Mohon tunggu...
R.A. Vita Astuti
R.A. Vita Astuti Mohon Tunggu... Dosen - IG @v4vita | @ravita.nat | @svasti.lakshmi

Edukator dan penulis #uajy

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Toxic Positivity vs Pendengar Aktif

28 Juli 2021   09:48 Diperbarui: 28 Juli 2021   10:24 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Vonecia Carswell - unsplash.com

Sebagai awal, kita harus paham dulu apa itu 'toxic positivity' karena frase ini unik, saling berlawanan. Toxic itu maknanya negatif, kok disanding dengan kata positif?

Dari berbagai sumber, saya memilih definisi ini yang paling mewakili: "Toxic positivity is an obsession with positive thinking. It is the belief that people should put a positive spin on all experiences, even those that are profoundly tragic" (sumber: medicalnewstoday).

Terjemahan kasarnya, toxic positivity adalah positif yang beracun, sebuah obsesi yang keterlaluan dengan tujuan berpikir positif, semua harus dilihat secara positif walaupun pada keadaan yang sangat tragis.

Untuk mempermudah pemahaman, contoh adalah yang terbaik. 

Contohnya, bila seseorang mengalami kehilangan orang tua, toxic positivity menuntutnya untuk menutupi kesedihan, menghindari perasaan buruk, berpura-pura senang, tidak mengeluarkan emosi negatif seperti menangis atau murung. Semua dilakukan dengan terpaksa karena terobsesi berpikir positif tadi. 

Karena toxic, dampaknya sangat buruk. Antara lain seperti menyimpan bom di otak yang sewaktu-waktu bisa meledak karena menahan dan menyimpan perasaan buruk yang sebenarnya. Orang itu menjadi tidak jujur pada diri sendiri dan itu tidak bisa bertahan lama. Kelelahan sendiri karena beban itu berat.

Toxic positivity itu tidak jujur.

Tidak jujur pada diri sendiri dan orang lain. Ketidakjujuran umumnya mengarah ke kesalahpahaman. 

Misal, saudara seseorang meninggal dan dia tidak menangis bahkan tersenyum . Dia dianggap tidak begitu kehilangan walau sebenarnya dia sangat sedih - karena bendera positive thinking itu membuat dia menahan diri. Kesalahpahaman menjadikan stigma. 

Stigma tidak sedih itu membuat dia seperti tidak membutuhkan dukungan. Tidak perlu support. Da akhirnya sendirian karena dianggap mampu menghadapi kesedihan. 

Toxic positivity menjadikan orang dianggap kuat, padahal tidak.

Contoh lain toxic positivity dari orang lain adalah kata-kata: tetaplah tersenyum; diambil positifnya; semua ada alasannya; gagal bukan pilihan; ambil bagusnya saja; kamu masih untung; ini bisa lebih buruk lagi.

Semua sepertinya lumrah dan wajar, seharusnya demikian. Tapi dampaknya bisa menjadikan orang tersebut tidak mengenali perasaan dia yang sebenarnya dan tidak pernah bisa menghadapi permasalahan karena menolak dan menghindari terus. 

Toxic positivity seperti lari dari kenyataan. Penghindaran.

Lalu bagaimana seharusnya supaya tidak toxic? Ilustrasi ini semoga membantu.

Sumber scienceofpeople.com
Sumber scienceofpeople.com

Apa yang harus kita lakukan? Jadilah pendengar yang baik. Jadilah support system.

Dari ilustrasi di atas, saya coba jabarkan. Bila ada teman yang mengalami bencana, kita tawarkan bantuan. Tanyakan kabarnya dan beri tanda bahwa kita siap mendengarkan curhatnya. Akui bahwa masalahnya memang berat, walau mungkin bagi kita tidak. Perspektif harus pada teman kita itu.

Beri waktu untuk mendengarkan ceritanya, jangan dipotong dan jangan beri nasehat. Tunjukkan bahwa kita siap membantu dan menemani serta mendengarkan.

Kita atau teman kita yang mengalami bencana berhak untuk jujur pada perasaan negatif tersebut. Sehingga, semua perasaan negatif terungkap dan dibicarakan. Beban menjadi ringan bila diungkapkan dan dengan membicarakannya otak kita akan terhubung dengan solusi-solusi sesuai pengalaman hidup kita sebelumnya.

Kejujuran pasti membuahkan hasil yang baik. Terutama jujur pada diri sendiri.

Laiknya "Too much love will kill you ..." - terlalu positive thinking juga tidak baik.

Salam sehat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun