Disusun oleh Kelompok 8:Â
Khalis Yafi Yusticio (1512300185)
Valencia Dina C. S. (1512300175)
Febri Kurniatin A. (1512300192)
Idris Maulana (1512300172)
Setiap momen demokrasi, suara partisipasi masyarakat tentunya menjadi hal penting dalam keberhasilan proses pemilu. Namun, fenomena Golput (Golongan Putih) terus menjadi isu yang menarik perhatian publik setiap tahunnya. Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) mengungkap bahwa pada tahun 2024, hanya sebagian pemilih yang mengeluarkan hak suaranya secara sah. Selain itu, Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang Bernama Denny JA, juga mengungkapkan bahwa angka golput pada Pilkada 2024 di 7 provinsi meningkat (Batampos, 2024). Pada hal ini, Golput sering dianggap sebagai apatisme politik, namun nyatanya dalam perspektif psikologi politik, Golput terjadi karena terdapat beberapa faktor yang memengaruhi. Studi dalam psikologi politik juga menunjukkan bahwa fenomena Golput seringkali berkaitan dengan identitas sosial dan persepsi risiko dalam diri individu.
Pada Psikologi Politik, Golput dapat dijelaskan melalui konsep sosialisasi dan sikap serta perilaku pemilih. Menurut (Mustadin, 2018) memilih merupakan aktivitas yang ditentukan oleh sosialiasi yang diterima tiap individu. Berdasarkan hal tersebut, pendekatan psikologi menekankan tiga aspek utama yang dapat memengaruhi keputusan individu dalam berpolitik, yaitu ikatan emosional pada partai, orientasi isu-isu, dan orientasi pada kandidat.
Sikap politik individu akan terlihat pada saat dewasa, ketika individu telah menghadapi kondisi luar yang dipengaruhi oleh kelompok acuan, organisasi, asoasiasi, dan partai politik. Pada hal ini, sosialisasi membentuk ikatan psikologis yang kuat antara individu dengan organisasi atau partai politik. Ikatan tersebut dapat mewujudkan bentuk identifikasi diri yang kemudian memberikan pengaruh terhadap perilaku individu dalam berpolitik.
Perilaku pemilih (voting behavior) juga dapat digunakan untuk memahami dinamika politik dalam demokasi. Adanya perilaku pemilih, maka individu dapat memprediksi pergeseran dan distribusi suara dalam pemilu. Di Indonesia sendiri, perilaku pemilih sering dipengaruhi oleh aliran politik, seperti aliran sekuler, moderat, dan agama. Pemilih akan cenderung tetap memilih ideologi yang sama walaupun ada pemilih yang beralih pada partai lain (swing voters). Pemilih yang berpindah juga hanya akan beralih pada partai dalam ideologi yang sama. Sedangkan pemilih yang memilih partai berbeda dari sebelumnya, biasanya dikenal sebagai bentuk protes (protes voters) karena situasi politik yang tidak berjalan dengan baik, seperti adanya konflik dalam partai atau ketidak adilan pada partai.
Berdasarkan konsep-konsep berikut, perlu dipahami bahwa beberapa individu berani untuk mengekspresikan politik tanpa memilih siapapun. Hal ini termasuk dalam perilaku tidak memilih (non-voting behavior) yang menekankan dua hal. Pertama, menekankan keputusan individu untuk memilih atau tidak, yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan psikologi, dan sistem pemilu. Kedua, menekankan harapan individu tentang keuntungan atau kerugian apa yang mereka dapatkan atas keputusan mereka untuk mengeluarkan hak suaranya atau justru menjadi bagian dari golput. Pada buku Psikologi Politik yang ditulis oleh Mustadin (2018) terdapat seorang literatur bernama Arbi Sanit (1992) yang mengatakan bahwa golput termasuk dalam gerakan protes politik (protes voters) yang didasari oleh segenap problem kebangsaan. Ketika individu merasa tidak mempunyai pilihan yang sesuai dengan harapan mereka, maka golput menjadi salah satu bentuk ekspresi politik mereka. Sehingga pada hal ini, golput bukan hanya tentang perilaku apatisme, akan tetapi juga reaksi terhadap ketidakpuasan individu kepada sistem atau partai politik yang ada.