Menjelang pemilihan umum legislatif 9 April dan pemilihan Presiden 9 Juli mendatang, para partai politik yang telah lolos dari seleksi mulai bersolek dengan kata-kata berbalut sandiwara. Dengan berbagai atribut ratusan bahkan milyaran rupiah mereka siap melacurkan diri kepada rakyat dari berbagai kelas dan golongan. Menebarkan gambar wajah ke setiap sudut kota dan desa, ruang publik, dan tidak ketinggalan kediaman kuntilanak (pohon besar).
Pihak pemerintah tidak kalah sibuk dengan kedatangan pesta demokarasi ini. Berkaitan dengan pemillih, pihak yang belum terdaftar wajib melapor ke bagian yang bertanggung jawab terhadap pemilu di daerah masing-masing untuk mendapatkan hak suara. Sedangkan pemilih pemula mendapat sorotan khusus dikarenakan sebagian besar dari mereka belum memiliki banyakwawasan tentang dunia politik dan tokoh-tokohnya, sehingga sangat rentan terjadinya golput.
Bagaimanapun bentuk persiapan partai dan pemerintah, yang pasti agenda setiap 5 tahun sekali ini selalu mengeluarkan dana trilyunan untuk kebutuhan surat suara, kotak suara, alat peraga kampanye yang kesemuanya berakhir menjadi sampah dan hasil dari pemilu bisa juga dikatakan sebagai sampah suara (dapat diketahui setelah pemerintahan berlangsung). Karena siapapun yang telah diberi suara terbanyak oleh rakyat, mereka belum bisa memberikan suara (keberpihakan) mereka kepada rakyat.
Tengok saja pemerintahan yang sekarang, para petinggi dari partainya terbukti korup. Keperpihakan kepada masyarakat cenderung murung, meskipun data dan statistika berteriak dan mengaung tentang kemiskinan di Indonesia telah turun sekian persen, realita berbicara sebaliknya. Pemerintah dalam melihat realita tidak perlu menggunakan kacamata jika mata masih normal, jika dipaksakan, yang ada penglihatan akan semakin kabur.
Berdasar pada pemerintahan hasil pemilu sebelum-sebelumnya, pemilu seharusnya bisa dilaksanakan tanpa melibatkan rakyat, tetapi hanya dilakukan segolongan mereka sendiri. Ini akan menghemat anggaran, dan dana tersebut dapat dialokasikan untuk menghidupi rakyat, bukan menghidupi suara rakyat. Dalam pelajaran SD disebutkan kebutuhan pokok manusia adalah sandang, pangan dan papan, bukan surat suara. Masih sangat banyak saudara-saudara di tanah air yang kesulitan mendapatkan kehidupan yang layak atau sekedar makanan untuk menyambung hidup.
Pengecualian pada partai yang sadar diri bahwa seharusnya apa yang dari rakyat kembalinya kepada rakyat, siistem pemilu seperti sekarang layak dilakukan. Tetapi jika yang diuntungkan hanya segolongan dari partai terpilih, kenapa pemilu tidak dilakukan diantara partai saja ?
Siapapun yang terpilih sebagai presiden RI mendatang, rakyat mendambakan pemimpin yang merakyat, benar-benar berpihak kepada rakyat, jujur dalam realita, tegas dalam keadilan dan kebenaran. Rakyat tidak membutuhkan zombie-zombie khatulistiwa yang hanya berpihak pada kaum penguasa dan pengusaha ternama saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H