Sebuah apresiasi dari Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) patut disampaikan kepada harian Bernas yang untuk kali pertama menjadikan momentum pengangkatan Rektor UWMYyang baru untuk periode 2011-2015 sebagai tajuk rencana (Harian Bernas, 8/7/2011). Sebuah tajuk media, tentu mewakili cara pandang, kegelisahan dan harapan publik terhadap UWMY khususnya dan secara tidak langsung juga kepada perguruan tinggi swasta (PTS) untuk level universitas lainnya di Yogyakarta. Tajuk itu menyitir pentingnya pencapaian visi kelembagaandengan menjalankan misinya yang membutuhkan komitmen, inovasi, kerjasama dan kerja keras di bawah tanggung jawab kepemimpinan Rektorat dan pengurus Yayasan atau badan penyelenggara universitas.
Tajuk itu menarikuntuk didiskusikan lebih tajam, terkait beberapa permasalahan utama UWMY serta alternative strategis mengatasinya untuk menuju penyingkiran titik nadir. Mendiskusikan kelembagaan perguruan tinggi swasta serta alternative strategisnya, tentu sebagai bagian dari tanggungjawab moral kepada publik sekaligus mencoba menggugah kesadaran baru berbagai pemangku-kepentingan (stakeholders) yang mengalami kebuntuan dialog. Oleh karena itu, permasalahan UWMY serta alternative strategis, barangkali dapat juga menjadi bagian yang mengena untuk beberapa perguruan tinggi swasta (universitas) lainnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan memperhatikan beberapa kesamaan pola permasalahan utama universitas PTS di DIY. Keberadaan universitas PTS di DIY (Tahun 2010) berjumlah 18 Universitas , dengan 281 program studi dan 89.502 mahasiswa. Diantara jumlah itu,beberapa universitas PTS, berkembang amat pesat namun beberapa universitas lainnya belum dapat berkembang dengan baik, khususnya dilihat dari jumlah program studi yang cenderung berkorelasi dengan jumlahmahasiswa, sabagaimana pada table di bawah ini. Rendahnya jumlah program studi yang diminati masyarakat menyebabkan sedikitnya jumlah mahasiswa untuk memilih program studi tersebut pada universitas tertentu.
Beberapa kesamaan pola permasalahan utama universitas PTS DIY yang belum mampu berkembang baik dimaksud, antara lain:Pertama, ketiadaan perencanaan strategis pengembangan atau Rencana Induk Pengembangan (RIP) lembaga, “road map” dan “exit strategic” pencapaian maupun ketiadaan RENOP (Rencana Operasional) yang mengakibatkan kebijakan lembaga tanpa arah dan tanpa target, kini dan masa depannya. Kedua, eksistensilegilitas dari pemerintah yang kadaluwarsa, baik status universitas maupun status program studi yang berimplikasi ilegalitas penyelenggaraan pendidikan, termasuk mengeluarkan ijazah. Ketiga, pemenuhan sarana prasarana lembaga yang semakin tertinggal dari kebutuhan standar operasional Tri Dharma Perguruan Tinggi. Akibatnya, pelayanan kepada mahasiswa dan masyarakat semakin rendah serta output lembaga yang semakin tidak memperoleh apresiasi dari masyarakat. Keempat, ketidak-mampuan menghadirkan program-program studi baru maupun peningkatan strata (S2/S3) yang seharusnya merupakan jawaban atas dinamika keberagaman kebutuhan perubahan sosialmaupun industri. Kelima, mengalami penurunan jumlah mahasiswa aktif yang hanya berkisar kurang dari 5.000. mahasiswa dan tersebar fluktuatifpada berbagai program studi, sehingga sumber dana dari mahasiswa amat terbatas, baik untuk operasionalisasi apalagi untuk pengembangan universitas. Kisaran jumlah mahasiswa demikian, hanya bisa untuk survival dalam kesulitan.Keenam, adanya “trend” kemunduran rasio dosen maupun karyawan dengan jumlah mahasiswa sehingga, beban biaya operasional untuk dosen maupun karyawan, tidak sebanding dengan jumlah dana yang diterima dari mahasiswa. Akibatnya, biaya pengembangan SDM kelembagaan berada dalam posisi stagnan. Ketujuh, lemahnya sinergisitas kinerja kepemimpinan universitas dengan kinerja pengurus yayasan yang seharusnya memiliki hubungan progresivitas simetris. Progresivitas kinerja yang rendah oleh pengurus yayasan misalnya, akan melemahkan juga kinerja kepemimpinan rektorat. Demikian sebaliknya, sehingga tidak ada output kelembagaan yang bisa diandalkan. Kedelapan, nilai akreditasi pada beberapa program studi yang hanya bisa memperoleh kategoriC dari BAN (Badan Akreditasi Negara)- Ditjen Kementerian Diknas. Nilai akreditasi perguruan merupakan tingkatan performance kelembagaan secara menyeluruh, baik konteks input, proses dan ouput, sehingga memberikan informasi kepada masyarakat kelayakan sebuah kelembagaan program studi. Nilai akreditasi C, tentunya membangun persepsi masyarakat, bukanlah kelembagaan yang pantas untuk merangkai cita-cita masa depannya.
Tipekal Akar Permasalahan
UWMY yang hampir berusia tiga puluh tahun ini, didirikan oleh tokoh besar, Sri Sultan HB IX (alm) dan KGPH Mangkubumi (Kini, Sri Sultan HB X) dan dengan visi besar. Pendirian UWMY dan visinya bukanlah sebuah kebetulan tetapi refleksi intelektual mendalam dan kegelisahan akan masa depan bangsa menurut perspektif Sri SultanHB IXsaat itu yang kemudian beliau mewacanakan dalam visi UWMY bahwa pendidikan merupakan bagian kebudayaan. Belakangan visi tersebut oleh sebuah tim dikembangkan menjadi visi rumusan baru yaitu, “mewujudkankepemimpinan yang berintegritas danberkompetisi dalam Tri Dharma Perguruan Tinggiyang berbasis dinamika kebudayaan dan berorientasiglobal”. Pengembangan visi tersebut, disamping mempertajam kontekstual wacana visi awal untuk menjawab persoalan kebangsaan, juga sekaligus berkaitan dengan persoalan di universitasdalam kurun waktu hampir tiga dekade ini, yaitu kebutuhan kepemimpinan yang berintegritas dan memiliki sikap kompetitif dengan perspektif dinamika kebudayaan dan globalisasi.
Visi besar pada lembaga apa pun tidak dengan sendirinya mampu diwujudkan tanpa ada upaya besar secara sungguh-sungguh yang dibarengi pengelolaan besar secara profesionalitas dalam menjalankan misi besarnya sebagai konsekuensi dari perumusan visi besar. Perwujudan kemauan dan kemampuan dalam upaya besar menjalankan misi yang sungguh-sungguh dan professional yaitu lahirnya RIP. RIP merupakan dokumen strategis sebagai gambaran detail terukur masa akan datang dengan pertimbangan faktor-faktor kelemahan maupun kekuatan universitas dan peluang maupun ancaman terhadap lembaga. Tentu saja, gambaran itu harus berdasarkan pada akurasi informasi/ data yang tinggi, baik dari sumber internal maupun eksternal. RIP juga, merupakan uraian langkah-langkah strategis yang saling terkait dan mematok indikator pencapaian maupun potensi hambatan dari berbagai aspek pokok dan penunjang. Mulai dari aspek sumber daya manusia, sarana prasarana, kemahasiswaan, kealumnian, keuangan, penataan kelembagaan akademik hingga penggalian potensi sinergisitas dengan beberapa pemangku-kepentingan eksternal. RIP, sesungguhnya juga memuat desain interaksi dan komunikasi, baik internal universitas berbagai unit kerja maupun eksternal antara universitas dengan berbagai pihak terkait dengan muatan yang terarah.
