Mohon tunggu...
Inovasi

Mitos Jurnalisme

3 Juni 2016   15:55 Diperbarui: 3 Juni 2016   16:09 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selanjutnya adalah “Mitos Jurnalisme sebagai Pilar Keempat Demokrasi”. Mitos secara etimologi adalah sebuah tipe pembicaraan atau wicara. Mitos adalah sesuatu untuk memahami mitos sebagai suatu objek, konsep atau gagasan. Mitos tidak didefinisikan dan diklaim oleh objek pesannya melainkan didefinisikan oleh cara penyampaian pesan. Wicara dalam jenis ini adalah suatu pesan. Dengan demikian hal ini tidak terbatas pada secara lisan. Mitos adalah suatu sistem yang janggal, karena ia dibentuk dari semiologis.

Konglomerasi media di negeri ini sudah sangat lumrah. Harry Tanoesoedibjo (pendiri Partai Perindo) melalui MNC Group, menaungi RCTI, Global TV, MNC, Koran Sindo, Sindonews.com, Okezone.com, dan beberapa tv kabel. Jakob Oetama (dekat dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) melalui Kompas Group, yang menaungi Kompas.com, Kompas TV, Warta Kota, Berita Kota dan sebagainya. Surya Paloh (Ketua Umum Partai Nasdem) memiliki Media Group dengan anak perusahaan surat kabar Media Indonesia, MetroTV, MetroTVnews.com, Lampung Post, dan sebagainya. Aburizal Bakrie (Ketua Umum Partai Gokar) mempunyai TVOne, ANTV, Viva.co.id. Chairul Tanjung (dekat dengan Partai Demokrat) membawahi TV7, TransTV, Detik.com, dan lain-lain. Indosiar dan SCTV juga dalam satu grup kepemilikan. Selain konglomerasi medianya, keterlibatan dan afiliasi politik mereka juga yang menjadi persoalan besar bagi pengembangan dan perkembangan demokrasi di Indonesia.

Singkat kata, nyaris semua media memiliki afiliasi, hubungan, dan kepentingan dengan partai politik. Dengan begitu, media di Indonesia tidak independen dan tidak bisa menentukan dirinya sendiri sebagai media. Hal ini karena independensi adalah harga mati bagi sebuah media. Dengan berdiri sendiri ia bisa menentukan kebijakan redaksi dan berita secara mandiri tanpa intervensi kepentingan nonmedia.

Di era modern dengan kapitalisme sebagai urat nadi, media dan politik bertemu dengan faktor bisnis. Dengan tuntutan kapitalisme media berubah menjadi industri, menjadi perusahaan yang berorientasi pada keuntungan. Ia bukan lembaga sosial sebagaiman fungsi dasarnya, yakni, menyampaikan berita. Maka lengkaplah penderitaan pers Indonesia ketika media bersinergi dnegan bisnis dan politik. Berita sebagai jantung jurnalisme kehilangan substansinya.

Media hanya bisa menjadi pilar keempat demokrasi jika mengambil jarak dan independen dengan tiga jenis kekuasaan yang terdapat pada lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Keberjarakan dengan politik, ekonomi, dan bisnis serta pemegang kekuasaan akan membuat media berani bersikap kritis. Pers menjadi mitos ketika pers kehilangan makna denotatifnya, yaitu sebagai penyampai informasi dan authormakna bagi khalayak. Pers menjadi mitos ketika ia berada di wilayah konotatif. Pers yang berfungsi sebagai penopang kekuasaan, penghasil bisnis, dan pemuas syahwat politik adalah pers dalam wujud mitos. Ia bukan lagi sebagai pilar keempat demokrasi tetapi pers sebagai penghancur demokrasi.

Buku ini memaparkan beberapa kasus pemberitaan yang merujuk kepada jurnalisme sebagai mitos. Beberapa contoh beritanya :

1. Detik.com dengan judul “AirAsia Ditemukan ; Dugaan Terkuat, Mesin AirAsia QZ8501 Mati Lalu Menghujam ke Laut” (http://news.detik.com/read/2015/01/05/175641/2794531/10/dugaan-terkuat-mesin-ariasia-qz8501-mati-lalu-menghujam-ke-laut?991104topnews)

Operasionalisasi Konsep Semiotika Roland Barthez :

