1.Eksistensi OTDA
”Pentingnya desentralisasi kekuasaan birokrasi pemerintah, selain untuk mengembalikan kekuasaan (empowerment) kepada rakyat, juga karena didorong oleh adanya keterbatasan yang dialami oleh birokrasi pemerintah sendiri. Tidak semua perkara bisa dikerjakan oleh negara atau birokrasi pemerintah. Semua urusan yang selama ini selalu bersarwa negara itu sudah tidak pada tempatnya lagi....Pengakuan terhadap keterbatasan inilah yang menentukan terhadap upaya-upaya desentralisasi kekuasaan”.(www.bappenas.go.id)
2.Tipikal Korupsi
Dalam persepktif Hukum, batasan praktek Korupsi telah dijelaskan oleh UU. No. 31 tahun 1999 jo UU. No 20 tahun 2001 tentang pemberatasan tindak pidana korupsi. Setidaknya ada 30 pasal yang menunjukkan bentuk / jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikategorikan sbb : 1.Kerugian uang negara; 2. Suap menyuap; 3.Penggelapan dalam jabatan; 4.Pemerasan; 5.Perbuatan curang; 6.Benturan kepentingan dalam pengadaan; 7.Gratifikasi /hadiah dan hal-hal lain tindak pidana lain terdapat 6 pasal yang berkaitan tindak pidana korupsi. (KPK, 2006 ).
Idealitas Otda di atas ternyata dalam realitas membuka peluang problematik penyimpangan dalam bentuk KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), khususnya korupsi. Hasil penelitian The Habibie Center, menemukan fakta sedikitnya ada 20 bentuk dan modus korupsi, mulai dari Korupsi Pengadaan Barang, penghapusan baranginventaris dan aset negara (tanah), pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, kenaikan pangkat, pengurusan pensiun dan hingga menunda pelayanan umum. (www.tempointeraktif.com/hg). Sedangkan modus korupsi pejabat di daerah, menurut KPK yang diuangkapkan pada tahun 2010,yaitu :
- Pengadaan Barang dana Jasa Pemerintah dengan mark up harga dan merubah spesifikasi barang.
- Penggunaan sisa dana tanpa dipertanggungjawabkan & tanpa prosedur
- Penyimpangan prosedur pengajuan & pencairan dana kas daerah
- Manipulasi sisa APBD
- Manipulasi dalam proses pengadaan/perijinan/konsensi hutan
- Gratifikasi dari Bank Pembangunan Daerah penampung dana daerah
- Bantuan Sosial tidak sesuai peruntukannya
- Menggunakan APBD untuk keperluan Keluarganya dan koleganya
- Menerbitkan Peraturan Daerah untuk upah pungut pajak;
- Ruislag/tukar guling tanah dengan mark down harga
- Penerimaan Fee Bank
Sementara itu, data tahun 2010, menurut Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGMbahwa para pejabat yang paling “rajin” melakukan korupsi di Indonesia. Dari total pelaku 103 orang pelaku korupsi, 43 diantaranya adalah adalah pejabat daerah.Dan menutup tahun pada triwulan IV (Oktober-Desember), pejabat daerah kembali bercokol diurutan teratas aktor korupsi. Di bawahnya diikuti oleh para legislator dan kalangan swasta. Berturut-turut jumlahnya adalah 124 orang, 118 orang, dan 33 orang. (http://jogja.tribunnews.com).Lalu, pada tahun sama olehKPK 73 persen perkara yang ditangani adalah korupsi di daerah.Dari sisi modus korupsi, yang paling banyak dilakukan adalah penyalahgunaan anggaran APBD sebanyak 87 kasus, sementara untuk kasus mark up dan suap, berturut-turut 16 kasus dan 13 kasus. Sementara kerugian yang diderita negara ditemukan paling banyak Rp1-10 miliar sebanyak 50 kasus, sedangkan kasus dengan kerugian diatas Rp100 miliar hanya sebanyak lima kasus. (http://korupsi.vivanews.com/news)
Selain itu , belakangan menurut pengamatan penulis, khusus korupsi di DPRD dengan modus manipulasi kegiatan kunjungan kerja (kunker) atau studi banding. Modusnya, mempersingkat masa/ hari kunjungan kerja atau studi banding yang menyisakan uang penginapan atau perjalanan untuk di bagi-bagi oleh peserta kunjungan kerja. Lebih parah lagi, komisi-komisi atau badan kelengkapan lainnya di DPRD denganmodus menciptakan kunjungan kerja atau studi banding yang “mengada-ada” alias sama sekali tidak relevan dan tidak berguna bagi daerah. Tujuannya jelas, sekedar memperoleh uang saku, uang perjalanan dan atau penyunatan hari kunjungan kerja.(Kartasasmita, Ginandjar., 2008)
Tentu saja, korupsi itu bisa ditelusuri beberapa penyebabnya. Menurut seorang praktisi penegak hukumM. Arsyad Sanusiberpendapat yaitu : Faktor pertama , penyebab korupsi yang paling signifikan di daerah adalah faktor politik dan kekuasaan, dalam arti bahwa korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh para pemegang kekuasaan (eksekutif maupun legislatif) yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok dan golongannya. Sekitar 85% dari kasus-kasus korupsi yang terjadi di daerah ternyata dilakukan oleh para pemegang kekuasaan, terutama di lembaga pemerintahan (eksekutif) dan lembaga legislatif. Faktor kedua adalah faktor ekonomi yang tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan faktor politik dan kekuasaan. Faktor ketiga adalah nepotisme. Faktor keempat adalah lemahnya pengawasan. Lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga, seperti BPKP, Bawasda, NGO maupun Lembaga Ombudsman terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-pejabat publik (eksekutif maupun legislatif) merupakan salah satu faktor penting yang turut menumbuh-suburkan budaya korupsi didaerah-daerah. (http://pt-makassar.go.id/artikel).