Kerangka koseptual RIP di atas, sangat nyata untuk memberikan arah,kendali, target dan kehati-hatian serta perkiraan dampak dalam pembuatan kebijakan operasional maupun pengembangan universitas, guna mencapai visi. Dan kerangka RIP tersebut juga sekaligus, memberikan pesan bahwa betapa dengan ketiadaan RIP universitas bagai tumpukan ilusi-ilusi yang tak berujung atau bahkan perumusan visi misi yang tidak bermakna. Kegagalan memiliki RIP dan RENOP universitas melahirkan performance kuantitas dan kualitas mahasiswa yang rendah, sumber dana maupun sarana prasana yang lemah. Dan tentu, juga berdampak pada lemahnya pengelolaan sumber daya manusia untuk menjalankan roda organisasi akademis maupun penunjang universitas.
Tentu saja, apabila RIP dan RENOP dilahirkan maka pimpinan rektorat dan yayasan akan memiliki kewajiban yang terukur untuk merubah dan memajukan universitas. Kewajiban itu tentu, akan meminta waktu, tenaga, perhatian, kerja keras, kerja cerdas, komitmen, dan integritas yang besar. Kewajiban inilah yang boleh jadi merupakan “beban” luar biasa sehingga tidak dengan sendirinya aktor-aktor utama universitas dan yayasan bersedia memikul kewajiban tersebut. Apalagi bila “beban” kewajiban tersebut, disandingkan dengan hak-hak atau rewardnya yang tidak lebih baik, dari konsekuensi kewajiban yang lain.
UWMY dalam 15 tahun terakhir berjalan seperti tanpa kompas karena ketiadaan RIP dan RENOP. Padahal RIP hingga RENOP yang baik merupakan sertifikat garanti perubahan dan kemajuan kelembagaan. Meski pun RIP hingga RENOP dapat mengalami titik krusial, manakala adanya kelemahan pembuatan RIP yang tidak berbasis data mutakhir atau karena perubahan kondisi eksternal yang tidak diakamodir oleh RIP. Dengan ketiadaan demikian, maka mudah dipahami, bila kebijakan pengelolaan universitas, lebih diwarnai spontanitas, reaktif, sporadis, tanpa arah dan tanpa target bahkan kerap terjebak pada aras kebijakan “like and dislike”.
Ketiadaan RIP hingga RENOP demikian berimplikasi besar terhadap ketidak-jelasan standar monitoring dan evaluasi untuk mengetahui yang bisa dicapai dan belum dicapai oleh universitas. Lalu, menjadi tidak mampu mengidentifikasi perihal faktor penghambat dan faktor pendorong dalam suatu pencapaian atau kegagalan. Kemudian, menjadi gelap juga untuk mengidentifikasi ulang kekuatan dan kelemahan universitas. Manakala universitas kehilangan semua identifikasi itu, makauniversitas hanya bisa merasakan ada permasalahan tetapi tidak mampu mengenali dengan baik dan menguraikan dengan tepat permasalahan, apalagi untuk menyelesaikan dengan baik dan tepat.
Komitmen dan pelaksanaan pembuatan RIP hinggal RENOP, terletak pada pimpinan dan team-work universitas serta pengurus yayasan. Dalam tajuk harian Bernas menyebutkan sederet pimpinan UWMY yang memiliki gelar danjenjang akademik terbaik. UWMY tidak tanggung-tanggungdalam 15 tahun terakhir telah dipimpin oleh2 profesor dan 2 doktor. Namun kemampuan dan penghargaan tertinggi dalam gelar dan keilmuan akademik, ternyata tidak selamanya berkorelasi terhadap komitmen dan pelaksanaan pembuatan RIP hingga RENOP. Boleh jadi yang bersangkutan belum memiliki pengalaman dalam kapasitas dan sensivitas manajerial universitas. Bahkan, boleh jadi juga kepiawaian keilmuan yang bersangkutan, sama-sekali tidak bersentuhan dengan kebutuhan kapasitas manajerial universitas. Dan tentu, hal rasional bila yang bersangkutan, harus menepis kewajiban “beban” RIP hingga RENOP dengan alasan kewajiban di luar universitas sudah menumpuk sekaligus lebih menyamankan.
