Mohon tunggu...
Syahnanto Noerdin
Syahnanto Noerdin Mohon Tunggu... Jurnalis - Pekerja Media Televisi yang suka jalan-jalan

Nothing special just journalist

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pandemi Covid-19 Bikin Webinar Kian Berkibar

30 Juni 2020   12:00 Diperbarui: 30 Juni 2020   12:22 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Dampak Pandemi Covid-19 yang penyebarannya hampir merata di belahan dunia membuat aktivitas tetap di rumah saja dan berkarya di tengah corona. Termasuk di Indonesia, pemerintah mengimbau perusahaan mengizinkan karyawan bekerja dari rumah alias work from home (WFH). Hal ini dimungkinkan untuk satu atau dua pekan pertama, beraktivitas di rumah bisa jadi menyenangkan. Namun, memasuki 2 pekan dan pekan-pekan selanjutnya diberlakukannya WFH, tentunya lambat laun kita akan merasakan kebosanan dan membuat kita seakan mati kutu karena hanya melakukan rutinitas itu-itu saja di tempat yang sama.

Nah, dalam mengatasi kebosanan itu, dari mulai diberlakukannya Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama pandemi virus corona atau Covid-19, melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru yang diperkirakan berlanjut saat memasuki tatanan kenormalan baru atau new normal. Salah satunya, webinar (web-based seminar) atau seminar berbasis web yang hadir sebagai salah satu solusi di tengah pembatasan sosial.

Popularitas webinar semakin melonjak dalam kurun waktu dua hingga tiga bulan terakhir ini. Hampir setiap hari, berbagai informasi mengenai jadwal webinar, baik yang gratis maupun berbayar, dengan berbagai topik dan narasumber yang menarik.

Banyak ahli dan pakar yang memperkirakan bahkan setelah pandemi ini berakhir, dampak yang ditimbulkan akan terus menghantui khususnya dari sisi pertumbuhan ekonomi. Tentunya, dalam kondisi seperti ini, komunikasi publik menjadi persoalan yang teramat krusial. Utamanya bagi para pengambil kebijakan dan pemegang otoritas.

Bagaimana dalam situasi yang krisis, masyarakat tetap dapat meyakini bahwa mereka tetap terlindungi dan dapat bergantung sepenuhnya kepada pemegang kebijakan atau pemerintah. Inilah perwujudan dari kepercayaan publik (public trust).

Pada kenyataannya, seringkali kegagapan pemerintah dalam mengelola komunikasi publik justru menambah kepanikan masyarakat. Terlebih, di tengah kehadiran media sosial yang semakin marak, hadirnya informasi yang belum jelas validitasnya justru kian memperlebar jarak antara public dengan pemegang otoritas.

Berdasarkan Survei terbaru Imogen Communications Institute (ICI) mengungkapkan, webinar diprediksi tetap menjadi tren di masa new normal, dengan kecenderungan bergerak ke arah konten yang lebih serius dan berbayar.

Melalui keterangan pers ICI, Dari hasil survei kepada 100 orang responden di seluruh Indonesia, sebanyak 56 persen responden menyatakan tertarik mengikuti webinar berbayar. Sementara, 44 persen responden lainnya lebih memilih mengikuti webinar gratis.

"Sebagian besar responden menyatakan tertarik mengikuti webinar berbayar asalkan tanpa syarat-syarat khusus, harganya harus terjangkau serta materinya menarik dan bermanfaat dalam menambah pengetahuan dan skill," ungkap principal ICI dan Managing Director Imogen PR, Jojo S Nugroho.

ICI melakukan survei ini untuk mendapatkan wawasan terkait preferensi masyarakat terhadap serba-serbi penggunaan Zoom sebagai platform seminar dan kelas daring. Survei dilakukan dengan memberikan pertanyaan pilihan ganda seputar serba-serbi penggunaan Zoom kepada target 100 orang dari seluruh Indonesia terdiri atas 61 persen laki-laki dan 39 persen perempuan. Responden didominasi oleh generasi milenial dengan rentang usia antara 26-35 tahun dari latar belakang pendidikan yang beragam.

Menurut Jojo, responden rela mengeluarkan biaya untuk mengikuti webinar berbayar sesuai dengan kemampuan ekonomi dan kebutuhan masing-masing. Sebanyak 60 persen yang menyatakan tertarik mengikuti webinar berbayar, bersedia membayar dengan kisaran antara Rp100.000 hingga Rp 200.000. Sementara, 13 persen responden lainnya bersedia membayar lebih dari Rp 200.000 dan 8 persen bersedia membayar bila harganya kurang dari Rp 100.000.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun