjaman tersebut. Pertanyaanku bukan tanpa alasan. Sebab, tak satu pun kegiatan bisnis yang kulihat atau kurasakan hasilnya.
Yang kutakutkan bukan karena tak ada sedikit pun hasil atau dia tak menafkahiku. Yang lebih kutakutkan adalah Bapak dan Ibu harus kehilangan tempat tinggal. Kenyataannya, sudah dua bulan berturut-turut aku dimintai untuk membayar angsuran kredit yang didapatnya.
Bukan hanya itu, yang kusesalkan dan membuatku muak, seluruh perhiasan yang kukumpulkan sejak bekerja di luar, hilang tanpa jejak. Kendati aku tahu siapa pelakunya, aku enggan menanyakannya. Aku tak ingin bermain-main dengan ego dan kekejiannya. Bukan sekali dua kali aku merasakan bogem mentah darinya.
Terakhir, hanya karena sayur yang kurang asin, tanpa pikir panjang ia melepaskan tamparan ke pipiku. Tamparan yang disambut dengan teriakan dan jeritan Ibu yang saat itu melihatnya.
Sejak saat itulah ia jarang pulang. Namun aku sangat bersyukur.
~0~
“Mbak, bapak anfal! Sekarang dibawa ke rumah sakit!” Runi terengah-engah memberitahu. tanpa pikir panjang, aku meraih tasku dan bergegas menuju rumah sakit.
“Bapakmu shock, Nduk.! Ada penagih yang datang ke rumah, Mudji menjaminkan sertifikat itu pada rentenir.”
Ibu bicara dengan lirih di antara isak tangisnya. Aku lemas tak berdaya. Apa yang kukhawatirkan, terbukti sudah. Namun, apa dayaku selain melepas butiran airmata yang tak pernah sanggup kutahan?
“Pulanglah Nduk! Biar adikmu yang gantian nunggu!” kata ibu.
Aku mengangguk, sebab Runi memang sudah datang.
Di perjalanan aku berpikir keras bagaimana menebus sertifikat itu kembali? Sesampainya di rumah, langkahku terhenti di depan pintu. Terdengar suara-suara menggelegar dari dalam. Gun dan Mudji, mereka bertengkar. Namun, dari apa yang kudengar, bukanlah permasalahan bisnis. Melainkan rasa cemburu, pria lain dan uang.
Detik berikutnya aku merasakan mual dan jijik yang teramat sangat. Kiranya, inilah alasan mengapa Mudji tak pernah menyentuhku sejak malam pernikahan, hingga detik ini. Kecuali sentuhan kasar yang membuat lebam muka dan tubuhku.
Ya Tuhan! Jauhkan aku dari azabMu... Kubuka pintu dengan kasar. Kutunjuk muka Mudji dengan penuh kebencian. “Jangan pernah kalian menampakkan muka di hadapanku lagi. Bahkan jejak kakimu akan kucongkel dari rumahku. Keluar!”
Kukunci rapat-rapat pintu rumahku segera setelah mereka beranjak.
Ini harus diakhiri, harus.
~O~
BERSAMBUNG
ilustrasi:www.infodapur.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H