Apabila kita mengutif pendapat dari Masyarakat Transfaransi Indonesia (MTI) yang merujuk beberapa referensi,maka disebutkan bahwa sumber korupsi di daerah yaitu :a. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya). b. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya. (http://www.transparansi.or.id)
Analisa lain tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi," antara lain : 1. Aspek Individu Pelaku : 2. Aspek Organisasi: 3. Aspek lingkungan sosial dan organisasi Individu. (http://www.transparansi.or.id)
Akibat praktek Korupsi, menurut MTI maka akan menimbulkan problematik bangsa yaitu :
1.Korupsi mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang.
2.Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law.
3.Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme.
4.Korupsi mengakibatkanpembangunan /fasilitas umum bermutu rendah.
5.Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.
6.Biaya politik oleh penjarahan terhadap suatu lembaga publik; dan
7.Biaya sosial oleh pembagian kesejahteraan dan pembagian kekuasaan yang tidak semestinya. (http://www.transparansi.or.id)
3.Pemberantasan Korupsi dalam Otda
Memahami betapa kronisnya Korupsi maka untuk pemberantasannya, membutuhkan strategi dinamis, waktu yang tidak singkat dan interaksi yang begitu luas. Strategi dinamis mengisyaratkan cara pencapaian tujuan yang harus adaptif sesuai dengan perkembangan tipekal modus korupsi. Sejurus dengan logika dinamika tipekal modus korupsi, maka waktu yang dibutuhkan harus kontinyuitas, bahkan harus terintegrasi dengan perubahan sosial dalam berbagai aspek sebagai konsekuensi amat luasnya interaksi korupsi. Oleh karena itu, meski pun analisis ini berfokus pada implementasi Otda pada wilayah daerah, namun tidak luput peran pemerintah pusat.
Bila kita memperhatikan beberapa faktor penyebab korupsi, maka sumber utama praktek korupsi yaitu: level internalisasi individual (level In.In) dan level eksternalisasi individual (leval Eks.In).Level In.In dalam persepktif Weberian adalah manusia yang memiliki potensi menciptakan interprestasi atas dirinya sendiri berdasarkan cerminan nilai dan tatanan sosial dimana individual itu berada atau menjadi bagian tatanan sosial itu. Interpretasi diri itulah yang memberi landasan logis bagi dirinya untuk berperilaku atau tidak berperilaku. Meski pun tidak logis bagi orang lain atau tatanan sosial tertentu lainnya, untuk tindakan atau perilaku tertentu itu. Bentuk interpretasi itu, bisa positif atau negatif bagi dirinya. Kepositifan interpretasi mengharuskan individu itu untuk bertindak dan sebaliknya, kenegatifan interpretasi itu merupakan keharusan bagi individu untuk tidak berperilaku. Sekali lagi, bentuk interpretasi negatif ataupositif tidak selalu sama interpretasinya bagi orang lain atau tatanan sosial lainnya. Jika si pulan, melakukan tindakan bunuh diri, pastilah ada interpretasi positif bagi dirinya, meski pun belum tentu positif bagi adiknya si pulan. Demikian juga misalnya, individu si pulan yang menciptakan interprestasi atas dirinya bahwa korupsi bermakna positif, apalagi nilai dan tatanan sosialnya juga memberi makna postif, maka pasti ia melakukan tindakan korupsi, apa pun cara dan resikonya. Dan justru “salah” si pulan bila tidak melakukan korupsi karena ia telah menciptakan interpretasi positif tas korupsi. Hal ini tidak jauh berbeda bila si pulan sebagai anggota kelompok perampok. Sipulan, pasti dikeluarkan dari kelompok perampok itu, jika tidak bisa menciptakan interpretasi positif atas tindakan merampok.