  • Media : www.detik.com Judul Berita ; Dugaan Terkuat, Mesin AirAsia QZ8501 Mati Lalu Menghujam ke Laut
  • Makna Denotatif : dugaan terkuat 1. Hasil dari perbuatan menduga, 2. Sangkaan: perkiraan; taksiran
  • Makna Konotatif/Mitos : Dugaan terkuat adalah kata superlatif dari sebuah komparatif/perbandingan. Ia menjadi sesuatu yang paling di antara yang lain. Tetapi dalam berita ini tidak ada yang menunjukan bahwa mesin mati sebagai yang terkuat karena tidak ada penyebab lain yang dibandingkan. Dugaan terkuat menjadi mitos karena menjadi anggapan tanpa fakta dan verifikasi. Anggapan kian kuat karena ada kata ‘dugaan’ di depan kata ‘terkuat’. Mitos adalah anggapan. Wajar jika berita ini adalah sebuah fakta tentang penyebab hilangnya pesawat AirAsia QZ8501. Detik.com mengambil berita dari situs Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika. Judul ini merupakan bagian kesimpulan analisis BMKG berjudul ‘Analisis Meteorologis Kecelakaan AirAsia QZ8501’ yang dikutip detikcom dari situs BMKG. Padahal yang berwenang dan pakar menyatakan kecelakaan pesawat adalah KNKT (Komite Nasional Kecelakaan Transportasi). Bagaimana mungkin dan sejak kapan BMKG pakar dalam bidang kecelakaan pesawat terbang?

2. Kompas.com dengan judul berita “SBY dan Ibas Disebut Dalang di Balik Pilkada Melalui DPRD” (http://nasional.kompas.com/read/2014/09/28/19080091/sby.dan.ibas.disebut.dalang.di.balik.pilkada.melalui.dprd)

Operasionalisasi Konsep Semiotika Roland Barthez :

  • Media : www.kompas.com Judul Berita ; SBY dan Ibas Disebut Dalang di Balik Pilkada Melalui DPRD
  • Makna Denotatif : tulisan ini ingin menegaskan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono dan Edhi Baskoro (Ibas) sebagai orang yang mengatur semua drama yang ada di perdebatan UU Pilkada melalui DPRD.
  • Makna Konotatif/mitos : seperti makna aslinya dalang adalah penentu segala pertunjukan. Media ini ingin menunjukkan bahwa SBY dan Ibas sebagai pengatur semua aksi walk outFraksi Demokrat dalam rapat paripurnna DPR yang mengesahkan UU Pilkada Tidak Langsung. UU ini mengubah aturan sebelumnya yaitu pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat. Namun, kalau dicermati tidak ada satu kata pun yang menunjukkan SBY dan Ibas sebagai dalang. Hanya ada tuduhan, prediksi, dan dugaan wartawan dan narasumber. Ini sangat berbahaya. Apalagi berita ini tanpa cover both (all) sides. Dengan demikian, dalang adalah mitos dalam berita ini.

Pascareformasi hingga kini, perkembangan jurnalisme kita mengafirmasi satu hal. Bahwa produk jurnalistik adalah mitos, yaitu sesuatu anggapan yang belum tentu benar. Bandingkan dengan jurnalisme sejati yang pasti mengandung kebenaran seperti doktrin Bill Kovach dan Tom Rosentiel. Jurnalisme sebagai mitos bisa didekati melalui teori yang dikemukakan Shoemaker dan Reese ketika membaca media. Ada dua pendekatan, yakni, pasif (yang menempatkan media melaporkan realitas sosial yang sebenarnya) atau positivistik dan aktif (media mengkontruksi peristiwa menjadi realitas media) atau konstruktivis. Bahkan teori Shoemaker dan Reese ini perlu ditambahkan dengan pendekatan interaktif, yaitu sikap kritis untuk mencurigai agenda media dibalik berita. Dengan dua pendekatan aktif dan interaktif ini, media memiliki perspektif sendiri terhadap realitas yang bakal disajikan kepada publik. Inilah yang disebut berita sebagai manipulasi dalam berbagai betuk tergantung jenis medianya. Dengan kata lain, pembaca, pemirsa, dan penonton menginterpretasikan pesan dan makna yang disampaikan media dengan penuh kepentingan, bukan kebenaran. Hal ini terjadi karena produksi pesan dan maknanya pun berbanding lurus dengan penerima dan pembacanya. Media (jurnalisme) memiliki agenda sendiri dan mandiri. Ia tidak berhubungan dengan kepentingan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun