Media televisi akan menjadi alat pencitraan para penguasanya, yang pengaruhnya sangat besar dalam pembentukan opini publik. Nyatanya, para pemilik media memiliki kebebasan untuk mengolah peristiwa yang membentuk persepsi publik seperti apa yang diinginkan. Banyaknya pemilik media yang terjun ke ranah politik saat ini, mengakibatkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang orisinil tergadaikan oleh kepentingan mereka membentuk propaganda dimata publik. Hal tersebut dibuktikan dengan terjunnya keempat para pemilik media terbesar di Indonesia ke dunia politik menjelang pemilu 2014, Abu Rizal Bakrie (TVOne), Dahlan Iskan (JawaPOS), Surya Paloh (MetroTV), dan Hary Tanoe (MNCGroup). Sehingga mereka sangat mudah untuk mengkonstruksi berita sedemikian rupa sehingga membentuk opini publik dan mempengaruhi masyarakat untuk memilihnya dalam perhelatan akbar pemilu 2014 mendatang. Tidak hanya mengangkat citra pemilik media, namun media juga menjadi alat propaganda untuk menjatuhkan lawan politiknya. Jika pemilik media tersebut melakukan kesalahan, maka porsi beritanya akan dikurangi bahkan dihilangkan, untuk melindungi namannya. Begitupula sebaliknya, jika lawan politiknya melakukan kesalahan, maka berita yang ditayangkan di medianya, akan mendapatkan porsi yang lebih dengan tujuan agar lawan politiknya mendapatkan citra yang buruk dimata masyarakat. Seperti kita lihat kenyataannya saat ini. Di Metro TV pasti tidak akan memberitakan tentang keburukan tentang partai Nasdem, namun jika tentang kasus lumpur Lapindo maka hal tersebut akan dibesar-besarkan. Begitupun sebaliknya, di TV One porsi tentang pemberitaan lumpur Lapindo pasti sangat sedikit, itupun hanya menyangkut hal-hal positif saja. Sementara segala tindak tanduk posistif Abu Rizal Bakrie sebagai calon presiden 2014 akan sangat dielu-elukan. Jika menyangkut berita tentang lawan politiknya maka akan medapatkan porsi yang lebih khususnya tentang hal-hal yang bisa menurunkan citra lawan poltiknya. Mengutip kata McQuail (2002), Ketika seorang bos media masuk politik, maka tidak jarang akhirnya mereka dipaksa menciptakan agenda terselubung dan mengonstruksi kehendaknya dalam bingkai kerja jurnalisme. Hal ini membuat jurnalis tidak bisa berbuat banyak dan cendeung pasrah dan menerima apa yang diinginkan atasannya. Dinamika politik menjelang pemilu 2014 pun kian meningkat. Media memiliki andil besar terhadap perkembangan situasi politik saat ini. Media juga menjadi satu-satunya alat propaganda yang strategis bagi kepentingan modal pemiliknya terutama yang memiliki afiliasi dengan partai politik tertentu. Nuansa kompetisi pemunculan para tokoh politik mulai tercermin di berbagai pemberitaan media televisi. Pertarungan wacana politik di berbagai media televisi belakangan ini merupakan fenomena bahwa “arena pertarungan politik pencitraan politisi mulai bermunculan”di media televisi. Melihat fenomena persekutuan kepemilikan media antara pemodal dan kepentingan partai politik menjelang pesta demokrasi 2014, saat ini media dijadikan ruang untuk melakukan kompetisi pencitraan baik partai politik maupun figur parpol dalam pesta demokrasi 2014 ataupun pemilihan kepala daerah. Sejauh ini, kepentingan politik Nasdem, Golkar dan Hanura yang memiliki basis dukungan media terbesar memperlihatkan peningkatan elektabilitasnya. Sementara partai politik yang tidak memiliki basis dukungan media kuat, hanya memanfaatkan momentum politik saja, pun demikian dengan media yang tidak memiliki afiliasi dengan partai politik terus merangkak memberikan informasi secara edukatif dan berimbang ditengah gerusan dan agresifnya kepentingan politik dan modal. Yanna Uzlifa I Staff Kajian Strategis BEM UNS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H