Â
Suara gemuruh mewarnai balai desa. Ratusan warga Desa Tanah Merah memadati ruangan, wajah mereka penuh keresahan. Di depan mereka, duduk tegap para perangkat desa, dipimpin oleh Kades Dono yang tampak gelisah. Agenda hari itu: Musyawarah Desa membahas dugaan maladministrasi yang menyelimuti desa mereka.
Dugaan bermula dari laporan beberapa warga yang melihat kejanggalan dalam penggunaan Dana Desa. Proyek pembangunan jalan desa yang mangkrak, laporan keuangan yang tidak transparan, dan pengangkatan perangkat desa yang diwarnai nepotisme, menjadi daftar panjang keluhan warga.
Pak Tua Cipto, sesepuh desa yang dihormati, bangkit dan melayangkan pertanyaan tajam kepada Kades Dono. "Pak Kades, bagaimana ini bisa terjadi? Dana desa yang seharusnya untuk kemajuan desa, malah diselewengkan untuk kepentingan pribadi?"
Kades Dono tergagap, berusaha menjelaskan duduk perkaranya. Namun, suaranya tenggelam oleh sorak-sorai warga yang tidak percaya.
"Bohong!" teriak seorang ibu. "Kami tidak butuh penjelasan! Kami butuh keadilan!"
Suasana semakin panas. Emosi warga memuncak. Beberapa pemuda mulai maju ke arah meja perangkat desa. Melihat situasi yang tidak terkendali, Pak Tua Cipto segera menenangkan warga.
"Tenanglah, saudara-saudaraku! Mari kita selesaikan ini dengan cara yang baik," ujarnya dengan tegas. "Kita minta Inspektorat Daerah untuk turun tangan dan menyelidiki dugaan maladministrasi ini."
Usulan Pak Tua Cipto disambut antusias oleh warga. Mereka sepakat untuk mengumpulkan bukti-bukti dan melaporkannya kepada Inspektorat Daerah.
Minggu-minggu berikutnya diwarnai ketegangan. Aktivitas desa nyaris lumpuh. Warga diliputi rasa kecewa dan ketidakpercayaan terhadap pemimpin mereka.
Hingga akhirnya, tim Inspektorat Daerah datang ke Desa Tanah Merah. Mereka meneliti dokumen-dokumen desa, mewawancarai warga dan perangkat desa, dan melakukan audit keuangan.
Hasilnya? Dugaan maladministrasi terbukti benar. Kades Dono dan beberapa perangkat desa terbukti telah menyalahgunakan Dana Desa untuk kepentingan pribadi.