Walaupun sudah tiga tahun bekerja bareng, Arimbi sering lupa siapa Iko sebenarnya. Tahun pertama, mereka saling kenal sebagai pesaing di perusahaan agensi ini, sama-sama bersaing diterima jadi pegawai tetap karena hanya satu yang diambil.
Ketika tidak terduga keduanya diterima, tahun kedua diramaikan dengan rebutan divisi terbaik. Saking sama-sama hebat kualifikasinya, keduanya dimasukkan ke divisi yang sama.
Tahun ketiga agak reda, hanya kadang mereka bergantian menjadi ketua tim. Daniel sang boss sudah mencium kualitas teratas yang dimiliki mereka berdua. Arimbi dan Iko tidak terpisahkan.
Waktu itu, setelah tahun pertama berlalu, Arimbi tidak sengaja berada di rumah makan yang sama dengan Iko. Hanya saja waktu itu Arimbi akan bertemu salah satu klien. Dia sudah datang duluan. Iko datang setelahnya di balik mejanya tapi tidak melihatnya.
"Iko, Papa sudah berkali-kali bilang, kamu langsung ambil alih perusahaan saja, nggak usah kerja sama orang lain," Arimbi mendengar suara berat di meja Iko.
"Pa, bukannya harusnya Papa bangga aku mau coba bekerja sendiri dulu?" suara familiar Iko yang suka protes masuk ke telinga Arimbi dengan jelas. Dia gelisah, kliennya belum juga datang.Â
"Yang penting kamu harus segera punya jodoh, Iko," suara wanita lembut keibuan pasti itu ibunya, Arimbi menebak.
"Untuk apa? Nanti jodoh akan datang sendirinya, Ma."
"Iko, kamu lupa pesan Kakek? Kamu bisa menjadi pemimpin perusahaan kalau sudah menikah!"
"Aku belum punya cewek."