Terbayanglah Nietzsche, si pemikir kontroversial bangkit dari kuburnya di era yang serba virtual. Ia pasti akan terperangah, melihat bagaimana manusia-manusia modern menderita 'sindrom perbandingan' yang lebih parah daripada gangguan kepribadian ganda yang menjalar di tengah kaum mendang-mending. Kita mengukur eksistensi dengan jumlah tanda jempol di layar kecil, bukan lagi dengan prestasi atau kedalaman jiwa, tak ada makna yang mendasari. "Tak perlu introspeksi", kita berkata, sambil berlomba memajang kesempurnaan. Apa itu simpati? Untuk apa dipikir dua kali? Tidak ada waktu untuk hal-hal itu ketika ada potensi viral di ujung jari. Banyak hal yang sudah tergerus pada jurang kenihilan yang kita sendiri menafikan.
Dulunya dikenal sebagai proses healing, kini diringkas menjadi "Bali" --- sepertinya segala kesakitan akan terobati dengan sekali perjalanan untuk pelarian dari kewajiban. Sikap egois yang disarukan dengan diberi bungkus kata "self love". Batas moral yang dulu kita junjung tinggi, dirobohkan oleh slogan "open minded" yang kita ulang-ulang seperti mantra untuk membungkam kontra. Siapa peduli dengan etika? Pokoknya zodiak gemini layak untuk dijadikan public enemy! Seakan-akan horoskop bisa lebih dipercaya daripada ilmu psikologi.
Mengenai meditasi dan yoga, siapa peduli dengan pemahaman akan penerimaan? Yang penting kelihatan hype dan ikut tren. Kita sebarkan video meditasi dengan caption filosofis, tapi apakah kita benar-benar mengamalkan esensinya? Untuk apa dipikirkan, yang penting kan kelihatan si paling mindfulness. Dalam setiap kutipan motivasi pun, kita menggaungkan tentang makna hidup, tapi tak jelas apa yang sebenarnya dicari dalam hidup yang kita sendiri jalani.
Lebih dari itu semua, ketidakbermaknaan ini sudah menjalar pada ruang-ruang prifat, yaitu keagaaman, ruang yang seharusnya bebas dari ke-riya-an. Seakan keimanan bukan lagi bersandar pada ke-Ilahi-an. Tanpa sadar kita sudah menafikan Tuhan dalam setiap ibadah yang dilakoni setiap hari, menyingkirkan-Nya di setiap ritual yang seharusnya menjadi wujud penghambaan itu sendiri. Tempat suci pun tak luput dari pergeseran ini. Dulunya tempat untuk intim bersama Tuhan, kini sekedar menjadi wahana 'swafoto keagamaan' yang menunjukan ke-shalih-an untuk 24 jam kedepan. Kita beribadah sambil merenung, "apakah caption ini akan mendapat banyak like?" Kehadiran Tuhan tereduksi dalam satu klik 'share', seolah-olah kita lebih tahu mana yang Tuhan sukai.
Hilangnya nilai dari sebuah religiusitas ini dibuktikan dengan seringnya kita menyaksikan di genggaman sendiri, bagaimana agama dan keyakinan berubah menjadi konsumsi instan yang melahirkan label "Dajjal" untuk oposisi dan "Mahdi" bagi yang didukung kelompoknya sendiri. Bukankah agama seharusnya lebih dari sekadar tagar di media sosial atau sebuah pawai meriah di tengah kota besar?
Akankah Nietzsche tersenyum sinis, ketika melihat bagaimana agama dan spiritualitas diubah menjadi 'fast food' rohaniah? Mungkin ia pun akan tertawa getir sambil mengangkat alis, jika melihat notifikasi dari aplikasi religi di smartphone seseorang yang sedang menggibahkan temannya sendiri.
Barangkali, ia mungkin akan berbisik, "Mereka yang mengklaim mencari Tuhan, sebenarnya sedang bermain TikTok dengan-Nya" lalu berteriak dengan bangga:
"Ha Ha, Tuhan Mati, dan Kalian Sendirilah Yang Membunuh-Nya!"
SEKIAN.