UWMY pada era tahun1993 sampai dengan 1999, pernah memiliki kepemimpinan rektorat yang dari segi keilmuan terkait bidang pengembangan organisasi dan manajemen disertai pengalaman mengelola unit kelembagaan universitas. Pada era tersebut sangat komitmen memiliki RIP dan RENOP yang dalam pembuatannya melibatkan seluruh unit kerja universitas. Universitas pada era tersebut dengan nyata merasakan perbandingan perubahan dari era sebelum dan sesudahnya. Pada era tersebut, seluruh unit kerja universitas memiliki sikap optimistik sehingga mendorong etos kerja lebih baik, sebagai refleksi dari gambaran RIP yang menjadi keputusan universitas bersamayayasan.
Pada era tersebut, komitmen dan membuat RIP dan RENOP berjalan seiring dengan yayasan. Yayasan pun dapat mengontrol kebijakan universitas pada berbagai aspek sesuai acuan RIP yang telah dibuat bersama. Disinilah keberadaan yayasan menunjukkan perannya secara proporsional, sehingga pengurus yayasan, tidak dipersepsi“trouble maker” oleh pengelola universitas terhadap kebijakan dan aktivitas universitas. Bahkan sebaliknya, menjadi mitra strategis sesuai dengan peran yang digariskan dalam statuta. Persepsi “trouble maker” ini sangat potensial mengingat, secara struktural yayasan berada lebih tinggi dari universitas dengan sejumlah peran strategis.
Peran strategis yayasan setiap kelembagaan pendidikan tinggi, tentu memiliki perbedaan-perbedaan nuansa. Namun dalam tugas pokoknya memiliki kemiripan yaitu, selain memiliki peran memilih, mengangkat dan memberhentikan pimpinan universitas, juga berperan strategis dalam pengelolaan dan pengembangan bidang keuangan, pengawasan, penelitian dan pengembangan, penyediaan sarana prasarana serta akses kerjasama strategis dengan berbagai pihak eksternal.
Dalam realitasnya, menjalankan peran strategis tersebut, tidak memiliki dukungan sumber daya manusia yang professional dan tidak memiliki data dan infomasi yang akurat. Ada kesan kuat, bahwa operasional peran strategis yayasan, dipersepsi bukan dalam rangkaian kerja harian. Hal ini yang menyebabkan, perkembangan realitas universitas lebih laju dari perhatian maupun kebijakan yayasan. Hal ini yang acapkali, setiap ada rencana kebijakan atau penyelesaian permasalahan universitas yang memerlukan peran yayasan, sangat lambat untuk memperoleh eksekusi. Disinilah hilangnya idealitas mitra strategis antara universitas dan yayasan. Hubungan kinerja progresivitas simetris antara universitas dan yayasan belum menjadi kenyataan.
Alternatif Strategis Perubahan
UWMY dan beberapa universitas PTS di DIY lainnya, berdasarkan kesamanaan pola permasalahan, kini masih terseok-seok mengejar perkembangan universitas kompetitor di dalam dan di luar DIY, dalam menghadapi kecepatan dinamika masyarakat, perubahan kebijakan akreditas dari pemerintah yang semakin rigit dan factual,maupun terhadap laju peningkatan standarisasi pemanfaat lulusan perguruan tinggi. Tentu saja,beberapa kesamaan pola permasalahan, tidak dengan sendirinya memiliki kesamaan akar permasalahan sebagaimana yang dialami UWMY.Namun, setidaknya bisa dijadikan “prototype” akar permasalahan yang memerlukan alternative strategis untuk suatu perubahan.
