Perubahan dari masyarakat berburu dan meramu ke dalam masyarakat agrikultur yang dianggap sebagai awal peyingkiran terhadap perempuan karena lebih membutuhkan tenaga yang lebih besar dan kuat yang dimiliki oleh laki-laki adalah kekeliruan. Narasi yang digiring adalah laki-laki kuat dan perempuan lemah---yang turut melangggengkan stigma dan mengaburkan persoalan yang terjadi. Penyingkiran terhadap perempuan diartikan sebagai kehadiran laki-laki dan perebutan atas ruang produksi. Di mana, semula wilayah bercocok tanam adalah milik perempuan sedangkan laki-laki berada dalam wilayah berburu dan meramu.
Pandangan yang menganggap domestifikasi perempuan terjadi akibat hilangnya akses perempuan atas ruang produksi yang diakibatkan oleh maskulinitas laki-laki, menyebabkan pertanyaan semacam "Mengapa kegiatan ekonomi beralih dari kegiatan komunal menuju kegiatan yang lebih bersifat privat?" atau "Bagaiamana bisa kepemilikan privat dan terkonsentrasinya kekayaan oleh sebagian kelas menyebabkan penyingkiran terhadap perempuan?"
Pertanyaan semacam ini perlu diajukan untuk menemukan akar dari penyingkiran terhadap perempuan. Bukan hanya sekedar melihat bagaimana laki-laki beralih dari sektor perburuan menuju sektor agrikultur. Tidak hanya terjebak dalam doktrin perbedaan alamiah, seperti pendapat George P. Murdock bahwa pembagian kerja antara jenis kelamin terkait dengan perbedaan ideologis: laki-laki kuat, perempuan mengandung.
Pertanyaan semacam itu akan menggiring kita kepada jawaban bahwa kepemilikan privat mengubah pola kegiatan ekonomi kolektif menuju kegiatan ekonomi yang bersifat individual dan ketat persaingan. Persaingan antar kelas untuk mengumpulkan kekayaan menyebabkan pola perburuan dan pertanian berubah. Ia merubah tatanan masyarakat kolektif dan setara.
Bahkan yang lebih signifikan adalah pergeseran pemeliharaan hewan menandai organisasi sosial pertanian.
Untuk menggantikan hortikultur kolektif, hewan-hewan besar dimanfaatkan untuk membajak lebih dalam dan produksi panen yang lebih baik. Rangka hewan lebih efektif untuk proses pengupasan biji-bijian. Dengan penemuan roda, memungkinkan transportasi lebih banyak produk. Agrikultur bajak, dengan kerja individu menusia secara terisolir atau hanya dengan beberapa asisten atau pembantu menggantikan aktivitas kolektif hortikultur perempuan sebagai sumber utama makanan. Dengan begitu tugas perempuan secara bertahap berpindah ke dalam komponen desa atau pemukiman. Pergeseran ini merupakan inti dari subordinasi perempuan .
Sejak 4.500 SM, semua tekanan ini datang secara bersamaan. Agrikultur intensif, baik untuk makanan maupun produk-produ sekunder, semakin bertambah penting. Laki-laki meninggalkna pekerjaan berburu dan terserap dalam tugas-tugas baru pertanian dan pengembalaan. Peralihan tersebut disertai dengan pembagian sosial dan ekonomi yang jauh lebih signifikan disbanding sebelumnya---pemisahan antara kekayaan dan kemiskinan, begitu juga atas kepemilikan tanah .
Peralihan tersebut memiliki konsekunesi tersendiri dalam masalah subordinasi perempuan. Ehreberg menekankan lima faktor signifikan dalam peralihan ini. Satu diantaranya adalah agrikultur bajak peralihan dari sistem hortikultura yang dikembangkan perempuan membutuhkan jauh lebih banyak tenaga kerja untuk melakukan proses produksi. Oleh karenanya, perempuan diperlukan untuk menghasilkan jauh lebih banyak lagi anak-anak pekerja dan ini nampaknya seolah menjadi peranan utama mereka.
Hal ini juga menyebabkan laki-laki dianggap lebih berharga karena berhadapan langsung dengan proses produksi dan menghasilkan kekayaan. Sementara perempuan ditarik dari ranah sosial-produksi dan terisolasi dalam ranah-ranah privat.
Latar belakang historis penyingkiran perempuan bukanlah sekedar dongeng untuk kita ingat dan kita ceritakan dalam buku-buku sejarah saja. Akan tetapi, ia menjadi landasan kuat untuk melakukan pembebasan terhadap perempuan. Pertentangan bukan lagi soal kelaki-lakian atau keperempuanan melainkan berangkat dari hal yang paling mendasar yaitu sistem yang melatar belakangi penindasan itu terjadi.Â