Lima tahun sudah kembali kita lewati. Tanpa terasa bangsa kita sudah kembali memasuki masa dimana rakyat Indonesia memilih wakilnya yang akan duduk dalam lembaga legislatif. Sebuah momen yang biasa disebut sebagai Pesta Demokrasi. Jika ditarik kembali ke belakang, setiap lima tahun kita seperti mengalami de ja vu sebuah peristiwa pengulangan dari peristiwa sebelumnya. Kita akan ingat masa lima tahun sebelumnya pada momen yang sama, ketika para calon anggota legislatif berorasi, memberi janji-janji dan lain sebagainya demi menarik minat rakyat untuk memilihnya. Lewat sebuah kendaraan bernama Partai Politik, para Calon Legislatif (Caleg) berlomba-lomba menarik simpati rakyat dengan cara dan strateginya masing-masing.
Sejak peristiwa reformasi, sudah tiga kali diadakan Pemilu yang notabene adalah proses pemilu paling demokratis yang pernah diselenggarakan Negara Indonesia setelah sekian lama dikuasai oleh orde baru. Diharapkan dengan adanya reformasi akan menciptakan sebuah sistem pemerintahan baru yang lebih baik dan bisa mensejahterakan rakyat Indonesia sesuai dengan cita-cita pendahulu kita.
Namun yang kita tahu adalah sebuah kondisi yang semakin memprihatinkan. Sebuah kondisi bangsa yang jauh dari yang dicita-citakan. Jauh dari semangat reformasi itu sendiri. Setelah sekian lama, setiap kali digelar pemilihan umum terbukti tidak menciptakan pemimpin-pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang kompeten dan berkualitas. Tidak ada wakil rakyat yang benar-benar mewakili dan bekerja untuk rakyatnya. Terbukti dengan banyaknya kasus-kasus yang menjerat para pejabat publik kita. Dari kasus korupsi yang semakin menjadi hingga kasus yang sangat tidak pantas dan memalukan, yaitu kasus asusila yang dilakukan oleh mereka. Pemilu-pemilu yang hanya menciptakan pemalas-pemalas yang tidak mau memikirkan nasib rakyat, yang suka bolos dalam rapat paripurna atau tidur bahkan menonton video mesum dalam ruang rapat. Sungguh ironis.
Permasalahan-permasalahan mendasar dari bangsa ini yang sudah sangat mendesak untuk segera diselesaikan malah semakin terbengkalai. Masalah ekonomi, harga-harga melonjak tajam sementara penghasilan rata-rata penduduk Indonesia masih di bawah standar hidup layak dan sulitnya mencari lapangan kerja. Ditambah lagi dengan keputusan pemerintah yang menaikkan harga BBM semakin memberatkan rakyat.
Padahal, masalah ekonomi adalah hal dasar yang harus segera diselesaikan. Dengan ekonomi yang buruk, akan menciptakan sebuah kondisi dalam masyarakat yang tidak sehat. Tingkat kejahatan yang semakin meningkat juga salah satunya adalah dampak dari permasalahan ekonomi.
Permasalahan ekonomi tidak terlepas dari masalah sumber daya manusia (SDM). Pendidikan yang mahal dan kurang berkualitas serta suka gonta-ganti kurikulum akan menciptakan manusia-manusia yang berkualitas SDM rendah. Sekarang ini masih banyak anak-anak yang putus sekolah dan banyak pula yang benar-benar tidak bisa mengenyam pendidikan sesuai standar. Serta pemerataan pendidikan yang belum seimbang sampai pelosok-pelosok. Banyak instrument-instrumen pendidikan seperti gedung-gedung sekolah serta akses jalan yang berada dalam kondisi memprihatinkan.
Dengan kondisi seperti itu sangat mustahil kita bisa menciptakan generasi-generasi yang berkualitas. Ditambah lagi dengan semakin parahnya kenakalan-kenakalan remaja yang belakangan ini marak terjadi. Yang paling meprihatinkan adalah maraknya perilaku-perilaku asusila yang dilakukan oleh para remaja sekolah. Dan banyak dari kejadian itu terjadi berlatar belakang sekolah itu sendiri alias dilakukan di dalam lingkungan sekolah! Ini menunjukkan semakin merosotnya kualitas moral dari remaja-remaja kita. Generasi penerus bangsa, bibit-bibit yang nantinya akan menjadi besar dan akan menentukan merah hijaunya bangsa ini.
Kejadian yang masih hangat yaitu tentang pembunuhan yang dilakukan oleh dua orang remaja terhadap temannya sendiri. Dan hampir berbarengan dengan peristiwa tersebut, kita dikejutkan oleh berita tentang pengeroyokan yang dilakukan sekelompok remaja usia sekolah terhadap mantan pacarnya sendiri hingga tewas.
Itu hanyalah segelintir contoh akibat dari degradasi moral remaja kita saat ini. Masih banyak kasus-kasus lain yang bisa membuat kita mengelus dada.
Budaya free sex seolah-olah sekarang ini adalah sebuah hal yang umum dilakukan oleh para remaja. Dan para orangtua seakan-akan menutup mata dari hal tersebut.
Dan masih banyak lagi masalah-masalah pokok yang harus segera diselesaikan. Seperti masalah jaminan kesehatan yang belum bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Serta berbagai permasalahan lain yang tak kalah mendesak untuk segera diselesaikan.
