Globalisasi dan perkembangan teknologi menjadi sarana para wanita yang terbuka pemikirannya untuk mencurahkan seluruh isi hati dan perlakuan yang cenderung tergenderisasi terhadapnya kedalam ranah publik. Gerakan sosial saat ini cenderung lahir dari penderitaan wanita-wanita yang menjadi korban dari kaum tradisionalis yang masih terperangkap oleh konstruksi masyarakat mengenai sosok “Pria” . Kajian gender dalam dunia studi Hubungan Internasional hadir untuk mengubah konstruksi masyarakat tentang bagaimana sosok “laki-laki” selalu menjadi yang paling dominan, di nomor satukan dan di agung-agung kan dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat. Adanya konstruksi masyarakat yang terbentuk tersebut menjadikannya terus berkembang dan turun temurun dari waktu ke waktu. Hal tersebut sangat merugikan kaum wanita karena konstruksi masyarakat selalu menjadikan wanita tidak kuat. Terlebih lagi, ketika sang wanita hidup dalam lingkup masyarakat yang cenderung tradisionalis. Wanita yang hidup dalam lingkup masyarakat tradisionalis akan kesulitan untuk memberontak dan menyuarakan ketidaksetaraan gender yang dialami olehnya. Arab Spring merupakan salah satu revolusi terbesar yang terjadi di beberapa negara mayoritas muslim di sekitaran Arab. Arab Spring sendiri adalah sebuah gerakan sosial untuk menggulingkan Presiden Mesir yang telah menjabat selama 30 tahun hingga saat itu, Hosni Mubarak. Keditaksetaraan gender yang terjadi di negara-negara Arab sangatlah kental. Bukan menjadi rahasia lagi jika negara-negara arab yang mayoritas muslim masyarakatnya cenderung pro patriarki. Para wanita disana cenderung menghabiskan waktunya setiap hari di dalam rumah sedangkan kaum pria menghabiskan waktunya setiap hari di luar rumah entah itu untuk bekerja ataupun hanya sekedar untuk bermain-main.
Menurut Global Gender Gap Index tahun 2015, tingkat gender gap di Timur Tengah mencapai angka 59% (Bekchouche, 2013). Mesir sendiri berada di urutan posisi 156 dalam hal pemberdayaan politik perempuan. Arab Spring menjadi titik dimana kesetaraan gender kaum wanita terlihat terutama di Mesir. Para kaum wanita dan pria di Mesir bersama-sama berpartisipasi untuk menggulingkan Presiden Mubarak saat itu demi mewujudkan pemerintahan yang sipil (Fidh, 2012). Melalui gerakan sosial “Arab Spring” ini, kaum wanita mulai mengambil peran dan menampakkan kekuatannya di ranah publik. Survey yang dilakukan Gallup sendiri menunjukkan bahwa 30% massa demonstran yang melakukan protes dalam gerakan revolusi Arab Spring di Mesir adalah kaum wanita (Gallup, 2012). Saat gerakan revolusi Arab Spring sedang berlangsung, wanita mengambil beberapa peran yang sangat signifikan. Para wanita turun langsung ke lapangan untuk melakukan demonstrasi dan mereka juga menyuarakan protes melalui media sosial. Hal tersebut sangat jauh lebih maju dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dimana para wanita terasa terkekang tidak bisa menyuarakan apapun. Selain itu, para wanita penduduk Mesir juga berkontribusi seperti menyediakan makanan untuk para demonstaran. Dimana pernyataan tersebut membuktikan adanya kemajuan dalam hal terwujudnya kesetaraan gender di Mesir.
Segala hal yang dilakukan kaum wanita di Mesir melalui gerakan sosial Arab Spring diharapkan dapat mendapatkan membuka mata dan pemikiran khususnya bagi masyarakat Mesir sendiri tentang bagaimana kedudukan dan pentingnya kaum wanita yang setara dengan kaum pria. Namun, dengan terlihatnya kesetaraan gender saat berlangsungnya Arab Spring tidak semata-mata membuat kesetaraan gender terus berlangsung hingga sekarang di Mesir. Di bidang politik misalnya, terbukti dengan adanya penurunan perwakilan dari kaum wanita di Mesir setelah runtuhnya masa pemerintahan Hosni Mubarak. Hasil dari pemilu Mesir menunjukkan jika hanya 9 dari 508 anggota parlemen Mesir adalah perempuan yang setara dengan tidak lebih dari 2% sedangkan pada masa pemerintahan Hosni Mubarak, perwakilan dari kaum wanita di parlemen menyentuh angka 12% (Hareetz, 2012). Arab spring pada nyatanya memberikan dampak tersendiri dalam kesetaraan gender wanita di Mesir. Meskipun tidak secara signifikan, tetapi setidaknya ada kemajuan karena suara para wanita akhirnya di dengar meskipun untuk mencapai dampak yang lebih besar masih membutuhkan waktu lagi. Menurut penulis, adanya dampak Arab Spring terhadap kesetaraan gender wanita di Mesir yang tidak secara signifikan didasari dengan beberapa hal. Diantaranya adalah konsep patrirarki yang masih sangat kental di Mesir sehingga kebanyakan para wanita masih sangat takut untuk terbiasa secara public menungkapkan sesuatu atau hanya sebatas menjadi “Alpha Women”.
Referensi :
Bekchouche, Yasmin. 2013. Top 5 Countries For Gender Equality In The Middle East. [Online] http://weforum.org/top-5-countries-for-gender-equality-in-the-middle-east/.
Fidh. 2012. Women and The Arab Spring: Taking Their Place? 2012, p. 12.
Gallup. 2012. After the Arab Uprising: women on Rights, Religion and Rebuilding. Washington DC : Gallup Inc, 2012.
Hareetz, Hassan. 2012. Islam, SMOs, and the Arab Spring: A new perspective on social movement in the Middle East. 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H