Tentu, kita bisa bertanya-tanya mengapa si pulan bisa menciptakan interpretasi positif atas korupsi sementara orang lain tidak bisa menciptakan interpretasi potisif atas korupsi. Ahli Sosiologi Ilmu pengetahuan, Peter L. Berger, menjelaskan bahwa kemampuan menciptakan interpretasi itu, amat dipengaruhi oleh apa yang disebutnya “ endapan pengetahuan” ( stock of knowledge). Endapan pengetahuan itu setiap individu berbeda-beda yang merupakan pergumulan jutaan bahkan millayaran hal-hal yang pernah dialami oleh individu. Mulai dari individu itu dilahirkan sampai keberadaannya sekarang. Endapan itu, bahkan tidak mampu diindetifikasi oleh yang bersangkutan. Misalnya si pulan pada masa usia tujuh tahun pernah mengambil uang ibunya. Hal itu merupakan bagian endapan pengetahuan si pulan yang belum tentu secara detail bisa diidentifikasi menit per menit peristiwa tersebut oleh si pulan sendiri, apalagi orang lain. Si pulan bisa saja akal sehatnya, tidak mampu mengeidentifikasi bagaimana cara mengambil beserta alasannya . Tetapi detail perstiwa itu telah menjadi endapan pengetahuannya.
Level Eks. In dalam perspektif Durhemian bahwa manusia memiliki beban peran dan status sosial yang dipaksa berperilaku oleh nilai dan tatanan sosial tertentu, baik formal (organisasi) maupun non formal (keluarga, kebertemanan). Pemaksanaan itu, hanya bila individu menjadi bagian tatanan sosial itu, yang berupa norma-norma kebiasaan, adat sampai peraturan dan hukum positif. Segala perilaku dan tindakan individu akan tunduk kepada perihal eksternalisasi dirinya (nilai dan tatanan sosial). Manakala misalnya, individu melakukan tindakan korupsi, menurut pespektif ini,tentu lah karena dorongan bahkan paksaan nilai dan tatanan sosial yang merupakan bagian dirinya. Tindakan itu boleh jadi, bukan kemauan akal sehatnya. Tindakan itu lebih karena tatanan sosialnya yang memaksa , agar ia tidak diberikan sanksi. Baik, sanksi yang paling lemah sampai sanksi paling berat. Tentu saja, tindakan korupsi dengan latar seperti ini, merupakan tindakan kolektif dan berjejaring dan “dibenarkan” oleh tatanan sosialnya. Hal itu tidak jauh berbeda seperti contoh si pulan dalam bagian anggota kelompok perampok.Oleh karena itu ia akan dilindungi oleh tatanan sosial atau institusinya dari tunduhan kesalahan praktek korupsi. Itulah sebabnya, seorang birokrat Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang jujur, akan sulit untuk menghindar dari tindakan korupsi sekecil apa pun, bila birokrasi itu mengindap nilai dan tatanan sosial yang korup. Hal ini karena birokrat PNS tersebut berada dalam dorongan dan paksaan nilai dan tatanan sosial pada birokrasi yang memang harus bertindak untuk korupsi.
Dengan memahami perspektif level internalisasi individual demikian , maka harus ada upaya memperbaharui endapan pengetahuan, baik politisi maupun para birokrat secara komprehensif. Perlu adanya pembaharuan endapan pengetahuan, baik sisi kemanusian, keagamaan, politik, hukum dan ekonomi dalam bentuk kampanye besar-besaran bukan saja yang berbau anti korupsi. Tetapi, kampanye dengan materi humanistik yang menyuarakan betapa tindakan korupsi itu, pada gilirannya bisa berdampak membunuh bayi dari keluarga miskin, misalnya.
Begitu juga sisi hukum atau keagamaan, maka harus dilakukan transfer pengetahuan tindak pidana korupsi, penyadaran konsekuensi beragama (termasuk membangun keyakinan pandangan bahwa pemenuhan hidup amat terkait dengan otoritas Tuhan) dan transfer pengetahuan moralitas politik.
Pada perspektif eksternalisasi individu, lebih awal yang dibersihkan dari praktek korupsi yaitu individu yang memiliki peran status sosial yang tingggi di daerah, para pimpinan daerah (Gubernur/ Bupati/Wali kota, Ketua-ketua DPRD). Korupsi yang sangat signifikan pertumbuhannya dalam implementasi otda, justru pada pimpinan daerah tersebut. Hal ini dapat ditelusuri dari saat pencalonan, baik sebagai pasangan calon Gubernur/ Wakilnya, Bupati/ Wali kota maupun anggota DPRD. Dapat di duga, hampir sebagian besar mereka mengeluarkan dana yang besar, baik untuk pemberian resmi kepada parpol maupun individu pengurus parpol dalam rangka melicinkan kebijakan pencalonannya. Disamping itu, juga dana untuk pilkada maupun pemilu.Bahkan saat ini ada fenomena kuat, seorang pejabat kepala daerah, sejak awal pencalonannya telah ”tergadai” kepada pemodal-pemodal kuat dengan dana ratusan juta hingga milayaran rupiah,untuk membiayai proses pencalonan maupun saat pelaksanaan pemilihan.