Dari hal-hal tersebut, terbukti bahwa wakil rakyat yang kita pilih selama 3 periode ini belum mewakili aspirasi dari rakyatnya. Belum bisa memberikan perubahan positif apapun. Permasalahan-permasalahan yang ada bukannya menjadi lebih baik, kenyataannya malah semakin parah.
Partai Politik
Demokrasi tidak bisa dilepaskan dari partai politik. Menurut situs Wikipedia Ensiklopedia Bebas,partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.
Bisa dikatakan, bahwa parpol adalah sebuah sarana atau kendaraan yang digunakan oleh seseorang untuk mencapai tujuan politiknya. Partai politik terdiri dari sekelompok orang yang memiliki visi dan misi yang sama yang berjuang bersama-sama di dalam satu wadah.
Pada sebuah momen, para parpol ini berjuang untuk menempatkan seseorang pada suatu posisi publik baik sebagai pejabat legislative maupun sebagai kepala daerah atau bahkan pejabat dan kepala dalam struktur pemerintahan pusat. Yang nantinya setelah terpilih diharapkan bisa menjadi pemimpin atau seseorang yang mewakili rakyatnya di parlemen untuk ikut menentukan arah suatu bangsa atau Negara. Untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi dari rakyat kepada pemerintah.
Namun pada prakteknya, seringkali para wakil rakyat tersebut masih terkotak-kotak oleh partai politik mereka masing-masing. Dalam membuat keputusan, seringkali masih mementingkan kelompoknya sendiri. Dengan kata lain tidak adanya kerjasama yang sehat di antara fraksi-fraksi tersebut.
Seharusnya, seorang pemimpin atau anggota dewan dalam membuat sebuah keputusan harus benar-benar diperjuangkan sesuai dengan hati nuraninya. Tidak boleh ada bayang-bayang kepentingan kelompok atau golongan apapun dalam pengambilan sebuah keputusan. Sehingga seringkali banyak permasalahan yang diputuskan tidak benar-benar sesuai dengan kebutuhan rakyatnya. Kepentingan-kepentingan politik, seperti pencitraan dan lain sebagainya seharusnya bisa dibuang jauh.
Ini dikarenakan, selama menjabat sebagai pejabat publik, pejabat tersebut masih berstatus sebagai anggota partai politik tertentu. Sehingga bisa dikatakan tidak bisa independent dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai pemimpin atau wakil rakyat.
Padahal semestinya, partai politik bersifat sebagai kendaraan politik untuk mencapai tujuan politiknya. Logikanya, seperti orang naik kendaraan umum menuju suatu tempat tujuan. Jika seseorang itu telah sampai di tempat tujuan, bukankah ia semestinya turun dari kendaraan tersebut? Dan sesampainya di tempat tujuan tersebut bukankah ia bisa berbuat apa saja tanpa harus memikirkan sopir dan kendaraannya?
Pesta demokrasi atau pemilu bukanlah sebuah ajang atau kontes untuk bagi-bagi kekuasaan dan jabatan. Pemilu adalah sebuah peristiwa sakral yang semestinya menjadi tonggak perubahan bagi suatu bangsa. Dewasa ini pemilu seperti bergeser maknanya. Saat ini semakin banyak orang dari berbagai kalangan berbondong-bondong mendaftarkan dirinya menjadi calon wakil rakyat. Dari mulai pedagang, pengusaha, pegawai hingga artis beramai-ramai mencalonkan diri. Padahal untuk menjadi seorang pemimpin atau wakil rakyat itu bukan hal sembarangan yang bisa setiap orang mampu menjalankan tugas dan amanah besar itu.
Sekarang ini bisa dikatakan bahwa syarat utama seseorang untuk bisa mencalonkan diri adalah uang. Siapapun yang memiliki uang banyak yang bisa membiayai proses pencalonan, maka sah-sah saja dia mencalonkan dirinya. Padahal secara kapasitas, seseorang tersebut tidak memungkinkan untuk menjabat sebagai pemimpin suatu daerah atau menjadi wakil rakyat.
Kecenderungan saat ini semakin menguatkan opini publik bahwa partai politik hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Perekrutan-perekrutan kader partai yang dilakukan secara instan dengan merekrut orang-orang yang telah menjadi publik figur dengan tujuan diharapkan bisa meraup suara yang banyak atau mereka yang memiliki kekayaan yang sangat besar sehingga bisa menyokong biaya politiknya sendiri dan memiliki pengaruh di suatu daerah, sedangkan mereka tidak memiliki pengalaman politik atau organisasi apapun.
Sedangkan untuk menjadi seorang pemimpin atau wakil rakyat, yang dibutuhkan adalah orang-orang yang benar-benar berjiwa pemimpin. Yang berjiwa besar yang mampu mengabaikan kepentingan pribadi dan atau kelompoknya demi kepentingan rakyat semata. Orang-orang yang berani memanggul beban yang sedemikian besar dan mengemban amanah rakyat.
Kita tidak membutuhkan orang-orang yang hanya menjadi budak partai. Yang bisa disuruh-suruh demi kepentingan partainya. Kita tidak membutuhkan orang-orang yang lebih mementingkan dan mendengarkan suara partai daripada suara rakyatnya. Kita membutuhkan seorang pemimpin yang merdeka dari berbagai macam kepentingan dan ego-ego pribadi.
Semoga pemilu kali ini kita benar-benar akan mendapatkan seorang pemimpin dan wakil rakyat yang benar-benar bekerja untuk rakyat, murni mewakili rakyat, bukan mewakili partai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H