Toxic positivity menjadikan orang dianggap kuat, padahal tidak.
Contoh lain toxic positivity dari orang lain adalah kata-kata: tetaplah tersenyum; diambil positifnya; semua ada alasannya; gagal bukan pilihan; ambil bagusnya saja; kamu masih untung; ini bisa lebih buruk lagi.
Semua sepertinya lumrah dan wajar, seharusnya demikian. Tapi dampaknya bisa menjadikan orang tersebut tidak mengenali perasaan dia yang sebenarnya dan tidak pernah bisa menghadapi permasalahan karena menolak dan menghindari terus.Â
Toxic positivity seperti lari dari kenyataan. Penghindaran.
Lalu bagaimana seharusnya supaya tidak toxic? Ilustrasi ini semoga membantu.
Apa yang harus kita lakukan? Jadilah pendengar yang baik. Jadilah support system.
Dari ilustrasi di atas, saya coba jabarkan. Bila ada teman yang mengalami bencana, kita tawarkan bantuan. Tanyakan kabarnya dan beri tanda bahwa kita siap mendengarkan curhatnya. Akui bahwa masalahnya memang berat, walau mungkin bagi kita tidak. Perspektif harus pada teman kita itu.
Beri waktu untuk mendengarkan ceritanya, jangan dipotong dan jangan beri nasehat. Tunjukkan bahwa kita siap membantu dan menemani serta mendengarkan.
Kita atau teman kita yang mengalami bencana berhak untuk jujur pada perasaan negatif tersebut. Sehingga, semua perasaan negatif terungkap dan dibicarakan. Beban menjadi ringan bila diungkapkan dan dengan membicarakannya otak kita akan terhubung dengan solusi-solusi sesuai pengalaman hidup kita sebelumnya.
Kejujuran pasti membuahkan hasil yang baik. Terutama jujur pada diri sendiri.