Apabila pimpinan daerah tidak bersih dari tindakan korupsi, maka amat mudah menjadi referensi perilaku korupsi. Oleh karena itu, langkah awalnya, para pimpinan daerah (level individual) harus memiliki pengetahuan tindak pidana korupsi, penyadaran konsekuensi beragama dan peningkatan pengetahuan moral humanistik. Sedangkan pada unit kerjanya (instansional) pimpinan daerah, harus menerapkan prinsif-prinsif good governance, penegakan hukum, penghargaan yang berbasis kinerja serta penghapusan regulasi yang membuka peluang praktek korupsi.
Apabila langkah awal itu menunjukkan keberhasilan yang diakui oleh publik, maka harus diikuti oleh langkah selanjutnya yang dimotori dan dipimpin oleh para pimpinan daerah dalam kebijakan dan gerakan anti korupsi. Langkah susulan pemberantasan anti korupsi, baik ditujukan pada level internalisasi individual maupun eksternalisasi individual. Strategi yang ditempuh dapat diawali dengan memilih instansi-instansi yang langsung berkaitan dengan pelayanan publik.
Sedangkan pada level eksternalisasi individual (organisasi) di instansi yang sama, maka harus dilakukan penerapan prinsif-prinsif good governance, penegakan hukum, regulasi penghargaan, penghapusan regulasi yang menghambat pelayanan masyarakat. Keberhasilan model awal demikian, dapat kemudian diterapkan pada 1 atau 2 buah instansi yang berbeda dengan prioritas tingkat kedekatan pada pelayanan publik langsung. Strategi ini hingga diterapkan kepada seluruh instansidi daerah, baik level internalisasiisasi individual maupun eksternalisasi individual.
Pada perspektfi yang kedua ini, jelas meminta agar pemberantasan korupsi harus melakukan penciptaan atau pembaharuan nilai dan tatanan sosial yang anti dan perlawanan korupsi. Penegakan hukum, penerapan prinsif-prinsif good governance maupun penciptaan regulasi penghargaan prestasi kerja dan regulasi yang menghambat tindakan korupsi. Termasuk, kampanye anti korupsi dalam berbagai bentuk yang terus menerus dilakukan sebagai gerakan masyarakat.
Pada saat memulai langkah strategi awal pemberatasan korupsi pada wilayah daerah, maka saat bersamaan harus juga dilakukan oleh instansi vertikal di daerah yang kewenangan regulasinya ada pada pemerintah pusat, khususnya instansi penegak hukum. Dan yang tidak kalah pentingnya yaitu, langkah kerja KPK hendaknya sampai ke daerah. Demikian juga instansi BPK dan tentu bagian dari kinerja pengawasan internal internal pemerintahan lainnya. Pada gilirannya masyarakat (civil society), juga harus menyentuh hal yang sama.Gerakan simultan ini jika tidak dilakukan maka, akan melemahkan (bahkan menggagalkan) pemberatasan korupsi di wilayah Otda. Seluruh konsepsi yang telah di bahas di atas dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :
Bagan Konsepsi Pemberantasan Korupsi dalam Otonomi Daerah
Referensi :
Utomo, Warsito., 1999, “Kemandirian Daerah Menuju Pelaksanaan Otonomi Daerah Sesuai dengan UU no 22 dan 25 tahun 1999”, Seminar kesiapan daerah, Semarang.
Utomo, Warsito, 2005, “Kajian Kritis Otonomi Daerah Yang Mengarah Kepada Pemberdayaan Lembaga-Lembaga Masyarakat” Bulltin Ganesha STPMD “APMD”
Usman, Sunyoto., 2006,“Pembangunan dan pemberdayaanMasyarakat, Yogyakarta, Pustaka pelajar offset.
Undang- undangRI No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
Nasikun., 1995, “Sistem Sosial Indonesia”, Jakarta, Rajawali Press,
Kartasasmita, Ginandjar., 2008, “ Dewan Perwakilan Daerah dan Otonomi Daerah. Disampaikan pada Seminar Nasional, Institut Teknologi Bandung (ITB) Dalam Rangka Memperingati Seratus Tahun Kebangkitan Nasional. Bandung, 17 Mei 2008.
Website:
(www.bappenas.go.id)
(http://korupsi.vivanews.com/news)
(http://pt-makassar.go.id/artikel).
(http://www.tempointeraktif.com/hg)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H