Argumentasi atas tafsir realitasUWMY di atas, untuk bisa mengatasi kecepatan penumpukkan permasalahan yangdapat berasal dari internal maupun eksternal, maka menjadi kewajiban rasional pimpinan dan team-work universitas maupun yayasaan untuk memiliki komitmen dan pembuatan RIP hingga RENOP.Delapan pola permasalahan di atas, dapat diatasi dalam desain RIP hingga RENOP, sehingga kebijakan operasional dan pengembangan universitas terarah dan terukur menuju pencapaian visi. Penetapan RIP universitas langkah awal strategis pencerahan yang jika diingkari, maka merupakan rangkaian sistemik menuju titik nadir dalam hal apresiasi masyarakat, keberadaan universitas dan titik nadir perwujudan visi misinya.
Peran-peran strategis universitas, berada pada kepemimpinan rektorat ,team worknya dan pengurus inti yayasan. Peran strategis kepemimpinan rektorat dalam kondisi kelembagaan saat ini, harus diawali dengan komitmen kepemimpinan menyusun RIP hingga RENOP serta konsistensi operasional. Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk mendalami dan memahami denyut nadi permasalahan lembaga, baikdalam muatan kuantitatif maupun kualitatif untuk menjadi perumusan jawaban dalam RIP. RIP yang merupakan rancangan penyelesaian permasalahan secara sistemaik, bertahap dan terukur terhadap kelembagaan, meminta peran strategis kewajiban dan beban kepemimpinan rektorat beserta gambaran korelasinya dengan memberikan tenaga, waktu dan perhatian dalam ukuran luar biasa untuk menjalankan RIP. Bila kelembagaan dalam kondisi normal hanya cukup aktivitas 8-10 jam perhari misalnya, maka untuk kondisi universitas yang lemah, aktivitas kepemimpinan harus berada pada garda-depan melebihi dari 10 jam per hari. Tentu, kerja keras dengan jumlah jam aktivitas yang panjang menjadi sia-sia manakala tidak diikuti kerja cerdas dengan inovasi dan kreativitas yang terus-menerus sesuai dengan koridor RIP. Peran strategis lain, pengambilan kebijakan haruslah dioperasionalkan dalam semangat dan praktek kolegial dengan segala resiko yang harus diambil.Tidak ada toleransikepemimpinan “superman” atau “one man show” dalam merubah dan memajukan kelembagaan universitasdengan kondisi “emergency”. Terakhir, peran strategis kepemimpinan rektorat, memastikan berjalannya unit kerja monitoring dan evaluasiyang objektif dan terukur, guna memastikan efektifitas setiap kebijakan universitas. Kepastian itu sangat bermanfaat untuk memperbaiki kebijakan yang tidak efektif serta memperkuatkebijakan yang telah efektif.
Peran strategis pengurus yayasan, secara substansial memiliki kesamaan dengan kepemimpinan rektorat, yaitu peran untuk memiliki komitmen penyusunan RIP hingga RENOP universitas, kesedian memberikan tenaga, waktu dan perhatian yang besar dalam menjalankan kewajiban yayasan. Semangat dan praktek kolegial, juga harus menjangkau bukan saja internal yayasan tetapi juga denganrektorat sehingga, terciptanya progresivitas simetris kedua pihak.Saling memberikan hasil monitoring dan evaluasi antara yayasan dan universitas, merupakan bagian peran strategis lainnya, terutama untuk memperbaiki kebijakan dari unsur yayasan terhadap universitas. Peran-peran strategis yayasan demikian, tentu saja harus memiliki dukungan sumber daya manusia dan instrument yang memadai untuk memastikan berjalannya peran- peran tersebut.Seluruh strategi di atas merupakan sebuah alternative untuk diambil atau tidak untuk perubahan atau membiarkan menuju titik nadir universitas ?.Semoga bermanfaat untuk UWMY.
Yogyakarta 3 Agt 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H